"Kamu sudah memilih untuk pergi waktu itu, untuk apa kembali lagi sekarang? Apa kamu nggak merasa malu?" Caleb juga sudah kehilangan kesabarannya yang biasanya. Setiap kata-katanya penuh dengan sindiran.Wajah Audrey menjadi pucat dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi Caleb tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk berbicara dengan Audrey lagi. "Nona Audrey, mengingat pertemanan kita dulu, sebaiknya kamu sendiri yang pergi. Tidak enak dilihat kalau kamu terus ribut di sini dan aku suruh orang langsung mengusirmu. Silakan ...."Caleb mempersilakan Audrey untuk pergi. Audrey tentu saja enggan pergi, tetapi melihat tindakan Caleb, beberapa satpam di belakang juga mendekat. "Pak Caleb, apa perlu kamu bertindak ...."Melihat situasi itu, Audrey hanya bisa berpura-pura akan pergi. Saat baru berjalan dua langkah, dia mendengar perkataan Caleb yang tegas kepada para satpam itu. "Kalau lihat wanita ini kelak, langsung suruh dia pergi dan jangan banyak bicara dengannya. Mengerti?""Baik, kami menge
Sopir itu tidak menyangka Audrey akan menghalanginya, sehingga dia terkejut. Zayden juga ikut kaget. "Putar arahnya!"Mendengar perintah Zayden, sopir yang panik itu segera memutar arah mobil ke sisi lainnya dan akhirnya melewati tubuh Audrey. Setelah melewati Audrey, mobil itu memang tidak menabrak Audrey, tetapi aliran udara yang kuat membuat Audrey terjatuh ke lantai.Zayden yang tiba-tiba memutar arah, langsung menabrak pembatas jalan di samping. Namun, tidak terjadi masalah besar apa pun karena laju mobilnya tidak cepat.Audrey yang terjatuh ke lantai juga merasa takut. Dia tadi hanya panik dan ingin menghentikan mobil agar Zayden tidak pergi, setidaknya mendengar apa yang akan dia katakan. Tidak disangka, dia malah hampir tertabrak.Setelah menarik napas dalam-dalam, dia hendak berdiri dan segera memanfaatkan kesempatan itu untuk menghentikan Zayden. Namun, saat hendak berdiri, pergelangan kakinya terasa sakit. Meskipun dia tidak tertabrak tadi, pergelangan kakinya terkilir karen
"Audrey, kenapa denganmu? Cepat berdiri." Emilia segera maju dan memapah Audrey. Pada saat itu, dia baru melihat celana Audrey yang robek, lututnya berdarah, dan wajahnya sangat pucat. Audrey bahkan sepertinya tidak bisa mendengar dan menjawabnya.Tanpa pilihan lain, Emilia terpaksa memapah Audrey ke dalam mobil terlebih dahulu. Merasakan tubuh Audrey yang dingin, Emilia berpikir Audrey mungkin sudah berdiri di luar sangat lama. Setelah bersusah payah, dia akhirnya berhasil membawa Audrey ke dalam mobil, lalu menyuruh sopir taksi itu segera mengantar mereka pulang.Di dalam mobil, Emilia meremas tangan dan menepuk punggung Audrey dengan pelan. "Audrey, apa yang sebenarnya telah terjadi? Bukankah kamu bilang berencana kembali ke sana? Kenapa tiba-tiba ...."Tatapan Audrey yang kosong akhirnya bergerak. "Emilia, Dash menderita leukimia akut. Aku nggak bisa menemukan donor yang cocok, jadi aku kembali untuk memohon Zayden."Audrey terlalu sibuk belakangan ini, sehingga dia tidak mencerita
Entah berapa lama kemudian, Zayden merasa kulitnya menjadi mati rasa saking dinginnya. Sesudah itu, dia baru mematikan keran air.Zayden mengambil handuk, lalu menyeka rambutnya dan berganti pakaian sebelum keluar dari kamar mandi. Ekspresinya masih terlihat datar.Zayden tidak peduli dengan permainan yang dimainkan Audrey. Dia tidak peduli jika Dash benar-benar sakit atau Audrey hanya merasa tidak rela karena dirinya akan menikahi wanita lain.Keputusan yang telah dibuat Zayden tidak akan berubah karena siapa pun, sekalipun orang itu adalah Audrey.....Emilia membawa Audrey pulang. Sesudah membawanya duduk ke sofa, Emilia pergi mengambil kotak obat. "Mungkin agak sakit," ucap Emilia yang memegang alkohol sembari membersihkan luka Audrey dengan perlahan.Begitu alkohol mengenai lukanya, Audrey merasa sangat perih. Namun, dia sama sekali tidak bereaksi, seolah-olah tidak merasakan apa pun.Kini, Audrey tidak peduli pada rasa sakit apa pun. Dia hanya ingin segera menemukan sumsum tulang
Shania tampak gembira. Dia ingin Zayden mencobanya supaya dia bisa melihat. Akan tetapi, Zayden tidak tertarik sehingga hanya membalas, "Letakkan saja di lemari."Selesai mengatakan itu, Zayden langsung menuruni tangga duluan. Shania yang ditolak pun menggigit bibirnya dengan kesal. Sejak mengusulkan pertunangan, sikap Zayden menjadi begitu dingin padanya. Dia tidak seperti calon istri Zayden, melainkan orang asing.Tidak mungkin jika mengatakan Shania tidak keberatan. Shania menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menahan perasaan enggan ini.Sudahlah, pokoknya Zayden akan segera menjadi miliknya. Kenapa kalau pria ini tidak mencintainya? Sesudah mereka memiliki anak, Zayden tidak mungkin tega mencampakkan dirinya dan anak mereka. Dengan begitu, Shania pun memiliki pijakan kuat di Keluarga Moore.Setelah memikirkan betapa indahnya masa depan, amarah Shania mereda. Dia mengangkat jas mahal itu, lalu berniat untuk menggantungkannya. Saat ini, dia mendengar nada dering yang singkat sek
Setelah ditegur Timothy, Zayden tidak berbicara lagi dan hanya menyantap makanannya. Di sisi lain, Shania sudah terbiasa dengan sikap Zayden ini. Dia tidak berniat mencari masalah, jadi hanya makan sambil mengobrol dengan Timothy.Shania tahu Zayden bersedia menikahinya bukan hanya karena pernah menyelamatkannya, tetapi juga karena dia memiliki hubungan baik dengan Timothy. Ini adalah kartu as Shania sehingga dia tidak akan mengacaukannya.Meskipun Zayden tidak berbicara selama makan malam, Shania berusaha keras untuk menghidupkan suasana sehingga makan malam ini tidak terkesan suram.Seusai makan, Zayden kembali ke kamarnya. Dia melirik ponselnya sekilas, lalu berbaring dan menutup matanya dengan kedua tangan.....Emilia memasak beberapa lauk sederhana di dapur. Setelah menyajikannya, dia melihat Audrey duduk di sofa sambil memegang ponsel dengan terbengong. "Kenapa, Audrey? Lagi pikir apa?" tanya Emilia.Audrey baru tersadar kembali dan membalas, "Aku mengirim pesan kepada Zayden de
Emilia tidak berbicara lagi. Setelah keduanya selesai makan, Audrey kembali ke kamarnya. Dia jelas-jelas sudah lelah karena perjalanan hari ini, tetapi sama sekali tidak mengantuk saat berbaring. Entah melamun berapa lama kemudian, dia baru memejamkan mata untuk tidur. Hanya saja, tidurnya kurang nyenyak.....Keesokan hari, Audrey bangun pagi-pagi sekali. Dia melihat ponselnya, lalu merenungkan sesuatu dan segera bangkit.Kemarin, Zayden menyuruhnya datang ke perusahaan. Demi menunjukkan ketulusannya, dia bertekad untuk datang lebih awal.Audrey merapikan diri, lalu membuat sarapan sederhana untuk dirinya dan Emilia. Sesudah memakan beberapa gigitan, dia langsung keluar dan naik mobil ke Grup Moore.Setibanya di sana, Audrey merasa agak gugup karena diusir kemarin. Akan tetapi, kali ini satpam tidak bereaksi apa pun dan membiarkannya masuk begitu saja.Audrey pun menghela napas lega. Dia menaiki lift ke ruang kantor Zayden yang terletak di lantai paling atas. Sambil menatap angka di l
Jika itu dulu, Shania pasti akan panik saat mendengarnya. Namun, kali ini dia hanya tersenyum dan berkata, "Audrey, kamu benar-benar naif. Kamu kira aku nggak melakukan apa-apa setelah kamu pergi bertahun-tahun?""Aku bisa berada di sisi Zayden memang awalnya karena dia salah mengenali orang. Tapi, mereka bisa menerimaku karena kehebatanku sendiri. Audrey, kalaupun kamu ingin kembali, apa Keluarga Moore bisa menerima wanita yang terus menggoda paman dan keponakannya? Apa kamu lupa saat dimarahi orang-orang sampai nggak berani keluar rumah?" lanjut Shania.Begitu membahas tentang hal ini, wajah Audrey seketika memerah. Ketika dia ingin berbicara, tatapan Shania yang suram tiba-tiba tertuju pada posisi di tangga.Saat berikutnya, Shania mendekati telinga Audrey dan mencengkeram pergelangan tangannya sambil mengancam, "Jadi, cepat pergi selagi aku belum berniat membunuhmu. Kalau nggak, mungkin anakmu akan mengalami kecelakaan seperti hari itu lagi."Tubuh Audrey pun menegang mendengarnya.