Ketika mendapati panggilannya tidak dapat tersambung lagi, Christian hanya bisa tersenyum getir. Dia bergumam, "Audrey, gimana aku bisa bahagia kalau nggak ada kamu? Mana mungkin ...."Christian memegang ponselnya sembari terbengong menatap dinding dengan ekspresi kesepian. Dia sedang berpikir, mungkin dirinya sudah salah karena tidak berada di sisi Audrey saat wanita ini sangat membutuhkannya. Dia telah melewatkan kesempatan terbaik. Namun, bagaimana mungkin Christian bisa melepaskan wanita yang telah dicintainya selama bertahun-tahun?....Setelah mengakhiri panggilan, Audrey merasa sangat lelah. Perasaan lelah ini bukan berasal dari fisik, melainkan hatinya. Pada akhirnya, dia tidak menyantap sarapan yang telah dimasaknya dengan susah payah dan langsung berbaring di ranjang sambil memandang langit-langit.Ketika Audrey melamun, ponselnya tiba-tiba berdering. Dia mengangkat dengan lemas, lalu tiba-tiba terdengar suara melengking dari ujung teleponnya. "Audrey, kamu kira perkataanku h
Emilia mengernyit saat melihat Christian meneleponnya. Dia tahu hubungan antara Zayden dengan Christian dan kesal terhadap hal ini. Jika Christian berbicara jujur saat keduanya berpacaran, mungkin Audrey tidak perlu menderita seperti ini.Akan tetapi, Emilia tidak bisa menolak panggilan Christian. Pada akhirnya, dia tetap menjawabnya dan bertanya, "Kenapa mencariku?""Emilia, maaf sudah mengganggumu. Aku hanya ingin tahu kondisi Audrey belakangan ini. Dia sangat marah padaku, ya?" tanya Christian balik."Kamu terlalu percaya diri. Ibu Audrey dibawa pergi oleh anggota Keluarga Conner, entah di mana dia sekarang. Audrey sangat panik karena masalah ini, mana mungkin sempat marah padamu lagi," sahut Emilia dengan dingin.Christian tidak keberatan dengan nada bicara Emilia. Begitu mendengar Lara dibawa pergi dan tidak diketahui keberadaannya, dia sontak merasa panik. Dia tahu sedekat apa hubungan ibu dan anak ini. Jadi, dia tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya Audrey selama beberapa h
Begitu mendengar perkataan itu, Timothy tentu saja merasa sangat senang. Bagaimanapun juga, dia selalu menyayangi Christian, cucunya ini. Lagi pula, Christian akhirnya bisa melupakan wanita itu. "Baik, kamu nggak usah mengkhawatirkan masalah ini, aku yang urus saja."Mendengar Timothy sendiri yang akan mengurus hal itu, Vivi tentu saja tidak menolaknya. Keduanya mengobrol sebentar lagi baru menutup teleponnya.Timothy segera mulai mempersiapkan pesta yang mewah untuk menyambut kepulangan Christian. Saat sedang sibuk, Zayden membuka pintu dengan tanpa ekspresi. Timothy menghela napas saat melihat ekspresi Zayden yang terlihat sangat kesal. Sepertinya, sejak putra bungsunya ini bercerai, kepribadiannya yang memang sudah cuek menjadi lebih dingin lagi sekarang. "Zayden, ke mana kamu semalam? Kenapa baru pulang sekarang?"Mendengar Timothy yang menanyakannya, langkah Zayden tiba-tiba berhenti. "Ada acara semalam dan aku mabuk, jadi aku menginap di luar semalaman."Timothy menganggukkan kep
Mendengar nada bicara Zayden yang kesal, Audrey pun menghentikan langkahnya. "Dua hari lagi kamu akan menghadiri sebuah pesta bersamaku. Bersiaplah," kata Zayden dengan tenang.Audrey mengernyitkan alisnya saat mendengar kata "pesta". Saat masih menikah dengan Zayden, dia tidak pernah menghadiri acara seperti ini, bahkan tidak pernah muncul di depan umum bersama untuk merahasiakan pernikahan mereka. Mengapa Zayden tiba-tiba mengusulkan hal ini sekarang? Apa yang akan dipikirkan anggota Keluarga Moore jika melihatnya masih bersama dengan Zayden setelah bercerai?"Aku ...."Saat Audrey ingin mencari alasan untuk menolaknya, Zayden langsung melemparkan majalah di tangannya. "Aku hanya memberitahumu, bukan menanyakan pendapatmu. Ingat statusmu."Audrey menggigit bibirnya. Saat ini, dia dan Zayden bukan pasangan suami istri kontrak lagi, statusnya sama sekali tidak sama dengan Zayden. Lagi pula, dia sendiri yang membuat situasinya seperti ini."Mengerti." Audrey menundukkan pandangannya dan
Audrey mengulurkan tangannya dan menunjuk ke laci di samping.Zayden menuju laci itu. Setelah mencari-cari, dia menemukan antiseptik dan plester. "Mungkin akan sedikit sakit, bertahanlah," kata Zayden dengan nada lembut, seolah-olah sedang menghibur Audrey.Audrey merasa jantungnya langsung berdebar. Dia baru menyadari entah sejak kapan, setiap tindakan Zayden ini bisa membuatnya berdebar. Namun, dia memberi tahu dirinya sendiri untuk tidak terbawa perasaan. Audrey segera mengalihkan pandangannya, tidak berani terus memandang Zayden. "Nggak apa-apa, kamu obati saja."Zayden membersihkan luka Audrey dengan cekatan, lalu membalutnya dengan baik. "Sudah selesai, lebih hati-hati kelak."Audrey menganggukkan kepalanya dan bangkit untuk kembali ke dapur. Melihat situasi itu, Zayden mengernyitkan alisnya. "Apa lagi yang ingin kamu lakukan?"Zayden membatin, 'Tangannya sudah terluka, apa dia masih tidak bisa beristirahat sejenak?'"Barang di sini berantakan, aku akan rapikan." Saat mengatakan
Orang itu adalah Shania. Beberapa hari ini, dia berusaha keras agar Zayden memperhatikan kelebihannya. Namun sayangnya, sikap Zayden tetap saja cuek. Meskipun Zayden sudah lebih sopan kepadanya dibandingkan dengan wanita lainnya, hubungan mereka masih tetap tidak dekat seperti sepasang kekasih.Shania merasa kesal sehingga dia memutuskan mentraktir sahabatnya untuk bersantai. Awalnya, suasana hatinya sudah lebih baik karena dipuji sahabatnya. Namun, ekspresinya langsung menjadi muram saat melihat Zayden membawa Audrey untuk makan di restoran itu.Shania sebenarnya merasa sangat senang saat mengetahui Audrey dan Zayden bercerai. Bagaimanapun juga, dia merasa sangat gelisah jika Audrey tetap berada di samping Zayden. Tidak disangka, meskipun mereka sudah bercerai, Zayden tetap lebih dekat dengan Audrey daripada dengannya. Kenapa bisa begitu? Shania langsung tidak berselera makan. Dia langsung berdiri dan berniat untuk menghampiri mereka. Dia melihat Audrey pergi ke toilet dan segera meng
"Audrey, apa maksudmu? Apa ... yang aku takuti?"Shania yang panik mulai berbicara dengan terbata-bata. Bisa dibilang, perkataan Audrey tepat mengenai hal yang paling ditakutinya. Namun, Audrey sama sekali tidak tertarik dengan ketakutan Shania. Dia hanya menatap Shania dengan tenang dan berkata, "Kamu mengerti sendiri apa maksudku."Setelah berkata demikian, Audrey langsung mengulurkan tangannya untuk mendorong dan tidak memedulikan Shania lagi. Wajah Shania menjadi pucat dan bibirnya bergetar. Dia tiba-tiba mencengkeram tangan Audrey. "Katakan dengan jelas, apa yang kutakuti? Kamu ini hanya wanita yang diusir Keluarga Moore, apa yang perlu ditakuti? Apa kamu pikir kamu masih bisa bersama dengan Zayden? Jangan bermimpi!"Audrey terus memberontak, tetapi cengkeraman Shania sangat kuat dan membuatnya sulit untuk melepaskan diri. Melihat mata Shania yang memerah dan ekspresinya yang terlihat gila, Audrey merasa agak takut. Bagaimanapun juga saat Audrey sedang hamil, tidak ada untungnya
Setelah mengatakan itu, Audrey menahan rasa sakit di hatinya dan berbalik, lalu pergi. Zayden menahan rasa kesal di hatinya dan tidak menghalangi Audrey lagi. Saat sosok Audrey menghilang dari hadapannya, Zayden baru mengentakkan kakinya dan menendang tong sampah di depannya. "Sialan!"Selama ini, Zayden selalu menghindari wanita. Audrey adalah satu-satunya wanita yang ingin dia dekati. Namun sayangnya, tidak peduli apa pun yang dia lakukan, selalu sia-sia saat menghadapi Audrey. Bahkan niat baiknya untuk mengajak Audrey makan di luar agar Audrey tidak perlu memasak di dapur pun ditolak Audrey. Dia langsung kehilangan selera makan juga karena merasa sangat marah. Dia pergi meninggalkan restoran sendirian dengan kesal.....Setelah keluar dari restoran, Audrey berjalan sendirian di jalanan. Dia memang bukan orang yang kejam. Jika ada yang baik kepadanya, dia selalu ingin membalas kebaikan orang itu berkali-kali lipat. Dia sudah berusaha keras untuk mengatakan perkataan tadi kepada Zayde