Apa yang terjadi dengan Mas Budi, sungguh aku tak tahu dan tak peduli, kendati Kinanti telah menidurinya dalam dunia khayalnya. Meski aku sudah menduganya bahwa jin perempuan itu memang melakukannya. Namun, sungguh melihat suamiku merangkak begitu menuju ranjangku membuatku cukup simpatik juga. Pikirannya mungkin kini sedang bercabang; antara memercayai bahwa penglihatannya—juga pendengarannya—perihal aku yang bersetubuh dengan Gatara merupakan sebuah khayalannya semata atau justru sebuah kenyataannya. Ini sama saat dia memergokiku bersetubuh dengan Dokter Rizal yang mana sebetulnya adalah Gantara pula yang sedang memakai tubuhnya. “Wirda...” kata Mas Budi dengan suara lemah. “Wirda...” Aku sebenarnya ingin membantunya, sekadar berdiri dan kembali ke ranjang kami di kamar villa yang penampakannya cukup besar bila dibandingkan dengan rumah kami. “Kupikir kau masih menonton,” katanya dengan nada lemah—persis seperti orang mabuk. “Hah?” Aku lantas berakting setengah kaget. “Kupik
Sesampainya di rumah, kami sama sekali tidak sempat membereskan semua barang-barang yang kami bahwa dari Puncak. Entah itu baju kotor maupun oleh-oleh berupa pakaian dan makanan, tampak dibiarkan saja menggeletak di atas meja ruang keluarga. Aku hanya bersih-bersih sebentar. Tak mandi, karena kami baru tiba di rumah hampir dini hari, dan rasa lelah segera mengintai kami. Meski demikian, kami tak juga membuat suara. Kami seperti pasangan yang bisu dan hanya berkomunikasi ringan dan sepele melalui gestur. Setelah aku bersih-bersih dan menyuruh Mas Budi secara tersirat untuk mengambil makanan di lemari pendingin aku segera ke kamar dan mengunci pintu kamar. Ya, seolah aku tidak ingin lelaki yang statusnya masihlah suamiku itu mengisi sisi lain di ranjang kami. Aku hanya ingin seorang diri di kamar. Menunggu datangnya kembali sosok Gantarra, karena entah kenapa aku masih merasa berhasrat dan menginginkan sentuhannya, setelah yang ia lakukan padaku di kamar villa itu tidak membuatku pu
Semalaman aku diterpa berahi oleh Gantarra. Kasurku rasanya sudah membanjir, entah oleh carianku ataupun cairan tubuhnya, yang menggaib. Tubuh kami sudah sama-sama berpeluh. Sesekali, aku masih sempat melihat bayang-bayang Dokter Rizal dalam diri Gantarra. Apakah mungkin ia masih mengenakan tubuhnya untuk melakukan persenggamaan ini? Aku tak tahu, yang jelas lelaki ini telah berhasil menguasai tubuhku untuk ke sekian kalinya. Kendati tidak sebanyak yang dilakuakan oleh Reynaldi padaku, tapi entah mengapa, batinku justru makin menguat saat bersama dengannya. Meski lelaki itu tak berada di sisiku dalam beberapa lama—dan lebih sering Reynaldi yang menggantikannya, tetap saja, kini sinyal batinku merasa Gantara-lah lelaki yang telah berhasil mendapatkan hatiku seutuhnya. Apakah ini berlebihan atau sekadar bagian dari fenomena kasmaran semata. Aku tak tahu, tapi jelas aku bisa merasakannya sendiri, bahkan di saat aku dalam perenungan yang serius, bukan pesona berahi yang dimunculkan da
Dalam kekosongan di rumah yang semakin lama semakin memuakkan itulah, Kinanti kerap hadir menemaniku. Biasanya ia muncul setelah Ashar dan terus berada di rumah sampai pukul sembilan malam. Ia makin lama berada di rumah, sekadar ingin tahu tentang diriku yang dianggapnya wajib ia teliti. “Tapi, sepertinya calon suamimu itu mulai mencurigaiku, Wirda... mereka mengirimkan begitu banyaknya mata-mata untuk menyelidiki motifku pergi mengunjungimu. Dia pikir, aku akan mengendalikanmu dan mempengaruhimu. Dari sana sudah terlihat, bahwa calon suamimu sama sekali tidak mengerti dirimu,” kata Kinanti sembari membolak-balikkan majalah bisnis yang banyak menumpuk di rak meja ruangtamu. Dan entah sudah berapa lama benda-benda itu membusuk di sana. Tak ada yang menyentuhnya sejak hubunganku dengan Mas Budi memburuk. “Aku tahu... dia hanya mencoba bersikap posesif saja,” kataku sembri menyiapkan sesuatu yang bisa kami minum. Kumasukkan beberapa buah ke dalam blender. Bersama itu pula, dari rua
Hari pernikahanku semakin dekat saja. Dan malam ini, suamiku kembali tidak pulang lagi dari tempat kerjanya, sebab berdasarkan informasi dari Kinanti Mas Budi pergi bersama Sekar ke rumah kakeknya, dan hari ini pula mereka akan pergi untuk mengusir semua jin yang ada di dalam rumah ini. Jujur saja, aku ingin sekali menolaknya, tapi semua rencana sudah dibuat dan aku tak bisa melakukan apa-apa di rumah ini selain menunggu Gandarakala alias Reynaldi mendatangi rumah bersama prajurit-prajurit istimewanya—seperti malam saat ia pertama kali mengajakku ke kerajaannya. Menjelang magrib, Kinanti pun datang lagi ke rumahku sekadar menginginku menceritakan hal-hal yang mungkin selama ini kuanggap tabu. “Ini untuk yang terakhir kalinya aku datang ke sini, Wirda... sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih atas persahabatan yang mungkin menurutmu cukup ganjil.” “Ya...” Kinanti lagi-lagi memesan jus alpukat padaku, dan ia tampak senang sekali meminumnya hingga habis. Ia kemudian menatap
Tepat setelah Kinanti pergi membawa informasi dariku, tak lama seperti kata peri itu, aroma bangsa gandarawa bisa kuhirup. Aroma kembang menyan, yang sering kuhirup di setiap sudut istana kerajaan Gandarawa itu semerbak datang menguasai rumah. Saat itu juga, aku langsung membuka pintu kamar. Portal yang sebelumnya tercipta di sekitar halaman depan rumah kini kembali membuka, seperti sebuah mata yang membelalak. Tak hanya itu, sekelemenyar cahaya yang mencuat bersama datangnya rombongan prajurit khusus berzirah emas yang berkilauan itu, mulai menyilaukan mataku. Cahaya keputihan dan aroma kemenyan itu kemudian menarik perhatian seluruh mahluk halus yang semula telah berada di sekitar perumahanku. Mulai dari kaum kuntilanak, kaum pocong, tuyul, beberapa silumuan berderajat rendah, dan hantu-hantu dari arwah penasaran yang tak diterima bumi pun berkumpul semua ke sekitar cahaya. Mereka seperti para penyembah sang Gandarakala, yang kembali datang dengan kereta kencana berpancaran cahay
Perjalanan menuju istana terasa cepat. Padahal aku ingin segalanya terlihat lambat. Barangkali ini karena sihir yang digunakan oleh Gandarakala—yang sudah sangat ingin menikahiku dalam sebuah rangkaian upacara sakral bangsa Gandarawa. Setibanya kami di halaman istana, suasana sudah ramai seperti pasar tumpah. Mahluk-mahluk Gandarawa itu berjubelan di sekitar alun-alun menyambut kedatangan kami dengan gegap gempita dan sorak-sorai—seolah-olah kami adalah sekelompok prajurit yang baru saja pulang menang perang. Kulihat beberapa pemuda gandarawa melambaikan kedua tangannya sembari pada jemari mereka tampak kain besar seperti spanduk bergambarkan lukisan wajahku. “Kau sudah sangat dicintai di sini, kekasihku... kaulah satu-satunya permaisuriku yang akan membawa kedamaian di dunia ini... di bangsa kami...” begitu kata Gandarakala—yang agaknya tak mengerti bahwa sikapnya ini hanyalah menjadikan diriku sebagai alat politik untuknya, agar kepemimipinannya bisa dihargai di kerajaan ini. “Tu
Upacara itu terasa cepat. Juga perjamuan makan antar keluarga, berlangsung cukup cepat, kendati sebenarnya lama. Entah kenapa, apakah ini karena sihir Gandarakala? Aku tak tahu, yang jelas, sehabis kami melakukan tradisi memakan daging mentah segar—yang mana itu semua adalah daging-daging bayi manusia yang dikorbankan, aku lantas dituntun oleh keluarga sepupu mereka, pergi ke sebuah kamar pengantin yang telah disiapkan.Tampak saat Gandarakala membuka pintu berdaun dua, sebuah ruangan seperti griya tawang hotel paling mahal pun bisa kulihat. Kuhirup pula aroma bebungaan yang berguna untuk mengundang hasrat kami, agar malam pertama kami dihabiskan dengan sangat indah. Kendati sebenarnya, aku merasa sudah melakukannya, jadi kupikir pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas dan seremonial belaka.“Kau pasti lelah, wahai permaisuriku,” kata Gandarakala terdengar lembut seraya membelai punggungku, dan di saat yang sama Gandarakala segera memerintahkan semua sepupunya untuk kembali ke pesta
“Kau membunuh Sekar?” desakku. Diam. Meski sinyal telepati kami masih saling terhubung. “Jawab,” desakku lagi. “Kalau seandainya iya, kenapa? Lagipula, kau tidak ada urusan lagi dengannya.” “Ada. Bila ia masih hidup, aku punya kesempatan besar untuk mengembalikan kehidupanku. Mengubahnya, dan ...” “Aku membunuhnya tepat setelah kami memulai kehidupan kami... ya, di masa awal-awal, bahkan dalam duniamu, kau masih dalam persiapan pernikahan dengan Gandarakala jelek itu. Aku sudah menyusun rencana dengan memanfaatkan Budiman untuk membunuhnya.” Aku menganga. “B-Bagaimana b-bisa?!” “Mungkin aku tak bisa membunuhnya dengan kekuatanku karena itu hanya akan membunuhku. Tapi, Sekar memiliki banyak celah di hadapan manusia. Dan Budiman yang membunuhnya.” “Tidak!” “Budiman membunuhnya saat ia dan Sekar berencana melaporkan kehidupan kami kepada dokter forensik itu. Sebelum tiba di perjalanan, ia mencekiknya, memukul kepalanya dengan palu yang telah ia siapkan dari rumah.” “B-Bagaiman
“Memang ada suatu hal yang mesti kau lakukan ketika memilih jalan hidupmu. Sama seperti Anakku Athania, pada akhirnya ia memilih jalan keikhlasan, karena di masa mudanya, sama sepertimu... ia memilih jalan hidupnya di sini. Bersama ayah dari Raja Gandarakala. Raja sebelumnya. Dan kini ia bisa menerima kehidupannya sendiri. Ia bisa hidup damai...” kata Ki Subadra terdengar bijak dan cukup menyesatkan. Namun, aku menggeleng, dan masih tetap berusaha mengangkat tubuhku dari atas sebuah meja altar besar di mana kitab tersebut berada di sana. Tanpa sengaja, di saat aku sedang mengendalikan tubuhku, aku menjatuhkan lilin dan api segera tersunut membakar kain yang melapisi meja altar tersebut. Dengan sigap, Ki Subadra lantas menghisap api tersebut seolah sedang menyeruput minuman saja. Sekejap, api pun hilang. Kini, jelaslah seperti apa kesaktian lelaki ini. Mataku membelalak. “Pulanglah ke kamarmu, Anakku. Ini adalah pilihanmu. Dan semua penderitaanmu merupakan akibat dari pilihanmu send
Apa yang tak pernah terpikir olehku adalah ketika aku menemukan namaku di sebuah kitab khusus di sebuah ruangan yang hanya bisa dimasukkan oleh anggota dewan kerajaan, yang mana sekumpulan orang-orang penting pembuat keputusan, dan raja menyakralkan keputusan tersebut. Semua ini berawal dari mimpi burukku suatu malam, yang kemudian mengantarkanku pada penyelundupanku ke sebuah ruangan, usai mengelabui beberapa penjaga dengan menyuap mereka dengan emas-emas juga tubuhku. Ya, aku tidak bohong. Juga dengan tubuhku. Aku seperti wanita malam di dunia manusia. Kupikir bayaran itu setimpal untuknya, karena ruangan itu memang amatlah rahasia bahkan bagi para istri raja sebelumnya—hanya akulah yang pertama kali memasuki ruangan itu. Sebelum mimpi buruk itu datang, sehari sebelumnya aku masih mengingat kata-kata Ibu Athania yang dengan tegas—untuk ke sekian kalinya memberitahunya untuk menghapus namaku. “Sebaiknya kau tidak perlu melakukannya... sudah kubilang. Ini sangatlah berbahaya.” “Ap
Ada rasa sepi yang tak bisa ditahan lagi. Seolah tak ada yang bisa menjelaskan padaku arti cinta itu lagi. Dan artinya semakin jauh kurasa. Apa harus begini. Harus bagaimana lagi aku menghadapi semua ini. Gandarakala agaknya belum mengetahui betapa dirinya telah menghilangkan hasratnya melalui mantera penangkal gendam dari peri itu. Setiap ia datang menghampiriku, dan menggodaku sembari menelusupkan mantera gendam tersebut. Tangannya merayap di sekujur tubuhku, dan bersama itu pula hawa dingin mengepungku. Sementara mulutku terus menggumamkan dusta. Desah dusta, lenguh dusta, erang dusta, juga desisan manja yang tersusun dari kata dusta, Dan mahluk ini masih belum bisa menyadarinya, kendati ia telah menyetubuhi istrinya hampir dua jam lamanya dalam kehidupan manusia. Sampai kakiku mengangkang, dan membiarkan batang panjangnya menghunjam keluar-masuk di selangkanganku, aku tetap berdusta. Hingga ia berkata. “Kau kering... tumben sekali?” “Entah..sssh...” Ya, tak biasanya aku banj
“Dia sama sekali tidak menujukkannya.. Dan entah kenapa kesadaran itu muncul dalam diriku, Kinanti,” kataku pada peri itu dalam telepati yang sudah jarang kami lakukan. Namun, entah apa yang terjadi, suatu hari Kinanti mengabariku, dan di saat itu pula aku menceritakan keadaanku dengan Gantarra. “Lalu, bagaimana selanjutnya?” “Buruk.” “Buruk bagaimana?” “Dia agaknya makin memberi jarak padaku, dan dia sudah dikirim bertugas ke tempat yang lebih jauh lagi,” kataku dengan nada yang lemah. Dan hawa kefrustasian kembali melingkupiku lagi. Seolah kesepian sudah menjadi takdir hidupku. Seolah tak boleh ada yang benar-benar bisa kupercaya bahwa ada orang yang mencintaiku sungguh-sungguh, tanpa embel-embel gendam dan perangkat curang yang membuatku termanipulasi pada sosok siapapun. Tapi, benarkah? Benarkah kalau Gantarra mengirimkan gendam pula padaku. Kenapa aku tidak merasakannya? Sebagaimana aku merasakan setiap mantera gendam yang berusaha dikirim oleh para demit. Tidak hanya Gandara
Desahan itu terus bergulir sepanjang waktu dalam sebuah kamar kecil dan sempit—jika dibandingkan dengan kamar istana—yang selama ini menjadi tempat tinggalku, sekaligus sangkar emas yang membelengguku. Gantarra pun begitu melampiaskan rasa rindu yang sama padaku. Tubuhnya yang kekar terus melingkupiku, yang polos tanpa sehelai benangpun. Peluh kami sudah berjatuhan, membasahi ranjang, bersama itu pula ranjang kami terus berderak tanpa bosan. Bahkan ketika seorang pengurus bangsal kamar yang kerap memeriksa kamar dan membersihkan ruangan dengan seizin penyewa, kami sama sekali tidak membukakan jin itu, dan membiarkan kami terus tenggelam dalam balutan berahi rindu yang tak terahankan. Aku tahu, bila seseorang melihat dan mendengarku pastilah mereka akan melaporkannya kepada raja, itulah menjadi sebab mengapa aku tak membukakan kamar. Gantarra pun setuju akan hal itu. “Ah! Ah! Ah! Uuuh! Uuh! OOOOH!” Tubuh menggeliat dan terangkat. Desahan terus meliar. Sedangkan Gantarra terus meng
Para prajurit itu terus menahan gerakanku yang terus memberontak, hingga akhirnya mau tak mau mereka memasangkan borgol di kedua tanganku. “Mau tidak mau, Permaisuri... Anda mesti diborgol. Ini merupakan bagian dari tugas saya menyelamatkan dan menjaga Permaisuri. Kami tidak ingin ambil risiko dengan membiarkan Tuan Permaisuri pergi sendirian lagi,” katanya tegas sembari menahan kedua tanganku di belakang dan membergol pergelangan tanganku. Di saat kami hendak melewati jalan utama di sanalah aku melihat Gantarra berdiri dengan pakaian resminya. Zirahnya tampak berkilauan dan secara otomatis, semua prajurit itu lantas berlutut seraya menghaturkan sembah kepada sang panglima perang. Itu perlu dilakukan bagi siapapun yang memiliki gelar tinggi—terlebih bukan hanya berupa gelar, Gantarra memang wajib diberikan penghormatan atas jasanya karena ia masih memiliki darah raja gandarawa terdahulu. Kalau tidak menjadi seorang panglima perang, sudah pasti gelarnya adalah pangeran. Namun, Gant
Aku merasa aneh ketika mendengar suara desahku sendiri, apalagi suara lenguh sendiri tatkala Kinanti berhasil mengendalikan tubuhku dan berhasil pula membuat Mas Budi terjebak dalam khayalan gila tentang sosok peri yang selama ini—menurut pemikiran suamiku itu—sudah ditinggalkannya bertahun-tahun.Ya, mereka kini sudah memiliki dua anak yang sama-sama sudah masuk sekolah. Dan seiring berjalannya waktu, anak-anak itu akan membesar. Di saat itu pula keadaan Mas Budi akan nampak. Apakah dia akan bertahan dengan khayalan gilanya, dan lebih gila lagi, aku sungguh tak heran dengan apa yang sedang dipikirkan Kinanti. Bisa-bisanya peri perempuan itu ingin membuat Mas Budi tersuruk kembali dalam jurang kefrustasian—seperti di saat aku masih menghuni jasadku sendiri. “Kau benar-benar gila,” kataku masih dalam sinyal telepati.“Itulah yang harus dilakukan. Bukankah begitu cara manusia menutup suatu kasus dengan kasus lainnya yang lebih rasional. Menurutku itu sangat masuk akal.”“Bagaimana bil
“Apa yang terjadi, Wirda?” tanyanya. “Kau jadi atau tidak... aku sudah menggoda suamimu dan dia tampaknya berniat untuk menyetubuhiku.”“Ya... aku tidak apa-apa,” kataku sembari menyeka air mataku dan segera menutup jendela. “Aku mau... aku tidak apa-apa.”“Apa yang terjadi? Apa Gandarakala pulang dan mengetahui...”“Tidak. Bukan itu.”“Lalu apa?”“Entah... aku hanya terbawa suasana ketika mendengar cerita Bu Athania. Ia menceritakan soal kebenaran tentang jiwa yang terjebak di dimensi ini. Tentang kontrak yang secara tidak langsung harus kujalankan...dan...”“Ya, ya... mereka memang menerapkan sistem seperti itu. Macam kutukan yang tercipta dalam kontrak.”“Tepatnya saat aku memilih hidup di sini... apa itu terjadi juga di dunia peri?”“Sebagian besar dunia demit seperti itu,” kata Kinanti, bersama itu pula, kudengar suara Mas Budi mulai memasuki kamar dan sempat kudengar pula Kinanti berbicara mesra kepada suamiku. Atau mantan suami? “Kecuali...” lanjut Kinanti. “Kecuali apa?”“K