"Istrimu...” gumam Kinanti. “Ia setiap hari dikirimi tipu daya syahwat oleh raja genderuwo itu. Dan karena psikisnya terus didera oleh sihirnya, sihir itu tidak lagi berupa sihir. Dan kemampuan itu hanya dimiliki oleh genderuwo... sama seperti kebohongan. Apabila kebohongan itu terus diucapkan terus-menerus, kebohongan itu akan berubah menjadi kenyataan.” Kinanti terus memacu diriku, bahkan kini kini kedua tangannya telah memelorotkan celana tidurku hingga burung itu bisa mengepak dengan bebasnya: menantang ke arah jin perempuan itu. Terlihat jelas sekali Kinanti begitu berhasrat. Bibir bawah perempuan itu, yang tampak sensual lantas menggigit bibir bawahku tatkala melihat dan memegang tongkatku yang tegak lurus, keras, dan bergerinjal. Tangan Kinanti yang lembut itu terasa menyapu permukaan tongkatku, membuatnya sesekali menggeliat resah. Dan ketika mulut jin perempuan itu lantas melahapnya, aku sudah kehilangan kesadaran. Niat ingin membangunkan Wirda atas gangguan yang sedang ku
“Kenapa kau?” tanya Sekar yang baru saja datang ke meja kantornya dan lantas melihatku begitu luyu dan pucat di meja kerjaku. “Jangan sampai kau sakit lagi, Bud. Bisa-bisa kerjaanmu aku lagi yang meng-handle,” seloroh Sekar lantas duduk di tempat kerjanya sembari merapikan mejanya, lalu menatapku lagi yang sama sekali tidak bereaksi atas guyonan pagi hari yang sama sekali tidak menyemangatiku. “Kenapa?” tanyanya lagi. “Tidak apa-apa...” “Sebaiknya kau membersihkan dirimu, Bud.” “Apa maksudmu dengan membersihkan diri? Aku sudah mandi.” Sebentar, kudengar Sekar tertawa mendengar jawabanku. “Bukan membersihkan dalam arti mandi. Maksudku... kau tahulah... akhir-akhir ini kau selalu diselimuti dengan aura gelap. Entah aura itu menggodamu atau menakutimu... banyak-banyaklah berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan.” Aku hanya terkekeh. “Aaa, aku tahu kau atheis.” “Tidak! Jangan asal menuduh!” “Maaf kalau begitu.” “Sudah kubilang jangan asal menuduh. Aku bukan atheis.” Aku lantas me
“Budiman.” Aku tercengang. Kinanti telah duduk di kursi plastik itu menggantikanku. Ia bahkan menghisap sebatang rokok dari bungkusnya—yang semula kuletakkan di pagar balkon—dan kini tampak menatapku sayu, seolah sedang berusaha menggodaku. “Cukup, Kinanti. Aku tidak ingin berbicara lagi denganmu. Bisakah kau pergi ke alam lain? Ke duniamu?” Kinanti hanya menggeleng sembari duduk santai dengan kaki menyilang. Tatapannya lurus ke arah keraton. Lalu, ia menunjuk ke arah bangunan penting. “Segaris lurus di sebelah sana kemudian adalah gunung Merapi,” ujarnya. “Apa maksudnya?” “Kalau kau mau aku membantumu mengembalikan istrimu seperti sedia kala, kau harus ikut aku ke sana. Masuk ke sisi lain dari gunung tersebut, di mana kerajaan gaib telah berdiri di sana sejak ribuan tahun,” kata Kinanti seolah memberikan harapan. Aku tidak pernah bisa langsung memercayainya, sebab setiap tawaran yang diberikan dari kalangan gaib, entah jin, demit, siluman, atau bahkan iblis, selalu memerlukan
Aku yakin, kawan-kawan sekantor mulai menyadari ketidakwarasanku. Tepat seusai mereka memergokiku sedang berbicara dengan Kinanti di balkon kantor itu, mereka agak berbeda menanggapiku, kecuali Sekar. “Saya pulang lebih dulu,” kataku agak mencemaskan keadaan Wirda di rumah, meski aku tahu perempuan itu kini sudah dikawani oleh tetangga kami yang sudah mulai akrab dengannya dalam beberapa hari ini. “Kalau begitu aku juga,” kata Sekar. Kemudian salah seorang rekan kantor bernama Darma lantas mendekatiku dan menepuk pundakku, seraya menampilkan raut simpatiknya. Dari situ aku berpikir bahwa dugaanku benar: mereka menganggapku tak waras. Aku pun yakin, tepat setelah aku melangkahkan kaki keluar dari kantor, mereka pasti akan berkerumun di salah satu meja rekan kerjaku lalu bergunjing perihal keadaan tertekanku. “Tenang saja... kau tidak perlu menghiraukan mereka,” kata Sekar yang sore itu kembali berjalan beriringan dengannya kala keluar ruang kantor. “Ya... mungkin sekarang mereka
Ia pun menurutinya. Namun, posisinya malah berubah. Setelah kakinya tidak lagi di atas kedua pahaku, kini malah satu tangannya mengelus-elus pahaku. Kupikir, dia memang setan sungguhan. Ya, setan dalam artian sesungguhnya. Dia terus membelaiku, mencoba menggodaku agar aku tidak lagi memikirkan istriku. “Kinanti! Jangan seperti ini. Kumohon, mengertilah...” kataku sembari mencengkeram tangannya yang solid dan bisa kurasakan suhu tubuhnya yang menghangat. Dia seperti manusia. “Aku hanya ingin kau menyalurkan segala keresahanmu padaku, Bud. Kau sungguh menyadarinya sendiri betapa dirimu kini sedang merasa tersiksa dengan kegelisahan yang tidak bisa tersalurkan dengan baik. Wirda telah menolakmu. Dia tidak akan lagi melirikmu lagi. Statusmu sebagai suami, dan statusnya sebagai istri hanyalah menjadi formalitas...” “Nonsens!” “Itu benar. Wirda hanya bisa terpaku pada mahluk hitam berbulu dan bermata merah itu. Mahluk menjijikkan itu telah berhasil menyeret seluruhnya darimu. Merenggutn
Aku seperti orang kesetanan, meski saat ini secara definitif setan itu sedang duduk di sampingku. Kukendarai mobil ngebut sekali untuk menghindari petir yang secara aneh seperti mengincar mobil kami. CCIIIIIIIIIIIIIIIIIT... Rem beberapa kali kuinjak demi menghindari petir yang baru saja menyambar jalan di hadapan kami. Kilatan biru keunguan bahkan berhasil merompalkan aspal jalanan, membuat aku hampir saja memekik keras. “Ada apa ini?! Kenapa petir malah menyambar ke sini! Alam sedang mengutuk kita!” racauku tanpa pikir panjang. “Jangan berbicara yang bukan-bukan. Ini bukan petir biasa.” Aku lantas melirik Kinanti sekilas dan menunjukkan wajahku yang tak setuju dengan ujaran jin betina ini. “Yang benar saja!” “Kau dulu memang tidak memercayai tahayul, kau tidak memercayai jin dan jenis mahluk halus lainnya, akan tetapi lihatlah dirimu! Kau melihatku! Dan kau harus lebih memercayai penglihatanmu lagi karena apa yang kau lihat padaku tidak dilihat oleh kawan-kawanmu! Kau melihat
Jantungku hampir berhenti merasakan keterguncangan yang akan segera kuhadapi. Tanpa sadar, aku menoleh kembali ke arah Kinanti yang masih bersender kecut di salah satu pilar selasar depan. “Sudah kubilang... kau hanya akan depresi... kau hanya akan lebih kecewa berkali-kali lipat, Budiman.” Kata-kata Kinanti seolah akan berubah menjadi kenyataan. Maka, aku buru-buru memasuki rumah dan mencari sumber desahan Wirda yang terus membesar seraya aku memasuki ruangan. “Ah...mmmhh...sssh....ah...ya, terusssshh...” “Wirda!” Aku lantas tertuju pada pintu kamar kami, lalu kudobrak pintu dan alangkah terkejutnya diriku tatkala melihat seorang lelaki sedang menghimpit tubuh istriku. Wirda tampak telanjang, sementara kedua kakinya mengangkang menerima hunjaman lelaki itu. Yang membuatku tak habis pikir adalah, di saat lelaki yang sudah amat kukenal itu hendak mengusaikan permainan birahi mereka, tangan Wirda malah memeluk lelaki itu lebih erat. “J-Jangan! Ah! Ah! Jangan berhenti! Dokter Riza
Wirda Aku tentu saja merasa berbahagia bisa menikahi suami seperti Budiman. Dia pekerja keras. Sangat perhatian padaku, bahkan ketika aku hanya terkena flu ringan sekalipun, Mas Budi lantas menyuruhku minum air yang banyak, minum obat, lalu membelikanku buah-buahan. Ketika aku merasa lemah dan capek dalam mengurus rumah (saat itu rumah di Semarang), Mas Budi lantas menghiburku agar rasa penatku menghilang. Kami pun selalu bercinta dengan sangat romatis. Kami selalu bercumbu setiap pagi datang, dan entah mulai sejak kapan itu menjadi rutinitas. Singkatnya, beberapa tahun setelah menikah, aku masih merasakan kehangatan dari Mas Budi, sama halnya seperti kami masih berpacaran dulu. Mas Budi selalu getol memujiku, begitu juga aku. Ia selalu berlebihan menilai sikap ramahku kepada orang-orang dari kalangan manapun. Ia selalu bilang, status ningratku ini kerap kali memengaruhiku dalam menerapkan tatakrama di kehidupan sehari-hari, dan itu membuat Mas Budi suka. Menonton film di teater
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K