"Sini! Deketan, dong."Chava tak mengelak ketika Sakti menarik lembut tangannya dan memintanya duduk di sisi lelaki itu. Kebisuan yang tercipta untuk waktu yang lama semakin mengungkung dua anak manusia itu dalam kecanggungan. Sedari tadi, sejak kepulangan Ridwan dan para warga, baik Sakti maupun Chava sama-sama bungkam. Kejadian hari ini benar-benar di luar dugaan."Aku tau kamu masih kaget dan belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan ini. Aku juga tidak akan menjanjikan banyak hal padamu, hanya saja aku akan tetap melaksanakan kewajibanku terlepas dari kamu mau menerimanya atau tidak. Kamu istriku dan mulai sekarang kamu menjadi tanggungjawabku.""Aku akan belajar untuk menerima semuanya, aku yakin ini terjadi atas campur tangan Tuhan. Ini hanya masalah waktu, beri aku waktu untuk membiasakan diri dengan pernikahan ini." Chava menyahut.Ya, atas desakan para warga akhirnya mereka berdua setuju untuk dinikahkan. Gejolak dalam dada tak bisa Chava kendalikan ketika Sakti menyebut naman
"Dari mana saja kamu, Zam?"Mengabaikan panggilan istrinya, Azzam memilih mengurung diri di kamar. Suasana hatinya kacau balau, belum lagi tubuhnya yang babak belur. Mengingat bagaimana cara Sakti menatap Chava tadi membuat dadanya serasa terbakar. Perasaan tak rela yang menggila, Azzam tak sanggup meski hanya membayangkan Chava dimiliki pria lain. Apalagi jika dia sampai tahu kalau wanita yang dia sia-siakan kini telah resmi menjadi milik orang lain. "Zam, aku sedang bicara padamu! Berhenti terus mengabaikan aku!"Azzam mendengus. Jangankan segelas air, Hana justru menyerbunya dengan pertanyaan tanpa membiarkannya istirahat barang sejenak. Makin hari makin bertambah saja daftar tuntutan wanita itu. Entahlah, Azzam merasa pernikahannya dengan Hana kini tak seindah dulu. Istri keduanya itu benar-benar jauh berbeda dengan Chava. Ya, Chava. Wanita itu yang paling tahu kebutuhannya, juga yang paling mengerti. Semua hal yang menjadi tanggungjawabnya sebagai istri selalu dikerjakan tanpa
"Kamu duduk saja, istirahat." Sakti menarik lembut tangan Chava, menyuruhnya duduk di tepian ranjang. "Belum selesai, Mas. Sebentar lagi, tanggung ini." "Sudah, nanti Mas bantu."Sakti mengeluarkan beberapa potong pakaian istrinya dari dalam tas kemudian memindahkannya ke lemari. Sejak pertama menginjakkan kaki di rumah sederhana itu senyum tak lekang menghiasi wajah tampannya. Setelah mengurus semua keperluan untuk melegalkan pernikahan mereka, Sakti memutuskan untuk membawa Chava tinggal di rumah kontrakannya. Beruntung, Chava langsung menyetujuinya. Biar bagaimana pun, mereka sudah menikah, terlepas dari cara mereka mengikat janji suci, Chava paham betul kewajibannya sebagai istri. "Baru datang bukannya istirahat dulu malah langsung beres-beres. Sudah sore, kita malah belum sempat makan siang. Tadi Mas ajak mampir makan nggak mau."Chava tersenyum, baru kali ini dia melihat pria yang biasanya kalem, menjadi banyak bicara. "Tadi belum lapar, Mas.""Kalau sekarang sudah?" Meliha
"Chava!"Panggilan itu menghentikan tawa Sakti dan Chava, keduanya kompak menoleh ke arah sumber suara. Sakti mendengus sebal melihat sosok yang tengah berjalan mendekat ke arah mereka."Mau apalagi orang itu?""Mas, jangan emosi. Menghadapi orang seperti itu hanya perlu taktik. Cukup jatuhkan saja mentalnya, itu akan terasa jauh lebih menyakitkan ketimbang harus beradu otot. Aku nggak mau ya, kamu sampai terluka seperti tempo hari." Chava menasihati suaminya, sengaja dia mengeratkan genggaman tangannya, menyalurkan rasa nyaman yang perlahan meredam emosi Sakti yang sempat muncul."Siap, Nyonya."Romansa dua insan itu kembali terjeda. Meski tak suka kalau harus berurusan dengan mantan suami Chava, Sakti tak memiliki pilihan selain menghadapi lelaki itu."Chava, bisa-bisanya kamu tertawa dengan lelaki asing sementara kamu tidak pernah mau tersenyum saat bersamaku?""Jadi kamu sedang mengatakan keburukanmu sendiri yang selama ini tidak bisa membuat Chava tersenyum?"Serangan pertama Az
Desir aneh yang menjalar, Sakti familiar dengan perasaan itu. Darahnya serasa mengalir lebih cepat, pun dengan jantungnya yang bekerja keras. Sungguh, tak dapat Sakti bendung lagi debaran dalam dada yang menggila. Andai menuruti nafsu, ingin rasanya Sakti menggiring tubuh itu ke peraduan saat itu juga. Beruntung, akal sehatnya masih berfungsi dengan baik. Sakti tak mau terburu-buru, ia ingin ibadah suci pertamanya dilakukan dengan Chava tanpa paksaan. Atas dasar suka sama suka, saling menginginkan satu sama lain. "M-mas." Chava terengah, pasokan udara dalam dada hampir habis. Dua anak manusia itu begitu rakus, meraup oksigen sebanyak mungkin. Sakti mengusap bibir basah Chava yang sedikit bengkak akibat ulahnya, kemudian menyatukan kening mereka. "Terima kasih sudah mau menjadi istriku." Pria itu berbisik lirih. Netra Sakti terpejam, pun dengan si wanita. Masing-masing dari mereka sibuk meresapi sisa gejolak yang sempat menuntun kedua
Dentuman keras yang terdengar disusul riuh bunyi klakson, teriakan ketakutan juga tangis penuh kepanikan makin menambah tegang suasana. Waktu seolah berhenti beberapa detik lamanya, sampai kemudian puluhan orang berlari mengerumuni mobil ringsek yang terdampar di bahu jalan. Tak hanya mobil, tetapi motor juga beberapa pengguna jalan yang ikut menjadi korban kecelakaan beruntun itu. Di saat semua orang sibuk menyelamatkan korban yang terjebak dalam mobil, di sudut jalan tak jauh dari sana dua sejoli yang tengah berpelukan justru seakan tak terusik sama sekali. "Ya Tuhan, Chava. Beruntung Tuhan masih melindungi kita," ucap Sakti penuh kekhawatiran. "Mas tidak bisa membayangkan seandainya Mas terlambat menarikmu sedetik saja, entah apa yang akan terjadi."Dalam dekapan lelaki itu, rungu Chava menangkap jelas degup jantung Sakti yang terdengar berlarian. Sakti terlihat syok, Chava dapat merasakannya lewat getaran tubuh lelaki itu. Begitu pun dirinya yang jug
"Mas Sakti, ih. Jahil banget, sih!" Chava tak henti mengomeli suaminya, menghadiahi capitan panas di perut lelaki itu. Alih-alih kapok, Sakti justru semakin bersemangat menggoda sang istri. Chava belum sempat berpakaian, begitu ke luar kamar mandi Sakti langsung menghadangnya. Kadang mencuri ciuman sekilas, kadang memeluk diselingi sentuhan nakal. Tulang pipi dengan semburat merah merona yang muncul tiap kali wanita itu tersipu, menjadi pemandangan indah yang sayang untuk Sakti lewatkan. "Mas Sakti, sudah dong! Geli!" Chava menghindar. Ia terus mengelak sebelum suaminya berhasil memenjarakannya dalam pelukan. "Sana mandi, Mas! Keburu kemalaman nanti." Kali ini giliran kedua pipi Chava yang dijadikan sasaran kegemasan Sakti. "Mandiin," rengek Sakti lengkap dengan nada manja. "Mas.""Iya-iya. Mas mandi dulu." Lelaki itu kalah jika sudah ditatap sedemikian rupa oleh Chava. Sakti menerima handuk yang diulurka
[Mas sudah makan belum? Kalau ada sesuatu yang kurang sama masakannya, jangan sungkan buat kasih tau aku]Sudut bibir Sakti menukik membentuk bulan sabit sesaat setelah membaca pesan yang dikirim Chava padanya. Meski tak dibumbui kata cinta, jauh pula dari kata romantis, tetapi setiap susunan kata yang diketik dipenuhi perhatian. Sakti dapat merasakannya. Mereka memang rajin bertukar pesan sekadar untuk menyampaikan hal kecil. Sakti membuka kotak makan yang diberikan istrinya sebelum ia berangkat pagi tadi. Chava masih sempat memasak untuk makan siang meski Sakti melarang karena izin yang diminta perempuan itu semalam. Sayur asam, ikan asin, tempe tahu goreng dan sambal terasi. Menu sederhana tetapi terasa begitu nikmat dan luar biasa bagi Sakti yang selama ini terbiasa hidup sendiri. Terlepas dari latar belakang terjadinya pernikahan mereka, Chava selalu melaksanakan perannya sebagai istri dengan sebaik mungkin. Semua hal tentangnya sampai keperluan kecil sekali pun tak pernah luput