Flashback
"Ada apa sih, Ris?" tanya Santi
Riska---adiknya baru saja menyeret lengannya ke belakang rumah.
"Teteh masih nanya?" Mata Riska sudah berkaca-kaca sejak tadi, sekarang ia memuntahkan tangis dengan bibir bergetar sembari menatap nyalang kakak tirinya.
"Terus kamu mau apa, hah?!" sentak Santi yang tak peduli sama sekali pada air mata adiknya. Ia menyorot tajam Riska yang menangkup bibirnya dengan sebelah tangan agar tak menimbulkan suara tangisan.
"Teteh tau Kang Maman itu kabogoh Riska. Terus teteh tega nerima perjodohan sama dia?" lirih Riska sambil menggenggam sebelah tangan kakaknya.
*Kabogoh : Pacar
"Teteh juga cinta sama Kang Maman, terus kamu mau apa?!" Santi menghempaskan tangan adiknya yang kemudian berjongkok sesenggukan.
Tak pernah terbayang di benak Riska, jika kakakny
"Mertua Anda saat ini sedang ditangani di ruang IGD, Pak." Sadam memberikan laporan singkat pada atasannya."Tunggu di sana! Saya akan segera menyusul ke Rumah Sakit Sayang," ucap Malik lalu memutuskan panggilan sepihak.Sadam mengumpat dalam hati. Kebiasaan bosnya saat panik selalu menelan informasi setengah-setengah. Padahal Bu Santi sudah diungsikan ke rumah sakit yang sama dengan Rina.Lelaki berperawakan jangkung dengan kulit putih itu segera menyusul Malik sebelum bosnya lebih dulu pergi. Ia berlari tergesa menuju parkiran. Benar saja lelaki yang dicarinya sudah menaiki mobil dan menyetir dengan tergesa.Sadam memijat pelipis yang terasa pusing. Tanpa pikir panjang, segera ia menyusul lelaki itu menuju pusat kebakaran berada.Malik memarkirkan mobil sembarangan, lalu bergegas keluar hendak menemui mertuanya yang tengah kritis. Namun bukannya menemukan Bu Santi, ia malah bertemu Zain."Di mana Rima?"
Malik diam membisu. Keputusan meninggalkan Elrima bukanlah sesuatu yang mudah untuk saat ini. Pasalnya perempuan itu sedang sangat membutuhkan perlindungan suami. Bukankah akan disebut dzalim, jika menceraikan Elrima di saat dia sedang dalam kesulitan seperti sekarang ini.Setidaknya Malik berpikir akan tetap mempertahankan Elrima sampai ia melakukan klarifikasi di podcast Danu Sumarno."Kenapa diem aja? Kamu nggak mau ceraikan perempuan itu?" tanya Bu Santi dengan nada tak enak di dengar. Bahkan Sadam sampai memalingkan wajah, saat melihat atasannya dibentak kasar."Sadam tolong keluar sebentar!" ucap Malik dingin.Lelaki dengan rahang tegas itu tak mampu menjanjikan apapun untuk sang mertua. Punggung tegapnya bersandar di kursi. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa karena pasti akan serba salah."Mah, tolong fokus saja dulu sama kesehatan mamah. Masalah Malik biar saya sendiri yang tangani. Malik cuma mau mamah
Satu bulan berlalu.Rina dan Baby Al sudah pulang ke Jakarta. Mereka disambut penuh haru oleh keluarga Malik. Tentu yang disambut hanyalah Baby Al, sebab Rina sedari pertama menginjakkan kaki di keluarga itu, sudah langsung dipandang sebelah mata.Mereka memang tak pernah frontal mengganggu Rina di hadapan Malik. Hanya perempuan yang baru saja melahirkan itu yang merasa ada benteng kokoh yang terus dibangun keluarga suaminya, untuk terhindar dari orang rendahan sepertinya.Padahal Rina sangat betah di Cianjur mengurus Baby Al. Namun Malik yang bekerja bolak balik Jakarta-Cianjur tentu ingin selalu berada di sisi keluarga kecilnya."Cicit oma, MasyaAllah gantengnya mukanya mirip mamanya ini," gemas Oma Ratna yang langsung menggendong bayi mungil dari pangkuan Rina."Gimana kamu jahitan operasinya udah sembuh?" tanya Oma yang memang hanya wanita tua it
Elrima bergetar ketakutan bersama Baby Ali yang menangis kencang. Perempuan itu pernah merasakan hal yang sama saat menyaksikan calon suaminya kecelakaan, tepat di depan mata Elrima.Suara dentuman yang memekakan telinga, kerumunan orang-orang, erangan kesakitan dari sang korban, bau amis darah yang membuat kepala terasa berputar, juga mata sekarat yang menahan rasa sakit yang teramat.Semua itu bagai dejavu baginya. Tangan Elrima bahkan rasanya seperti tak bertulang andai tak ada Baby Ali di pangkuan, mungkin sejak tadi ia sudah pingsan.Rina menengok ke belakang di mana putranya tak juga menghentikan tangis. Mata hazelnya menangkap wajah pucat Elrima yang bergetar ketakutan dan melirik kiri kanan dengan gelisah.Bergegas Rina turun dari mobil dan pindah ke jok belakang di mana Elrima dan Baby Ali berada. Segera ia meraih anaknya dan menyusuinya agar tenang, setelah sebelumny
"Aku bisa jalan sendiri, Kang." Elrima berkata saat sudah memasuki area rumah sakit. Ia merasa risih dengan tatapan orang-orang yang lalu lalang."Udah jangan bawel! Gimana kalau kamu jatuh lagi kaya tadi," cegah Malik saat istri mudanya itu memberontak ingin diturunkan.Salah seorang perawat yang mengenal Malik segera menyuruh lelaki itu memasuki ruangan khusus. Tentu uang yang dimiliki bisa mempermudah segalanya, hingga tak perlu berlelah-lelah mengantri.Mereka diminta menunggu di sebuah ruangan dengan pasilitas lengkap. Wajah Elrima kian memucat saat merasakan dinginnya sentuhan AC. Keduanya duduk di sebuah sofa yang nyaman. Tanpa diminta, Malik memeluk perempuan itu agar merasa sedikit tenang.Kepala dengan balutan pashmina warna cappucino itu menempel tepat di dada bidang dengan aroma maskulin yang memabukkan. Suara detak jantung lelaki itu yang menggila di dalam sana, mampu Elrima dengar seolah bersahut-sahutan dengan jantungnya yang juga berdetak tak karuan."Kamu kelelahan, E
"D--dia ...," ucapan Zain terputus napas yang sudah benar-benar hilang dari tubuhnya.Lelaki itu terpejam dengan tubuh yang kian memucat. Malik lantas memegang nadi Zain yang sudah tak berdetak."Innalillahi wa innalillahi rojiun," ucap Malik dengan dada yang bergemuruh hebat. Satu kalipun ia tak pernah menyangka, seorang Zain yang pernah Malik benci, bisa meninggal setelah menyelamatkan nyawa seisi mobil yang dikendarainya."Z--Zain ... Akang ngomong apa? Jangan bercanda, Kang." Elrima berkata dengan suara mencicit seperti tikus. Demi apapun seolah ada yang menyerabut paksa segala rasa yang ada dalam hatinya.Elrima merasakan kaki yang seperti tak berpijak lagi pada bumi. Juga pandangan yang seperti berputar di sekelilingnya. Berita yang teramat menyakitkan itu tak mampu lagi ia tahan, hingga perlahan kesadarannya menghilang bersama dekapan Malik di tubuhnya.Malik segera membopong tubuh Elrima agar segera ditangani tenaga
"Kang Zain itu suami saya, Teh." Akhirnya jawaban paling masuk akal bagi Elrima itu yang meluncur dari bibir tipisnya.Mata Malik melebar tak percaya, seperti ada sesuatu yang meremas jantungnya hingga menyebabkan rasa terkejut yang menyakitkan.Elrima tersenyum canggung ke arah Malik. Ia lantas memasang wajah sendu saat bersirobok dengan kakak madunya.Sekarang Rina paham kenapa Malik memperlakukan Elrima dengan begitu spesial. Mungkin suaminya merasa bersalah karena sudah mencelakai Zain, ditambah sekarang lelaki itu sudah tak ada lagi di dunia ini. Tentu penebus rasa bersalah itu, hanyalah dengan memberikan segala yang terbaik untuk baby sitter-nya sekaligus istri dari korban yang ditabrak suaminya."Gimana ceritanya, kok bisa serba kebetulan gini?" tanya Rina yang ingin semakin diyakinkan jika Elrima dan suaminya tak memiliki hubungan spesial apa-apa."Kami janjian mau pindah kostan yang gak terlalu jauh sama rumah
"Tidak ada!" ketus sang dokter karena merasa dirinya memiliki backing yang lebih kuat dari seorang Malik Al-Faruq."Saya akan menghentikan donasi ke rumah sakit ini dan mencari rumah sakit lain yang lebih profesional," ancam Malik dengan nada dingin. Matanya menyorot tajam kaca mata tebal sang dokter yang kemudian tersenyum mengejek."Silahkan, Pak. Jika sudah basa-basinya, saya permisi harus menjalankan tugas," pungkas lelaki yang dijuluki dokter Rangga itu, lalu berdiri dan hendak keluar ruangannya. Ia meninggalkan Malik yang kemudian menghempaskan punggung di kursi.Malik tak habis pikir, kenapa ada oknum rumah sakit yang menyembunyikan data pasien. Padahal lelaki itu hanya ingin menguburkan Zain dengan layak demi Elrima, kenapa semuanya jadi sulit begini.Kepala lelaki itu rasanya berdenyut mau pecah. Ia memikirkan bagaimana sedihnya Elrima andai tahu kejadian ini, juga tanda tanya yang pasti memenuhi benak Rina. Istri pertaman