Malik diam membisu. Keputusan meninggalkan Elrima bukanlah sesuatu yang mudah untuk saat ini. Pasalnya perempuan itu sedang sangat membutuhkan perlindungan suami. Bukankah akan disebut dzalim, jika menceraikan Elrima di saat dia sedang dalam kesulitan seperti sekarang ini.
Setidaknya Malik berpikir akan tetap mempertahankan Elrima sampai ia melakukan klarifikasi di podcast Danu Sumarno.
"Kenapa diem aja? Kamu nggak mau ceraikan perempuan itu?" tanya Bu Santi dengan nada tak enak di dengar. Bahkan Sadam sampai memalingkan wajah, saat melihat atasannya dibentak kasar.
"Sadam tolong keluar sebentar!" ucap Malik dingin.
Lelaki dengan rahang tegas itu tak mampu menjanjikan apapun untuk sang mertua. Punggung tegapnya bersandar di kursi. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa karena pasti akan serba salah.
"Mah, tolong fokus saja dulu sama kesehatan mamah. Masalah Malik biar saya sendiri yang tangani. Malik cuma mau mamah
Satu bulan berlalu.Rina dan Baby Al sudah pulang ke Jakarta. Mereka disambut penuh haru oleh keluarga Malik. Tentu yang disambut hanyalah Baby Al, sebab Rina sedari pertama menginjakkan kaki di keluarga itu, sudah langsung dipandang sebelah mata.Mereka memang tak pernah frontal mengganggu Rina di hadapan Malik. Hanya perempuan yang baru saja melahirkan itu yang merasa ada benteng kokoh yang terus dibangun keluarga suaminya, untuk terhindar dari orang rendahan sepertinya.Padahal Rina sangat betah di Cianjur mengurus Baby Al. Namun Malik yang bekerja bolak balik Jakarta-Cianjur tentu ingin selalu berada di sisi keluarga kecilnya."Cicit oma, MasyaAllah gantengnya mukanya mirip mamanya ini," gemas Oma Ratna yang langsung menggendong bayi mungil dari pangkuan Rina."Gimana kamu jahitan operasinya udah sembuh?" tanya Oma yang memang hanya wanita tua it
Elrima bergetar ketakutan bersama Baby Ali yang menangis kencang. Perempuan itu pernah merasakan hal yang sama saat menyaksikan calon suaminya kecelakaan, tepat di depan mata Elrima.Suara dentuman yang memekakan telinga, kerumunan orang-orang, erangan kesakitan dari sang korban, bau amis darah yang membuat kepala terasa berputar, juga mata sekarat yang menahan rasa sakit yang teramat.Semua itu bagai dejavu baginya. Tangan Elrima bahkan rasanya seperti tak bertulang andai tak ada Baby Ali di pangkuan, mungkin sejak tadi ia sudah pingsan.Rina menengok ke belakang di mana putranya tak juga menghentikan tangis. Mata hazelnya menangkap wajah pucat Elrima yang bergetar ketakutan dan melirik kiri kanan dengan gelisah.Bergegas Rina turun dari mobil dan pindah ke jok belakang di mana Elrima dan Baby Ali berada. Segera ia meraih anaknya dan menyusuinya agar tenang, setelah sebelumny
"Aku bisa jalan sendiri, Kang." Elrima berkata saat sudah memasuki area rumah sakit. Ia merasa risih dengan tatapan orang-orang yang lalu lalang."Udah jangan bawel! Gimana kalau kamu jatuh lagi kaya tadi," cegah Malik saat istri mudanya itu memberontak ingin diturunkan.Salah seorang perawat yang mengenal Malik segera menyuruh lelaki itu memasuki ruangan khusus. Tentu uang yang dimiliki bisa mempermudah segalanya, hingga tak perlu berlelah-lelah mengantri.Mereka diminta menunggu di sebuah ruangan dengan pasilitas lengkap. Wajah Elrima kian memucat saat merasakan dinginnya sentuhan AC. Keduanya duduk di sebuah sofa yang nyaman. Tanpa diminta, Malik memeluk perempuan itu agar merasa sedikit tenang.Kepala dengan balutan pashmina warna cappucino itu menempel tepat di dada bidang dengan aroma maskulin yang memabukkan. Suara detak jantung lelaki itu yang menggila di dalam sana, mampu Elrima dengar seolah bersahut-sahutan dengan jantungnya yang juga berdetak tak karuan."Kamu kelelahan, E
"D--dia ...," ucapan Zain terputus napas yang sudah benar-benar hilang dari tubuhnya.Lelaki itu terpejam dengan tubuh yang kian memucat. Malik lantas memegang nadi Zain yang sudah tak berdetak."Innalillahi wa innalillahi rojiun," ucap Malik dengan dada yang bergemuruh hebat. Satu kalipun ia tak pernah menyangka, seorang Zain yang pernah Malik benci, bisa meninggal setelah menyelamatkan nyawa seisi mobil yang dikendarainya."Z--Zain ... Akang ngomong apa? Jangan bercanda, Kang." Elrima berkata dengan suara mencicit seperti tikus. Demi apapun seolah ada yang menyerabut paksa segala rasa yang ada dalam hatinya.Elrima merasakan kaki yang seperti tak berpijak lagi pada bumi. Juga pandangan yang seperti berputar di sekelilingnya. Berita yang teramat menyakitkan itu tak mampu lagi ia tahan, hingga perlahan kesadarannya menghilang bersama dekapan Malik di tubuhnya.Malik segera membopong tubuh Elrima agar segera ditangani tenaga
"Kang Zain itu suami saya, Teh." Akhirnya jawaban paling masuk akal bagi Elrima itu yang meluncur dari bibir tipisnya.Mata Malik melebar tak percaya, seperti ada sesuatu yang meremas jantungnya hingga menyebabkan rasa terkejut yang menyakitkan.Elrima tersenyum canggung ke arah Malik. Ia lantas memasang wajah sendu saat bersirobok dengan kakak madunya.Sekarang Rina paham kenapa Malik memperlakukan Elrima dengan begitu spesial. Mungkin suaminya merasa bersalah karena sudah mencelakai Zain, ditambah sekarang lelaki itu sudah tak ada lagi di dunia ini. Tentu penebus rasa bersalah itu, hanyalah dengan memberikan segala yang terbaik untuk baby sitter-nya sekaligus istri dari korban yang ditabrak suaminya."Gimana ceritanya, kok bisa serba kebetulan gini?" tanya Rina yang ingin semakin diyakinkan jika Elrima dan suaminya tak memiliki hubungan spesial apa-apa."Kami janjian mau pindah kostan yang gak terlalu jauh sama rumah
"Tidak ada!" ketus sang dokter karena merasa dirinya memiliki backing yang lebih kuat dari seorang Malik Al-Faruq."Saya akan menghentikan donasi ke rumah sakit ini dan mencari rumah sakit lain yang lebih profesional," ancam Malik dengan nada dingin. Matanya menyorot tajam kaca mata tebal sang dokter yang kemudian tersenyum mengejek."Silahkan, Pak. Jika sudah basa-basinya, saya permisi harus menjalankan tugas," pungkas lelaki yang dijuluki dokter Rangga itu, lalu berdiri dan hendak keluar ruangannya. Ia meninggalkan Malik yang kemudian menghempaskan punggung di kursi.Malik tak habis pikir, kenapa ada oknum rumah sakit yang menyembunyikan data pasien. Padahal lelaki itu hanya ingin menguburkan Zain dengan layak demi Elrima, kenapa semuanya jadi sulit begini.Kepala lelaki itu rasanya berdenyut mau pecah. Ia memikirkan bagaimana sedihnya Elrima andai tahu kejadian ini, juga tanda tanya yang pasti memenuhi benak Rina. Istri pertaman
Malik masih tidur siang. Baby Ali sedang di lantai atas diasuh Elrima. Hari minggu Rina menyuruh adik angkatnya itu keluar untuk jalan-jalan, tetapi wanita itu menolak dan memilih membantu menjaga Ali.Tentu Elrima tak mungkin berkeliaran di luar, saat berita yang menyudutkan dirinya masih belum punah dari ingatan netizen. Bisa-bisa ia kembali menjadi sasaran lelaki hidung belang.Membayangkannya saja, Elrima sudah bergidik ketakutan. Ia masih ingat bagaimana sakitnya ditusuk bertubi-tubi menggunakan senjata tajam.Rina yang merasa bosan, mengecek ponsel Malik. Tak ada yang mencurigakan di sana, sebab Elrima dan suaminya belum pernah bertukar pesan. Isi pesan whatsapp hanya seputar pekerjaan, sementara sosial media jarang dibuka si empunya.Rina iseng membuka instagram milik suaminya. Ada akun baru yang mem-f
"Teh Rina kenapa, Kang?" tanya Elrima. Perempuan itu tengah duduk di kursi tunggu."Keracunan kayaknya, Neng. Soalnya keluar busa dari mulutnya," sahut Malik lesu sambil duduk di samping istri mudanya."Ya Allah, Kang. Kok bisa sampe keracunan dalem rumah. Emangnya makan apa?" cerocos Elrima yang benar-benar syok, kakak madunya bisa sampai terkena racun."Akang juga gak tahu, Neng. Mungkin nanti ditanyain langsung setelah orangnya sadar." Ekspresi Malik semakin muram.Elrima tak tega melihat suaminya berwajah sendu seperti itu. Ingin ia merengkuh Malik dan menenangkan lelaki itu dalam pelukannya. Namun perempuan itu sadar posisi dirinya siapa."Semoga si Teteh gak kenapa-napa ya, Kang. Kasian Dedek Ali," lirih Elrima yang duduk berjarak dua jengkal di kursi tunggu."Semoga, Neng."Keheningan sesaat menguasai keduanya. Mereka terpekur dengan pikiran masing-masing.Saat tak ada obro