Sagara menghela napasnya dengan pelan. Andai saja anak itu adalah anak kandungnya, hal ini tidak akan menjadi pusat pikirannya. Ia terus memikirkan masa depan anak itu. Khawatir omongan tak sedap masuk ke dalam telinga anaknya itu.
“Kamu sudah mendapat kabar dari Raffael? Papa ingin sekali bertemu dengannya dan memohon kepada dia agar jangan banyak ulah. Memberi tahu kepada media, kalau dia adalah ayah kandung anaknya Hanna.”
Sagara menolehkan kepalanya dengan pelan. “Raffael … ada di rumah sakit jiwa, Pa. Dia gila. Entah apa yang membuatnya menjadi gila, aku nggak tau. Nanti, kalau ada waktu senggang, aku dan Hanna akan membesuknya.”
Betapa terkejutnya Krisna saat tahu jika Raffael kehilangan kejiwaannya. “Sejak kapan, Sagara?”
Pria itu mengendikan bahunya. “Entah. Aku juga baru tau dari Citra. Dia yang memberi tahu aku jika Raffael mengalami gangguan jiwa.”
Krisna menghela napas dengan pelan.
Jonas terkekeh mendengarnya. Kemudian menganggukkan kepalanya. Titah dari pemilik resto ini harus dituruti.“Hanna!” Suara bariton memanggil namanya lantas membuat Hanna seketika membeku bagai es. Tidak bisa bergerak apalagi menoleh ke arah sumber suara.Jonas menolehkan kepalanya kepada Sagara yang tengah menghampirinya dengan langkah lebarnya. Ia memasang wajah biasa saja, walau hatinya sudah tak karuan. Ia kemudian melirik Hanna yang tubuhnya menegang seketika.“Suami kamu sudah semakin mendekat. Wajahnya keliatan banget kalau dia murka,” bisik Jonas sengaja agar membuat keadaan Hanna semakin tak karuan.Sagara menatap Hanna dengan wajah masamnya. Kemudian mengendus kasar dan memegang kedua sisian wajah perempuan itu. “Dari tadi aku nyari kamu ke sana kemari. Dan kamu malah asyik ngobrol di sini. Pulang, Hanna. Udah malam. Jangan banyak ngobrol, apalagi ngobrolnya hanya berdua. Kalau ada yang lihat, mereka bisa salah paham
Krisna menggelengkan kepalanya. “Kamu bisa temui Sagara sekarang juga tidak percaya padaku. Sepertinya kamu lebih percaya pada menantu kamu itu daripada kapadaku. Walau ucapan dari mulutku dan mulut Sagara sama.” Krisna bangun dari duduknya.Dengan langkah lemasnya, ia kemudian pamit untuk berangkat ke kantor. Hendak mengurus balik nama perusahaan itu menjadi atas nama sang anak—Hanna.Sementara Sinta menghubungi sang menantu. Untuk memastikan jika ucapan Krisna memang benar. Sebab hingga saat ini, Sinta masih membenci suaminya itu karena sudah memperlakuan Sagara semena-mena.“Halo, Nak. Kamu lagi di mana?” tanya Sinta setelah panggilan itu tersambung.“Lagi di kantor, Ma. Ada apa? Tapi, sebentar lagi mau pulang. Mau ke kampus. Ada panggilan dari dekan.”“Ooh, begitu. Sepertinya kamu masih sibuk, yaa. Ada yang ingin Mama tanyakan pada kamu, Nak. Tapi, nanti saja kalau kamu sudah punya waktu senggang.
Sagara mengusapi perut sang istri dengan lembut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan dan menatap sang istri dengan senyum terbit di bibirnya.“Aku nggak akan mempermasalahkan dia anak aku atau bukan. Dia tetap anak aku. Dia ada di dalam rahim istri aku. Yang artinya, janin di dalam perut kamu adalah ciptaan aku. Udah, gitu aja. Tugas aku saat ini adalah, menyembunyikan identitas asli anak kita. Dunia tidak perlu tau, aku hanya ayah sambungnya.”Hanna mengangguk sembari tersenyum. “Iya, Sagara. Habis ini, mau ke mana? Belum ada waktu, untuk jenguk Raffael?”“Belum, Na. Hari ini, temenin aku ke kampus, yaa. Suruh menemui Dekan. Ada yang ingin dia sampaikan katanya.”“Jam berapa?”“Jam tiga. Aku ada meeting dulu bentar, sama klien baru. Nanti ke sini jam duaan. Untuk bahas project baru yang akan diproduksi di bulan depan.”“Dari lokal, atau luar negeri?”“D
Sagara melepaskan pelukan itu kemudian menatap dekan dan guru pembimbingnya secara bergantian. “Terima kasih, Pak! Terima kasih karena sudah memberi saya kesempatan untuk mendapatkan akselerasi. Saya sangat membutuhkan ini karena harus segera kembali ke kantor untuk mengelola perusahaan saya.”Pak Rusnadi menganggukkan kepalanya dengan senyum merekah di bibirnya. “Saya lebih senang, saat tau kalau kamu berhasil mendapatkan kesempatan ini.”Sagara menghela napas dengan tenang. “Seperti biasa, Pak Rusnadi. Akan mendapatkan hasil yang puas kepada Pak Rusnadi.”“I trust you. Kamu tidak pernah mengecewakan saya. Nilai kamu selalu menjadi semangat saya untuk memberi ilmu kepada seluruh mahasiswa yang saya ajar.”Sagara menerbitkan senyumnya. Siapa yang tak bahagia saat guru besar sendiri yang memuji kemampuan luar biasa seseorang. Itulah yang sedang dirasakan Sagara saat ini.Setelah hampir satu jam lamanya
Sagara menghela napasnya dengan pelan, kemudian menatap mertuanya yang tengah menundukkan kepalanya. Duduk di ruang interogasi bersama dengan Damar disampingnya."Entah kenapa dia bisa mengambil keputusan untuk menculik Hanna, hanya karena ingin bertemu denganku," ucapnya dengan pelan.Hanna menggenggam tangan sang suami. "Kita tunggu prosesnya saja, yaa."Sagara menganggukkan kepalanya kemudian mengulas senyumnya. "Iya, Hanna."Kemudian, Adit beserta Sagara masuk ke dalam ruang investigasi. Menghampiri Krisna dan Damar yang tengah menunggu kedatangannya."Selamat pagi, Pak Sagara, Pak Adit. Silakan duduk!" ucap kepala kepolisian kepada kedua lelaki tersebut.Sagara dan Adit duduk di samping Damar dan Krisna. Mata Sagara terus menatap Krisna dengan penuh kebingungan. Entah apa yang harus dia lakukan agar status hukum Krisna tak jadi menjadi tersangka. Harus mencabut laporan tersebut, dan Damar pun bisa terbebas dari hukuman tentang penculika
"Masih punya muka kamu, huh? Sudah berapa kali Sagara menolong kamu? Sudah berapa kali Sagara melupakan semua kejahatan, kebusukan yang sudah kamu lakukan padanya? Dan dia masih punya hati untuk memaafkan kamu!" teriak Sinta setelah Krisna kembali ke rumah.Kemudian perempuan itu menatap ke arah Sagara yang tengah berdiri di sampingnya. "Kenapa gampang sekali kamu memaafkan dia, Sagara? Harusnya kamu membiarkan dia membusuk di penjara. Tidak perlu mencabut laporan itu. Jangan lihat status kamu sebagai menantunya dia. Krisna sudah keterlaluan, Sagara."Pria itu menghela napas pelan. Dalam situasi seperti ini, Sagara masih bisa tenang dan mengulas senyumnya kepada sang mertua."Bebas karena tak jadi masuk penjara, bukan berarti bebas sepenuhnya, Mama. Aku hanya ingin menjaga nama baikku saja. Agar tidak dinilai terlalu jahat karena sudah membiarkan mertuanya masuk penjara. Bukan untuk dia, tapi untuk aku. Semuanya sudah aku pertimbangkan baik-baik." Sagara mengang
Hingga lima belas menit lamanya mereka menikmati menu makanan di sana. Hanna tengah mengusapi perut buncitnya karena kekenyangan.“Sagara. Rasanya aku pengen melahirkan. Perut aku penuh banget,” ucapnya dengan lemas.Sagara terkekeh melihat ekspresi wajah istrinya itu. “Tadinya aku mau kasih kamu makan lagi. Martabak kacang cokelat.”Satu minggu berlalu. Sidang putusan Damar akan dilaksanakan di hari ini. Tepatnya di jam sepuluh pagi ini."Sama siapa ke pengadilannya, Sagara?" tanya Hanna sembari memberikan sepiring nasi goreng untuk suaminya itu."Sama Andra. Dia akan menjadi saksi dalam sidang penembakan yang udah dilakukan Damar ke aku," kata Sagara menjawab pertanyaan Hanna.Perempuan itu manggut-manggut. "Begitu. Semoga sidangnya berjalan dengan lancar, ya. Aku harap Damar mendapat hukuman yang setimpal."Sagara menerbitkan senyum kemudian mengusap rambut sang istri dengan lembut. "Aamiin. Makan dulu, yaa.
Lalu, Sagara menatap Dokter Firman kembali. “Apakah kami bisa melihat dari balik kaca, Dok? Pengen lihat kondisi Raffael.”Dokter Firman mengangguk. Keempat orang tersebut lantas menghampiri kamar rawat Raffael yang tak jauh dari ruangan Dokter Firman.Mata itu menatap Hanna. Hingga membuat Hanna memegang dengan erat tangan Sagara lantaran tatapan yang menghunus oleh Raffael begitu menyeramkan.Namun, tatapan itu menjadi sendu kala melihat Hanna kemudian berjalan menghampiri kaca pembatas itu. “Anak kita sudah lahir, Hanna?”Semua orang yang mendengarnya lantas tercengang mendengar ucapan Raffael yang begitu lembut kala melihat Hanna, juga menanyakan tentang kehamilan perempuan itu.“Heeuh! Sudah melahirkan, Sayang?” tanyanya lagi.Tangan Hanna bergetar, pegangannya semakin erat pada tangan Sagara kala mendengar ucapan Raffael. Sungguh menakutkan. “Ki—kita pulang aja yuk, Sagara. A—aku ta
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu