"Mas Sakti, ih. Jahil banget, sih!"
Chava tak henti mengomeli suaminya, menghadiahi capitan panas di perut lelaki itu. Alih-alih kapok, Sakti justru semakin bersemangat menggoda sang istri.Chava belum sempat berpakaian, begitu ke luar kamar mandi Sakti langsung menghadangnya. Kadang mencuri ciuman sekilas, kadang memeluk diselingi sentuhan nakal. Tulang pipi dengan semburat merah merona yang muncul tiap kali wanita itu tersipu, menjadi pemandangan indah yang sayang untuk Sakti lewatkan."Mas Sakti, sudah dong! Geli!" Chava menghindar. Ia terus mengelak sebelum suaminya berhasil memenjarakannya dalam pelukan."Sana mandi, Mas! Keburu kemalaman nanti." Kali ini giliran kedua pipi Chava yang dijadikan sasaran kegemasan Sakti."Mandiin," rengek Sakti lengkap dengan nada manja."Mas.""Iya-iya. Mas mandi dulu."Lelaki itu kalah jika sudah ditatap sedemikian rupa oleh Chava. Sakti menerima handuk yang diulurka[Mas sudah makan belum? Kalau ada sesuatu yang kurang sama masakannya, jangan sungkan buat kasih tau aku]Sudut bibir Sakti menukik membentuk bulan sabit sesaat setelah membaca pesan yang dikirim Chava padanya. Meski tak dibumbui kata cinta, jauh pula dari kata romantis, tetapi setiap susunan kata yang diketik dipenuhi perhatian. Sakti dapat merasakannya. Mereka memang rajin bertukar pesan sekadar untuk menyampaikan hal kecil. Sakti membuka kotak makan yang diberikan istrinya sebelum ia berangkat pagi tadi. Chava masih sempat memasak untuk makan siang meski Sakti melarang karena izin yang diminta perempuan itu semalam. Sayur asam, ikan asin, tempe tahu goreng dan sambal terasi. Menu sederhana tetapi terasa begitu nikmat dan luar biasa bagi Sakti yang selama ini terbiasa hidup sendiri. Terlepas dari latar belakang terjadinya pernikahan mereka, Chava selalu melaksanakan perannya sebagai istri dengan sebaik mungkin. Semua hal tentangnya sampai keperluan kecil sekali pun tak pernah luput
'Senja yang ranum membawa beragam tanya, tentang dia yang di sana. Benarkah angin tidak sedang mencoba menyentuh bibirnya yang begitu sempurna? Bibirnya adalah sepotong puisi yang belum usai. Dia ... dia dan segala yang ada dalam dirinya mampu membuat kewarasanku tergadai.' Sakti mengulas senyum melihat kepasrahan sebagai bentuk penghormatan tertinggi wanita bergelar istri di hadapannya. Netra Chava terpejam manakala Sakti menggiring tubuhnya menuju peraduan. Debaran dalam dada kian menggila saat mereka tak lagi berjarak. Chava terengah, Sakti melepaskan tautan bibirnya setelah mereka sama-sama kehabisan napas.Samar, lantunan bait suci tertangkap rungu Chava. Sepersekian detik ia rasakan hembusan napas disusul kecupan di pucuk kepalanya. Lagi, Chava hanya bisa pasrah ketika Sakti menggelar raganya di atas pembaringan. "Terima kasih untuk semuanya." Sakti berbisik lirih, satu kecupan kembali dia labuhkan di kening Chava. Lelaki itu terus memindai wajah cantik sang istri, tak ada s
Cinta mencakup segala ruang. Dalam terang, ia cemerlang. Dalam gelap, ia serupa cahaya. Dalam diam, ia berkata-kata."Mas?" Chava kembali memanggil suaminya lantaran tak kunjung mendapat jawaban dari lelaki itu. Rasa penasaran menuntun kakinya mengayun lebih dekat, meniadakan jarak antara mereka. Sakti masih terpaku. Bukan sebab pertanyaan Chava. Bukan. Lelaki itu tertegun melihat jejak yang ia tinggalkan di leher juga beberapa bagian tubuh Chava lainnya. Membayangkan betapa menggilanya permainan mereka semalam, seketika membuat dada Sakti dipenuhi kebahagiaan. "Mas Sakti."Entah pada panggilan ke berapa barulah Sakti mendapatkan kesadaran sepenuhnya. Ada rasa yang sulit dia jabarkan tiap kali mengingat apa yang terjadi semalam antara dirinya dan Chava. "Ah, iya, Sayang?""Melamunkan apa? Sejak tadi aku panggil-panggil sampai nggak nyahut.""Iya, maaf, Sayang. Ini, Hendi ada kirim pesan menanyakan sesuatu, a
"Yang, minum dulu." Sakti menuntun istrinya duduk, tangannya kemudian terulur menyeka titik bening yang mulai berjatuhan di wajah wanita itu. Chava tak mau mengabulkan permintaan Hana untuk berbicara empat mata, tak peduli Hana memohon. Setiap melihat dua manusia yang pernah menempati rumah yang sama dengannya, Chava kembali teringat kesakitan yang dirasakannya di masa lalu. Hana memaksa sementara Chava enggan hingga sempat terjadi aksi saling tarik menarik di antara dua wanita itu. Sakti yang baru kembali dari membeli minuman bergegas melerai. Niatnya mengajak Chava bersenang-senang menghabiskan waktu berdua, malah berantakan gara-gara kejadian tak terduga. Rupanya Hana sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit saat kebetulan melihatnya dan Chava berboncengan dan memutuskan untuk mengikuti mereka. "Sakitnya masih bisa aku rasakan tiap kali melihat wajah mereka, Mas."Sakti menghempaskan bobotnya tepat di sisi sang istri. Dengan bibir terkunci rapat ia singkirkan anak rambut yang
Rindu ini laksana mentari pagi, menyelinap ke celah paling sempit di ujung hati. Hadirnya tak kentara, hujamannya sungguh terasa, dan penawarnya tak dijual dimana-mana. Dia tau ke mana harus bermuara. Kamu. Kidung itu begitu indah Sakti titipkan pada sang bayu untuk disampaikan pada belahan jiwanya, wanitanya. Chava Aurora. Kelopak mata Sakti terpejam rapat. Sesaat ia menarik napas berat. Tak mudah baginya untuk kembali bertemu dengan seseorang yang pernah menempati seluruh kerajaan hatinya. Namun, sepenuhnya Sakti sadar. Rasa itu telah ia buang jauh. Terkubur rapat dan tak akan ia biarkan walau hanya sekilas saja menguasai pikirannya. Cinta yang indah telah tersaji di depan mata, jodoh terbaik yang diberikan Tuhan berupa mahkluk cantik yang kini tengah merajuk. Menghabiskan waktu cukup lama bersama seseorang tentunya meninggalkan kenangan yang membekas. Entah hal manis atau sebuah kepahitan, semua takkan mudah terkelupas dalam ingatan. Butuh waktu. Akan tetapi selalu ada pil
Helaan napas Sakti terdengar berat. Niat hati ingin libur hari ini untuk menyelesaikan permasalahannya dengan Chava. Akan tetapi ternyata ia kedatangan tamu tak diundang. "Selamat pagi, Mas Sakti. Mohon maaf sudah bertamu sepagi ini." David mengulum senyum dengan wajah tanpa dosa yang justru membuat Sakti muak. "Langsung katakan saja apa tujuanmu datang ke sini? Saya sedang tidak ingin berbasa-basi."Sementara dua pria itu saling berbincang, Chava memilih masuk untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Dia tak ingin terlibat dalam obrolan para pria. Juga, rasa kesalnya pada Sakti masih belum reda. "Mohon maaf, Mas. Sebelumnya saya mau minta waktu Mas beserta istri sebentar."Dari dalam Chava masih bisa mendengar percakapan Sakti dan lelaki yang tak ia kenali. Tak ada sedikit pun niat untuk menguping, tetapi jarak dari ruang tengah mini menuju pintu depan memang tak begitu jauh. "Maksudnya bagaimana? Apa soal Nyonya Sinta lagi? Kan saya sudah bilang, ucapan terima kasih be
"Kondisi beliau sempat menurun setelah membaca hasil tes DNA dan memastikan kalau Mas Sakti adalah benar cucunya yang hilang dua puluh tahun lalu."Setelah puas menangis, Sinta yang kelelahan pada akhirnya tak membutuhkan waktu lama untuk memasuki pulau mimpi. Chava bertahan dalam kamar rawat untuk menemani, sedang David mengajak Sakti duduk di luar sembari menjelaskan apa yang diketahuinya, demi sedikit mengurangi rasa penasaran pria itu. "Nyonya menangis sampai berhari-hari. Beliau sangat bahagia karena akhirnya bisa menemukan cucu kesayangannya setelah sekian tahun. Ada banyak hal yang beliau sesali karena terlambat menemukan Mas Sakti, tetapi beliau merasa sangat bersyukur karena kalian dipertemukan sebelum beliau menghadap Sang Pencipta." David melanjutkan ceritanya. "Setelah tau kalau Mas Sakti adalah cucu yang dicarinya selama ini, Nyonya Sinta meminta saya untuk menyelidiki riwayat hidup Mas selama ini.""Sampai sebegitunya?" Sakti menatap lawan bicaranya tak percaya. "Mas
Halimah tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Ia sedang memasak ketika Azzam menghubunginya, memintanya untuk segera menyusul ke rumah sakit tanpa memberitahu alasannya. "Lavender kamar nomor lima." Kaki tuanya sedikit terseok memperhatikan nomor ruang yang diberitahukan Azzam lewat pesan. Samar dapat wanita tua itu dengar tangisan dari salah satu bilik. Kakinya terus terayun, suaranya terdengar makin jelas, dan ternyata berasal dari kamar rawat yang ditujunya. Pemandangan sepasang suami istri yang sedang berpelukan menyapa indera penglihatan Halimah begitu ia berhasil mendorong pintu. "Aku pikir Ibu tidak akan datang." Azzam mengurai pelukannya. Hana yang tengah duduk di bed, masih belum bisa menghentikan tangisannya. "Ibu memang sudah tak menganggapmu sebagai anak, tetapi nurani Ibu sebagai sesama manusia yang sudah menggerakkan hati Ibu ke sini."Wanita tua itu mengedarkan pandangan, melihat Hana yang berbaring di ranjang pesakitan dengan jarum infus yang menancap di tangan m
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan