Bab 21Menjalankan suatu RencanaNabilla dan Nathan sedang duduk berdua di bawah pohon rindang. Hati mereka sebenarnya bukannya tenang, yang ada hanya rasa was-was nggak jelas."Gimana, ada nggak foto yang kamu maksud?" tanya Nando. Mata Nabilla masih fokus ke layar pipih itu. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Nando menarik napasnya sejenak. Terus mengontrol diri sendiri, agar tetap bisa menguasai diri."Belum, bentar ya! Masih aku cari ini, belum semuanya aku periksa," jawab Nabilla. Merasa tak enak hati karena telah ditunggu. Ya, jika ditunggu memang ada rasa tak enak. Merasa tak nyaman dalam mencari sesuatu. Itu yang dirasakan oleh Nabilla saat ini. "Iya, santai aja!" Carilah sepuasnya dan seteliti mungkin, biar nggak keselip. Mudah-mudahan ada di hape itu! Jadi rasa penasaranmu, bisa terjawab. Mudah-mudahan aku bisa menjelanskan!" balas Nando. "Iya! Sabar, ya!" Mata Nabilla terus fokus menatap layar pipihnya. Satu persatu file yang ada di dokumen mamanya Nando itu, dia buka den
Bab 22Khawatir"Jadi seperti itu. Dia datang hanya ingin meluapkan uneg-unegnya!" ucap Nathan setelah William menceritakan semuanya. William menganggukkan kepalanya sejenak. "Iya. Tapi aku bisa memaklumi, wajar dia jika dia marah, karena aku memang salah, dia patut memakiku, bahkan dia patut jika ingin membunuhku," balas William. Nathan menelan ludahnya sejenak.Nathan bisa merasakan apa yang Farhan rasakan. Karena dia sendiri juga sampai detik ini, belum bisa melupakan Nabilla. Cuma dia lebih bijak, rumah tangganya tak sampai berantakan. Zahira meninggal karena proses persalinan. "Nabilla memang perempuan baik. Wajar jika dia banyak dicintai!" ucap Nathan dalam hati. "Kamu juga pasti marah denganku. Tapi, berhubung aku ini kakakmu, mungkin kamu memendam rasa marah itu," ucap William. Nathan menarik napasnya sejenak. Menekan dadanya pelan, berharap rasa sesak itu bisa sedikit berkurang."Dulu aku memang sangat marah sama kamu, Mas! Tapi aku terus menenangkan hati dan pikiran, kala
Bab 23Pencarian"Nabilla ke mana, ya? Kok sampai jam segini belum sampai rumahnya?" ucap Nando ngomong sendiri. Telpon itu sudah mati. Nando tak berani mau telpon balik ayahnya Nabilla. Nando mencoba menghubungi nomor Nabilla. Tapi tak ada tanggapan. Cukup membuatnya semakin kepikiran."Astaga ... kalau sampai jam segini Nabilla belum sampai rumah, itu artinya Nabilla belum pegang hapenya. Dia jelas nggak bawa hape ke sekolah!" ucap Nando. Semakin bingung saja bagaimana cara dia menghubungi Nabilla. Nando mengedarkan pandang. Rumah ini sepi. Dia juga sudah mengembalikan hape mamanya di dalam laci. Dia langsung mengambil kunci cadangan, di ruang kerja mamanya. Tanpa minta tolong si Bibi. "Mama udah pulang belum, ya?" tanya Nando dia masih terus mengedarkan pandang. "Ah, nggak ada salahnya aku cek lagi ke kamar Mama!" Nando melangkah menuju ke kamar mamanya. Ingin memastikan mamanya sudah ada di rumah apa belum. Ceklek! Ceklek! Ceklek!Nando memainkan handle pintu kamar mamanya. M
Bab 24Flash Back"Jadi seperti itu kisahnya, Nando. Makanya saat tahu kamu anak Amelia, aku tak heran, jika dia sangat membenci Nabilla," ucap Nathan setelah menceritakan semuanya. Sedikit rasa lega menyelinap di hati lelaki yang sudah tidak muda itu.Nando masih menganga mendengar. Hatinya berdenyut sakit. Gara-gara masa lalu, dia harus ke bawa dalam arus itu. Arus yang tak semestinya dia ada."Maafkan Mama, Om!" Hanya itu yang bisa Nando katakan. Nathan memaksakan melempar senyum. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Pertanda, Nando tak perlu untuk meminta maaf. "Maafkan, Om, juga! Karena ini semua berawal dari kesalahan, Om," balas Nathan. Nando menanggapi dengan anggukan saja. Menghela napasnya panjang, untuk mengurangi rasa sesak yang ia rasakan."Lalu apa yang harus kita lakukan, Om?" tanya Nando. Nathan menghela napasnya sejenak. Terus menata hatinya. "Emm ... Om sebenarnya ada ide, mudah-mudahan bisa meluluhkan hati Mama kamu," jawab Nathan. Nando melipat keningnya sejenak."
Bab 25FirasatPraaannggg ....Tiba-tiba, gelas yang dipegang oleh William, terjatuh begitu saja dari genggamannya. Berserak di lantai begitu saja. Cukup membuat dirinya terkejut. Bukan hanya William saja yang terkejut, tapi napi yang lainnya juga. Semua mata hampir menoleh ke asal suara. Lebih tepatnya memastikan."Hati-hati! Jangan banyak ngelamun!"' teriak napi lainnya. William segera menoleh ke asal suara. "Iya, maaf!" hanya itu tanggapan dari William. Dia lagi enggan untuk adu mulut. Dia lagi malas untuk duel. William segera mengambil sapu dan membersihkan pecahan gelas itu. Tanpa banyak basa-basi. Yang ada hatinya ia rasakan tak enak. "Ada apa ini? Kenapa hatiku jadi tak tenang gini?" ucap William dalam hati. Kemudian dia menarik napasnya panjang dan mengembuskannya pelan. Dia tetap membersihkan pecahan gelas itu. Walau dengan perasaan yang semakin tak nyaman. "Mudah-mudahan ini bukan pertanda apa-apa! Apa lagi pertanda buruk!" ucap William lirih, penuh harap. Ya, berharap
Bab 26Laju KencangNathan sudah tak memikirkan keselamatannya lagi. Dia melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Yang ada dalam pikirannya, yang penting segera sampai. Segera bisa menemui anaknya. Semoga segera melihat anaknya dalam keadaan baik-baik saja. "Mobil gila!""Mobil semvak!""Ji4nc0k!""Sopir gendeng!"Makian orang yang hampir keserempet tak ia pedulikan. Yang penting dia segera sampai di POM Bensin, di mana anaknya ada di sana. Bayangan raut wajah Nabilla ketakutan, cukup mengganggu pikirannya. Ya, tak ada yang keserempet. Tak ada yang terluka. Dia tahu itu. Kalau sampai ada yang terluka, jelas Nathan akan berhenti. Karena Nathan tipikal orang yang sangat bertanggung jawab. "Nabilla, tunggu Ayah! Tunggu Ayah, Nak! Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, Ayah tak akan bisa memaafkan diri ayah sendiri! Ya Allah ... lindungi Nabilla! Tolong lindungi anakku!" gerundel Nathan. Hatinya semakin sesak luar biasa. Semakin menjadi-jadi. Ya, sepanjang perjalanan, hanya itu yang
Bab 27Menunggu Kejelasan"Jambrong lama sekali. Harusnya dia sudah sampai! Becus kerja nggak, sih, dia? Jemput anak kecil aja lama banget! Rugi aku bayar dia lama-lama!" sungut Amelia, karena orang suruhannya tak kunjung datang. Cukup membuat hatinya kesal dan memanas. Entah sudah berapa kali dia memandang ke arah pintu. Berharap matanya melihat Jambrong datang bersama Nabilla. Karena ada suatu hal, yang akan ia berikan kepada anak mantan teman dekatnya dulu. Terkadang dia sampai memastikan, keluar dari ruangan. Amelia menoleh ke arah jam tangan yang ia gunakan. Rasa tak sabar, sudah menyeruak masuk tanpa permisi. Semakin membuat dada terasa sesak dan pernapasan terasa tersumbat. Karena sudah tak sabar, akhirnya Amelia meraih gawainya. Ingin menghubungi orang suruhannya. Jambrong. Bagi Amelia kerjaan yang ia berikan ke Jambrong itu sangatlah mudah. Sangat mudah sekali. Apa lagi hanya bersangkutan dengan anak sekolah, yang iya tahu memang tak membawa hape. Jadi cukup mudah dan lelu
Bab 28Perlahan-lahan"Akhirnya kita sampai rumah," ucap Nathan. Nabilla membuang napasnya kasar. Mengedarkan pandangannya. Dia sempat takut, untuk tidak bisa melihat lagi rumah ini. Rumah yang ia rasa syurga. "Iya, Yah, Alhamdulillah, Nabilla lapar sekali," balas Nabilla setelah puas memandang, dengan tangan memegangi perutnya. Karena dia belum makan dan baru merasakan lapar juga. Tadi, dia sempat merasakan lapar, tapi karena rasa takut yang luar biasa, rasa lapar itu hilang begitu saja. Yang ia pikirkan, bagaimana bisa bebas, bagaimana bisa menghubungi ayahnya. "Kamu bersih-bersih badan dulu, ya! Habis itu baru kita makan," pinta Nathan. Karena dia sudah merasakan tak enak dengan badannya, yang memang sudah banyak keringat yang keluar. "Iya, Yah, udah risih juga," balas Nabilla. Seraya memandangi badannya sendiri. Dia masih menggunakan baju milik si Ibu. "Ayah juga. Udah nggak sabar ingin ketemu air," ucap Nathan. Nabilla manggut-manggut. Karena dia juga sama. Udah nggak sabar,
Bab 40Ektra Part 2Lamaran berjalan dengan lancar. Selain lamaran, pembahasan pernikahan sekalian sudah di rundingkan. Semuanya setuju, semuanya merestui. Karena mereka sama-sama tahu betul bagaimana perjuangan cinta anak mereka. Dua keluarga sepakat, acara pernikahan akan digelar semeriah mungkin. Kalau Nabilla sendiri, dia menginginkan pernikahan yang sederhana saja. Begitu juga dengan Nando. Tapi, mereka juga tak bisa menolak keinginan keluarga besar. Nabilla anak pertama dan tunggal. Jadi Nathan menginginkan yang terbaik tentunya. Begitu juga dengan Marlina dan Farhan, Nando juga anak tunggal mereka. Tentu saja tak lega, jika pernikahan anak mereka digelar sederhana. Nabilla dan Nando akhirnya nurut saja. Bagi mereka yang penting semuanya merestui. Itu udah lebih dari cukup.*************************"Kamu deg-degan nggak?" tanya Nando lewat sambungan telpon. Mereka sudah tak diijinkan untuk bertemu. Istilah ngomongnya mereka sedang dipingit."Iya. Kamu sendiri gimana? Deg-deg
Bab 39Ekstra Part 1"Kalian masih muda. Yakin mau menikah muda?" tanya Nathan kepada anaknya. Cukup terkejut mendengar pengakuan Nabilla. Ya, Nabilla sudah menceritakan semuanya kepada ayahnya. Nathan tentu saja tercengang mendengar itu. Karena dia pikir, masih banyak yang harus Nabilla kejar. Apalagi, Nabilla termasuk siswa berprestasi. Tapi cinta dia kepada satu laki-laki memang tidak main-main. Itu yang Nathan lihat. "Nabilla yakin ayah, tapi ... kalau Ayah tak mengijinkan, maka Nabilla juga nggak akan mungkin melawan Ayah. Karena bagi Nabilla, ayah segalanya! Tak akan mungkin Nabilla temukan, cinta tulus dari laki-laki selain ayah!" jawab Nabilla. Cukup menyentuh hati yang mendengarnya. Nathan menarik napasnya sejenak. Dia tak menyangka kalau anaknya akan berkata seperti itu. Hatinya terenyuh, saat anaknya bicara seperti itu. Meyakinkan kalau anaknya sangat mencintainya, sangat menghormati dan menghargai keputusannya. Walau keputusannya nanti, mungkin bisa dibilang tak sejala
Bab 38Ending"Seperti itulah ceritanya, kenapa mamamu Amelia sampai sekarang, masih di penjara sampai detik ini! Dia merasa bersalah dan dia menyerahkan diri!" ucap Marlina. Dia menjelaskan semuanya. Di situ juga ada Nathan dan William. Tapi tidak ada Nabilla. Ya, kejadian kecelakaan yang dibuat Amelia di masa lalu, membuat ingatan Nando hilang. Vonis dokter mengatakan memori ingatan Nando hilang. Penyembuhan otak tidak mudah, membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih. Walau tidak pulih seutuhnya, seperti sedia kala. Amelia menyerahkan diri, karena terus menerus dihantui rasa bersalah. Apalagi, kalau melihat Nando kesakitan, jika dia ingin mengingat sesuatu. Bukan hanya Amelia yang masuk penjara, tapi Jambrong juga. Polisi berhasil menangkapnya. Amelia sendiri yang melaporkannya. "Jadi Mama kandungku, Mama Marlina?" tanya balik Nando. Marlina menganggukkan kepalanya. Kemudian refleks Nando memeluk perempuan yang telah melahirkannya. "Maafkan aku, jika selama ini aku tak meng
Bab 37Akhirnya."Marlina!" sapa Amelia setelah dia tiba di ruang Nabilla. Tentu saja semua yang ada di ruangan itu menoleh ke arah suara. "Amelia?" balas Marlina. Terkejut dan tak percaya, jika Amelia datang menemuinya.Amelia terkejut melihat Nabilla yang sama dengan Nando. Lemah tak berdaya di pembaringan. "Astaga ... apa yang aku lakukan? Mungkin Nathan perasaannya juga sama yang aku rasakan saat ini. Khawatir dengan keadaan putrinya! Kenapa aku jahat sekali!?" Maki Amelia dalam hati. Ya, dia memaki dirinya sendiri. Dengan langkah pelan dan badan gemetar, Amelia masuk ke ruangan Nabilla. Matanya tak lepas memandang ke arah gadis itu. Gadis yang selama ini dia benci. Gadis yang selama ini, ia inginkan celaka. Nathan dan Marlina bingung melihat tingkah Amelia. Ada rasa was-was juga. Was-was jika Amelia menyerang Nabilla. Ya, pikirkan mereka masih negatif thinking dengannya. "Ada apa, Amelia?" tanya Marlina. Ditanya seperti itu, Amelia terkejut. Dia baru sadar kalau dia datang k
Bab 36Detik-detik Akhir"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Amelia kepada Marlina. Yang ditanya masih terus mengontrol emosinya."Tak penting kamu tahu sejak kapan aku di sini. Kenapa kamu menghilang?" jawab dan tanya balik Marlina. Amelia membuang muka begitu saja. Tak langsung menjawabnya."Bukan urusanmu!" balas Amelia ketus. Cukup membuat Marlina terkejut tentunya."Bukan urusanku kamu bilang? Kamu pergi membawa anakku! Dan kamu bilang itu bukan urusanku? Ternyata kamu tega sekali. Bukan hanya tega tapi juga kejam!" sungut Marlina. Amelia masih membuang muka. Dia tak berani menatap wajah Marlina. "Dia sekarang anakku! Bahkan secara negara dia sudah sah menjadi anakku! Kamu tak ada hak atas dia!" balas Amelia. Mendengar itu tentu saja membuat Marlina sakit hati. "Dia tetap batal jika menyentuhmu Amelia! Karena secara agama dia putraku! Kamu sangat jahat!" Marlina mengingatkan akan takdir yang sesungguhnya. "Persetan! Nando anakku, sampai kapan pun dia anakku! Jangan harap kamu bi
Bab 35Keadaan"Nak, bangun! Nabilla bangun! Ayah mohon!" ucap Nathan. Dia sudah sampai di rumah sakit. Nabilla tak sadarkan diri. Air mata terus berjatuhan. Dadanya sangat sesak. Napasnya seolah tersumbat. Yang ia pikirkan hanyalah keselamatan Nabilla. Hanya itu. Tak ada yang lain lagi.Panggilan telpon dari segala penjuru tak ia respon. Sekarang fokusnya hanya ke Nabilla. Nabilla segalanya baginya. Marlina sudah sampai di rumah sakit. Dia saat ini ada di ruangan Nabilla. Dia baru saja dari ruangan Nando. Nando masih sama keadaannya. Belum sadarkan diri juga. Amelia belum sampai di rumah sakit. Dia masih syok di rumahnya. Syok mendengar Nando kecelakaan. Padahal dia berharap, kabar seperti ini, tidak untuknya. Tapi untuk Nathan dan William. "Nak, bangun!" ucap Marlina lirih di dekat telinga Nabilla. Nathan menoleh ke arah Marlina. Melihat Nabilla melakukan itu, hatinya terasa terenyuh. "Bagaimana keadaan Nando?" tanya Nathan. Yang ditanya menoleh ke arah Nathan. Dia menarik napa
Bab 34Hanya Rencana?"Astagfirullah ...." ucap Nathan saat dia kepleset. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba Nathan terpleset. Cukup membuat rasa nyeri di kaki ia rasakan. Dengan perlahan Nathan bangkit. Seketika degub jantungnya berdegub kencang sekali. "Kok, perasaan aku jadi nggak enak gini, ya?" tanya Nathan pada diri sendiri. Ya, dia merasa hatinya sedang tidak baik-baik saja. "Nabilla dan Nando sudah sampai rumah Bu Marlina belum, ya?" tanya Nathan, dia jadi kepikiran dengan mereka. Nathan segera melangkah menuju ke ruang TV dengan sangat pelan-pelan, karena kakinya masih nyeri, belum nyaman. Dia duduk di sana terlebih dahulu. Menenangkan hatinya sejenak, sambil sedikit menekan-nekan kaki yang terasa nyeri itu. "Aku telpon Bu Marlina saja. Tanya mereka sudah sampai apa belum. Kalau aku telpon Nabilla itu terlalu berbahaya. Dia sedang di jalan," gumam Nathan ngomong sendiri. Setelah hatinya sedikit bisa dia kendalikan, Nathan meraih gawainya. Dia segera mencari nomor Bu Marlina.
Bab 33Lanjutan Rencana"Ayah, hari ini Nabilla mau ke rumah Bu Marlina. Ibu yang menolong Nabilla itu. Boleh?" tanya Nabilla kepada ayahnya. Nathan sendiri baru saja selesai bertemu dengan Marlina. Kisah hidupnya cukup membuatnya sesak saat mendengarnya. Ya, Marlina sudah menceritakan semuanya kepada Nathan, masalah Nando hingga jatuh ke tangan Amelia. Cukup menyakitkan dan tentunya cukup bodoh. Itulah yang Nathan pikir, karena dia tak habis pikir, dengan jalan pikir Marlina kala itu. "Mau ayah antar?" tanya Nathan. Nabilla mengulas senyum tipis. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. Nathan melipat keningnya sejenak."Nggak usah, Ayah! Nabilla nanti dijemput Nando. Boleh, kan?" jawab dan tanya lagi Nabilla. Nada tanya yang ia katakan, cukup membuat Nathan tak kuasa untuk menolaknya. Tak tega lebih tepatnya. Nada suara Nabilla terdengar sangat berharap. Berharap untuk diijinkan. Nathan menarik napasnya sejenak. Sebenarnya dia sangat berat untuk melepas Nabilla pergi tanpa dirinya.
Bab 32Menjalankan Rencana"Kamu bodoh sekali Jambrong! Bisa-bisanya kamu gagal culik anak kecil!" Maki Amelia. Sorot mata menyalang, ia lemparkan ke arah lelaki berbadan kekar itu. Dia sudah bersama Jambrong hari ini. Sengaja dia meminta Jambrong untuk datang menemuinya. Semalaman dia tak bisa tidur, gara-gara ucapan Nando, yang telah mengetahui nama Nando Perkasa. Cukup menyita perhatiannya. "Anak itu tak selugu yang kita lihat. Dia itu licik!" balas Jambrong. Amelia nyengir begitu saja. "Halah ... alasan!" sungut Amelia, dengan mata menyalang murka dan memerah. Jambrong menundukan kepalanya. Dia menyadari kalau dia salah. Wajar jika Amelia marah, dia sudah memberikan uang banyak kepada lelaki berbadan kekar itu. Tapi hasilnya tak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Cukup membuat rasa kecewa dan sesak menjadi satu."Selicik-liciknya dia, dia itu anak kecil ... harusnya malu bisa kalah sama anak kecil? Percuma badan gede, tapi kalah sama anak kecil!" Maki Amelia lagi. Rasanya me