Raka menarik napas panjang. "Nanti malam aku akan datang ke rumahmu bersama Ayah dan Mama untuk melamarmu sungguhan."
"Sungguhan? Jadi ... lamaran di depan banyak orang itu hanya pura-pura?" tanya Kafizah yang menuntut jawaban serius.
Kafizah pikir, Raka akan membicarakan hal penting apa sampai harus membuatnya berjanji dulu."Eh ... bukan! Itu lamaran serius. Serius banget."
"Lalu?"
"Aku merasa kamu tidak serius menerimaku, makanya kita akan bahas secara privat bersama orang tuaku," balas Raka menatap Kafizah dengan intens.
"Lamaran kali ini, anggap aku bukanlah pria yang sama, yang telah menolak lamaran saat kita pertama kali bertemu. Anggap aku orang baru! Pria baru yang benar-benar datang karena Allah," lanjut Raka dengan seulas senyum tipis.
Kafizah terdiam beberapa saat karena mendadak lidahnya keluh dan tak bisa berkata apa-apa. Hanya anggukan yang ia perlihatkan lalu segera pergi dari hadapan pria yang sudah membuat perasa
"Kenapa kamu menyembunyikan sakitmu pada kami, Nak?" tanya Bu Marni menatap Kafizah dengan kecewa."Ma-maafkan, Fizah, Bu! Kafizah tidak ingin Ibu dan Bapak khawatir, tidak mau kalian terbebani," jawab Kafizah mendekat dan meraih tangan ibunya sambil meringis."Jangan terlalu ditekan Kafizahnya, Bu Mar! Sebaiknya kita segera membawa Kafizah ke rumah sakit biar cepat ditangani!" ujar Pak Jupri menengahi ketegangan yang terjadi.Pak Rahman turut mengangguk pelan. "Apa yang Pak Jupri katakan ... benar adanya Bu! Mari kita bawa dulu putri kita berobat," ujar Pak Rahman dan Bu Marni hanya mengangguk pelan."Pakai mobil kami saja, Pak Rahman," usul Pak Jupri menatap putranya yang mengangguk."Apa kami tidak merepotkan kalian?" tanya Pak Rahman."Tidak sama sekali. Ayo angkat Nak Kafizah, kami akan bantu!""Saya bisa mengangkatnya sendiri," tolak Pak Rahman sambil membopong putrinya ke luar dari rumah.Bu Marni masuk sebentar ke kamarnya, kemudian mengambil tas dan menyusul suami dan anaknya
Raka hanya bisa membuang napas kasar karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kesembuhan calon istrinya. Bantuan darinya langsung ditolak oleh calon Bapak mertuanya. "Bantuan saya tetap berlaku sampai kapan pun, jadi kalau dibutuhkan jangan sungkan untuk bilang, Pak," ujar Raka pada Pak Rahman yang langsung mengangguk. Sejujurnya dia sangat bimbang, karena ia hanya punya uang simpanan tidak banyak, ditambah dengan uang Kafizah yang dipinjam Bu Reni kalau ada hanya sebesar 25 juta. Sementara, biaya operasi pasti sangat mahal karena ini operasi khusus dan butuh biaya besar. Belum lagi biaya ruangan khusus mulai masuk, hingga operasi juga masa pemulihan. Pak Rahman terus mondar-mandir sembari menunggu kedua dokter ahli dalam bidang ortopedi tersebut. Begitupun dengan Bu Marni yang turut cemas dan berharap diberi kemudahan dan kesembuhan untuk anaknya. "Sabar ya, Bu Mar! Anda harus kuat supaya Kafizah bisa kuat juga melawan sakitnya. Inilah alasan kenapa dia menyembunyikan d
"Tapi Paman--" ucapan Kafizah terpotong."Tidak boleh ada penolakan, Nak. Kamu sudah seperti anakku sendiri. Ini demi kebaikanmu juga," ujar Pak Jupri dengan senyum hangat membuat Kafizah mengangguk pelan dan mengucap terima kasih setelahnya.Raka turut menarik napas lega, karena ayahnya bisa mengatasi semua ini. Meskipun dialah yang memang wajib bertanggung jawab atas apa yang dialami Kafizah, tetapi tidak ada yang tahu selain dirinya, ayahnya dan beberapa orang yang mengurus kecelakaan pada waktu itu."Terima kasih, Sahabatku," ucap Pak Rahman sekali lagi, memeluk Pak Jupri dan menepuk pundaknya lalu menuju ruangan dokter untuk membubuhkan tanda tangan di sebuah kertas persetujuan untuk operasi kakinya.Beserta menyetujui biaya yang tertera di sana, dan benar saja jumlahnya tidak main-main, karena Pak Rahman harus mengeluarkan uang untuk biaya operasi sebanyak 45 juta rupiah.
Di luar ruangan hampir sama, kecemasan, kekhawatiran menyelimuti orang-orang yang terus menatap pintu ruang operasi dengan harapan mendapatkan kabar baik.Doa terus mengalir dari bibir, Bu Marni, Bu Liana, Raka yang berada di ruang tunggu, sedangkan Pak Jupri, dan Pak Rahim masih betah di musala. Besar harapan terhadap suksesnya operasi tersebut.Satu jamDua jamTiga jamEmpat jamKedua dokter ahli beda ortopedi itu belum juga ke luar dari dalam sana, begitu pula dengan Pak Rahman. Hanya suster yang kadang keluar masuk dengan wajah panik dan berlari entah ke mana dan sedang ambil apa."Sus ... bagaimana keadaan anak saya?" tanya Bu Marni mendekat, tetapi sang perawat menggeleng pelan."Semua tim di dalam sedang berusaha melakukan yang terbaik, Bu. Jangan pernah putus harapan dan putus doa. Insyaallah dokter dan tim pasti bisa jika Allah berkehendak," ujar suster sambil berlari masuk dan terlihat membawa dua kantong darah."Ya Allah, apa putriku sedang pendarahan," pekik Bu Marni yang
Beberapa menit kemudian, Kafizah mulai memberikan respons. Jemarinya mulai bergerak perlahan-lahan dan alat pendeteksi jantung pun mulai terlihat normal.Dokter pun terlihat menarik napas lega, sembari menatap Pak Rahman dengan sorot seperti tengah tersenyum, tetapi tak terlihat karena sang dokter memakai masker.Sejam kemudian, Pak Rahman diizinkan keluar dari ruangan. Pria paruh baya itu merasa sangat berat untuk melangkah.Tiba di luar ruangan, beliau langsung diinterogasi oleh sang istri, menantu, calon besan dan juga adiknya."Tunggu kabar dari dokter saja. A-aku tidak bisa mengatakan apa-apa," ujarnya dengan menutup wajah sambil menyembunyikan fakta bahwa putrinya hampir saja meregang nyawa.Kini Dokter masih sibuk merapikan sisa-sisa pemotongan dan menyelesaikan apa yang telah dimulai. Meski Kafizah dioperasi tanpa persiapan yang matang karena mendadak dan lukanya pa
"Bu! Ba-bapak mana?" tanya Kafizah saat ibunya mendekat dan langsung mencium pipinya dengan penuh haru."Bapak ada di sini, Nak," sahut Pak Rahman mendekat dan meraih jemari Kafizah yang terlepas dari genggaman Raka."Alhamdulillah, pasien sudah sadar. Ini benar-benar keajaiban yang luar biasa," celetuk dr. Niken yang baru saja membereskan alat-alatnya."Alhamdulillah, Dok," balas Bu Marni mengusap wajahnya yang sendu dan mata panda karena tidak bisa tidur semalaman."Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar ... aku sangat senang sekali saat ini," ujar Raka menggenggam jemari Kafizah yang satunya dan menatap wanita yang tampak kelelahan karena habis berperang antara hidup dan mati.Dokter Niken kembali memeriksa denyut nadi Kafizah sekali lagi untuk memastikan kalau pasien sudah benar-benar stabil.Pak Rahman, Bu Marni dan Raka terus berada di sisinya hingga Kafizah dipindahkan ke ruang rawat inap kelas 1 yang mana ruangannya hanya diisi oleh satu pasien saja dengan fasilitas VVIP yang arti
Kafizah membuang napas kasar karena kecewa, orang yang sangat diharapkan datang ternyata bukan dia. "Maaf, ya, Nak Salsa, Nak Ratih, Nak Reza. Ibu dan Bapak baru datang soalnya habis belanja dulu dan masak dulu karena sepertinya ada yang rindu dengan masakan rumahan," ucap Bu Marni saat masuk ke kamar rawat putrinya sembari melirik Kafizah yang melamun sambil menatap ke arah pintu. "Gak apa-apa, kok Tan. Kita juga senang kalau bisa bantu-bantu," balas Salsa diikuti anggukan oleh teman-temannya. "Kalau gitu kita makan bareng di sini," kata Bu Marni sambil meletakkan keranjang berisi tantangan. Reza membantu Pak Rahman untuk menggelar karpet di lantai. Lalu mulai makan bersama dengan duduk lesehan. Sementara Kafizah duduk di tempat tidur dan turut menikmati masakan ibunya yang sangat dirindukan sejak beberapa hari yang lalu. Mata Kafizah terus awas menatap pintu, seolah masih berharap ada seorang pria yang masuk dari sana dengan senyum khasnya. "Kamu kenapa, Nak? Sejak tadi Ibu per
"Kamu ini, jadi ponakan gak ada yang bisa dibanggakan sama sekali," ujar Bu Reni yang datang menjenguk Kafizah bersama dengan suaminya dan dua anaknya yang tampak mencebik kesal ke arah sepupunya."Bu! Kalau ngomong itu disaring dulu, dicerna dulu pake hati, layak atau tidak kata-kata itu keluar dari mulut kita? Orang sakit hati tidak kalau kita lempar ucapan seperti itu?," tegur Pak Rahim membuat Bu Reni memutar bola mata."Ren! Kalau kamu datang ke sini hanya untuk memaki dan menghina putriku, sebaiknya tidak usah datang sekalian," protes Bu Marni menatap adik iparnya dengan tajam."Memang aku tidak mau dan tidak sudi datang kemari! Tapi bapaknya Azura yang memaksa," balas wanita setengah baya itu dengan sengit sambil mengibaskan tangannya yang penuh dengan gelang imitasi. Leher dan jemarinya juga tidak mau absen memakai perhiasan.Bu Reni sudah seperti toko emas berjalan, sayangnya ... semua itu hanya emas palsu, bukan asli."Iya, Tan! Mending juga Azura di rumah sambil menikmati r