Bara menatap piring-piring yang tersusun rapi di tengah ruangan, di bawahnya dibentangkan tikar. Bangunan sederhana itu tak memiliki ruang makan khusus, ruang tengah yang sedikit lapang yang sering dialihkan fungsi menjadi tempat berkumpul.Pria itu melirik istrinya yang masih berada di dapur, sibuk memindahkan peralatan makan untuk dibawa ke depan."Biar aku saja." Mengambil alih tumpukan piring yang sedang dibawa Indah, lalu meletakkannya di dekat wadah nasi."Duduk di sini saja, Nak. Temani, Bapak. Itu biarkan Indah sama Buliknya saja yang selesaikan," ucap Hadi begitu melihat menantunya hendak kembali ke dapur."Iya, Pak."Bara mengangsurkan tubuhnya, duduk bersila berdampingan dengan ayah dari perempuan yang telah menjadi istrinya. Tak lama, Indah muncul dengan wanita paruh baya membawa wadah di masing-masing tangannya. "Banyak sekali masakannya hari ini, Wat?" Hadi melihat piring-piring dengan menu makanan yang berbeda. "Anak kita yang masak, Bang. Indah bilang sekali-sekali
"Kita menikah karena dijodohkan, jadi jangan berharap banyak padaku. Aku memintamu untuk bertahan bukan karena aku takut kamu tinggalkan, tapi semata demi menjaga perasaan kedua orang tua kita. Kamu paham maksudku?"Indah menekan dadanya, rasa sesak itu datang tiap kali teringat perkataan Bara padanya kala itu. Mana mungkin dia tak mengerti maksud suaminya, Indah sendiri tak sanggup membayangkan akan seperti apa jadinya jika seandainya mereka benar-benar berpisah di usia pernikahan yang bahkan belum ada seminggu. Dirinya sebagai pihak perempuan yang paling banyak dirugikan. Gunjingan orang serta tuduhan buruk yang bisa saja dilayangkan membabi buta padanya. Memberikan cap buruk meski mereka tak tahu menahu tentang yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya. "Ada dua kamar, terserah kamu saja mau menempati yang mana. Sendiri, atau bersamaku tapi tak banyak menuntut." Bara berbalik sebelum langkahnya mencapai pintu. "Kamu akan tetap menjadi tanggung jawabku, nafkah, berikut semua
"Lihat itu, suami simpanannya baru pulang. Dia pasti kesulitan menipu istri sahnya sampai akhirnya mengabaikan gundiknya. Sekian lama baru pulang.""Iya. Zaman sekarang sebagai istri kita harus pandai-pandai menjaga suami kita agar tak dijadikan sasaran pelakor, ibu-ibu.""Padahal gagah loh orangnya, tampan begitu kok ya mau-maunya sama perempuan kampung. Nggak ada cantik-cantiknya, apalagi sih yang dicari?""Seringnya kasus perselingkuhan biasanya jelas cantikan istri sahnya kemana-mana. Pelakor cuma modal gatal sama ngangkang doang.""Ini nggak bisa dibiarkan. Pokoknya kita harus lapor sama Pak RT. Jangan sampai kita kecipratan dosa dua manusia laknat itu. Bisa saja mereka menutupi perzinahan dengan mengaku sudah nikah siri. Ih, amit-amit. Heran, manusia begitu kok ya seperti nggak ada malunya."Bara baru saja memarkirkan mobil, sedikit heran melihat ibu-ibu tetangganya sibuk berkumpul sambil bergosip menatap ke arahnya. Telinganya sampai gatal mendengar gunjingan mereka, belum lagi
Indah melihatnya, melihat bagaimana suaminya melempar tatapan penuh pemujaan terhadap wanita lain. Melihat bagaimana suaminya beramah-tamah pada wanita lain, kemudian tertawa bersama, saling melempar canda. Sikap hangat yang ditunjukkan Bara di hadapan atasan dan rekan kerjanya berbanding terbalik ketika pria itu bersikap kepada istrinya. Kenyataannya, diakui atau tidak, Indah pikir suaminya memiliki kepribadian ganda. Dan tentunya hanya dirinya seorang yang tahu sisi lain pria itu. Indah tersenyum miris, mentertawakan nasibnya yang tak seberuntung istri-istri di luaran sana. Bahkan mungkin, gelar istri tak dianggap yang paling nelangsa, jatuh pada dirinya. "Cepat sembuh seperti sedia kala, Mbak Indah. Sepertinya sudah terlalu lama kami di sini, sudah saatnya kami pulang." Lea mengakhiri obrolan, sementara yang lain kompak diam memberikan kesempatan pada istri dari atasan mereka untuk berpamitan. "Buru-buru, Non Lea. Padahal saya senang lho, jadi ada teman ngobrol.""Lain waktu sa
Lolongan Indah memecah kebisuan malam. Suaranya melemah, pun dengan tubuhnya yang kini tak lagi meronta. Tak ada lagi permohonan yang lolos dari bibirnya, yang ada hanya isak tangis tertahan. Bulir bening yang seolah tak ada habisnya, terus membanjiri pipinya yang tirus. Tatapannya kosong. Indah gagal. Perjuangannya mempertahankan harga diri dan kehormatannya berakhir sia-sia usai Bara berhasil mendapatkan apa yang lelaki itu inginkan. Satu-satunya hal yang paling berharga yang dimiliki Indah. Satu-satunya hal yang bisa dibanggakan wanita itu. Kini, telah diambil oleh Bara dengan cara yang paling menyakitkan bagi seorang wanita. "Pak," lirih bibir itu mengucap tanpa suara. Tenaganya sudah habis. Kerinduannya pada sosok cinta pertamanya kian menggunung. Hadi, meski tak pernah memanjakannya dengan kemewahan, tapi pria itu tak pernah sedikit pun melukainya. 'Indah berhasil menjaga diri, pak. Indah berhasil mempersembahkan kehormatan Indah untuk suami Indah.'Perempuan yang telah resm
"Pergi sebelum kesabaranku habis dan ambil uangmu!" Bara melempar lembaran uang yang baru saja dia keluarkan dari dompet."Anda ini tenaga medis, tugas Anda menyelamatkan nyawa orang, bukan malah mengompori seseorang untuk berbuat buruk!""Dan saya sudah melakukan tugas saya dengan baik. Saya sedang menyelamatkan nyawa seorang istri dari suami berhati kejam dan tak berperasaan seperti Anda," balas Wahyuni tanpa rasa takut sedikit pun.Tubuh kekar Bara membuat siapa saja yang melihatnya tahu sebesar apa tenaga pria itu, tapi Wahyuni yakin pria itu tak akan berani main fisik padanya."Tutup mulutmu dan jangan ikut campur urusan pribadiku. Anda di sini saya minta untuk mengobati istri saya, setelah tugas Anda selesai, jangan mencampuradukkan dengan sesuatu yang bukan menjadi ranah Anda, Bu Bidan!" tegas suami Indah itu sengaja menyadarkan Wahyuni pada posisinya."Baik. Terima kasih." Wahyuni mengambil tas kerjanya, menatap pilu Indah yang masih tergugu di ranjang. "Lekas pulih, Mbak. Sa
"Cukup, Bang! Abang mau bikin dia mati?" Bara menepis tangan Ardi, mendorong pria yang lebih muda darinya itu untuk menjauh agar dia leluasa memberikan pelajaran pada preman bayaran Andre yang dibayar untuk mencelakakan Indah. Tak ada rasa cinta bukan berarti dia akan diam saja ketika ada orang berniat melenyapkan nyawa istrinya. Harga dirinya menjadi taruhan. Pun Bara tak mau Indah terseret dalam masalah karena dirinya. "Ampun, Bang. Ampun!""Beruntung istriku baik-baik saja, sampai dia terluka parah, aku pastikan kamu dan Andre akan membusuk di penjara!""Ampun, Bang. Kasihani keluarga saya di rumah. Anak saya masih kecil-kecil, Bang. Siapa yang ngasih makan mereka kalau bukan saya. Terpaksa saya terima tawaran Bang Andre karena anak bungsu saya sedang sakit keras." Darah pria itu telah mengucur, menodai tubuh dan lantai tempatnya meringkuk, tapi Bara masih belum puas meluapkan kemarahannya. Sampai kemudian, jeritan lelaki itu mengingatkan Bara pada wajah kesakitan Indah.Kepala
Rindu Bapak, ternyata tak ada yang bisa mencintaiku seperti Bapak mencintaiku. Maafkan Indah yang tak bisa membahagiakan dan membersamai Bapak di masa tua Bapak karena harus mengabdi pada suami. Begitu yang ditulis Indah, mewakilkan kerinduannya yang menggunung pada pria yang menjadi cinta pertamanya nun jauh di sana. Bara menekan dada yang terasa sesak. Ia menggeleng tak percaya membayangkan ketika dengan ganasnya dia meminta hak pada Indah. Jejak keunguan masih terukir jelas di beberapa bagian tubuh Indah. Melihat wanita itu, tiba-tiba Bara menjadi malu sendiri. "Arghh! Ma-mau apa, Mas?" Tetiba netra Indah terbuka lebar. Reflek dia menarik selimut menutupi tubuhnya dan beringsut mundur. Kentara sekali sorot mata penuh ketakutan yang membuat Bara makin dikepung sesal. Sebegitu takutnya perempuan itu kembali diapa-apakan suaminya. "Mau ambil charger, punyaku ketinggalan di paviliun." Bara pura-pura mencari-cari benda itu, tapi tak kunjung ketemu. Lelaki itu berusaha bersikap bia
Dilihatnya sambungan telepon masih terhubung. Bara menekan tombol loudspeaker, memastikan Indah turut mendengar apa yang akan dia bicarakan nanti. "Halo, ada apa?" Suara bariton itu terdengar datar. Manik matanya setajam elang, berubah meredup ketika bertemu tatap dengan sang istri. "Halo, Mas. Ini aku Mawar. Tolong jangan dulu dimatikan, beri aku kesempatan untuk bicara.""Sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Antara kita nggak ada hubungan apa-apa, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau kehilangan istri dan anakku.""Sebentar saja tolong, biarkan aku bicara dengan istrimu. Setelah ini aku bersumpah tak akan pernah mengusik kehidupan kalian lagi," janji Mawar terdengar meyakinkan. Jemari yang sempat menekan icon gagang telepon berwarna merah urung begitu mendengar nama istrinya disebut. Bara melirik Indah seolah meminta izin. "Tiga menit, setelah itu jangan pernah menggangguku lagi."Hening sesaat. Ada setitik ketakutan menyergap Indah. Terlepas dari apa yang t
Getaran ponsel di nakas seketika membuat Bara terjaga. Buru-buru dia mengambil benda itu, tak ingin suaranya mengusik tidur sang istri. Pukul tiga pagi, Bara sempat melirik barisan angka di pojok kiri atas layar ponselnya sebelum dia menggulir layar menampilkan pesan yang dikirim Edo. [Mawar sudah melahirkan, bang. Bayinya perempuan.]Lelaki itu melirik Indah sekilas, lalu mulai mengetik balasan. [Mulai sekarang berhenti mengabariku apa pun tentang dia. Aku benar-benar memutuskan hubunganku dengannya meski hanya sebatas pertemanan. Rumah tanggaku hampir hancur, aku tak bisa kehilangan istri dan anakku. Dari kasus ini aku belajar bahwa memang tak ada hubungan yang murni sekadar persahabatan antara lawan jenis. Aku tak ingin menyakiti istriku lebih dalam lagi. Aku sangat mencintai Indah dan aku tak mau kehilangan dia.]Bara meletakkan gawainya ke tempat semula lalu melanjutkan tidurnya dengan memeluk Indah dari belakang. Ia kecupi belakang kepala istrinya sementara bibirnya tak henti
Bara melunak. Perkataan Indah barusan melukai hatinya, tapi melihat wanitanya menitikkan air mata tak pelak membuatnya melara. Dia merasa gagal menjadi suami, bukan kebahagiaan yang dia berikan pada Indah, melainkan air mata kesedihan. Perlahan lengan kokohnya membalikkan tubuh Indah, mendudukkan istrinya di pangkuan hingga mereka saling berhadapan. Ibu jarinya terusik menyusut bening yang masih mengaliri pipi Indah. "Sudah selesai ngomongnya? Kalau sudah, sekarang giliranku bicara," ucapnya lembut. "Awalnya aku memang tak ada sedikit pun rasa padamu, jangankan cinta, kita menikah saja terpaksa karena dijodohkan. Bedanya kamu bisa menerima, sedangkan aku butuh banyak waktu untuk mau berdamai dengan keadaan."Bara membawa istrinya ke dalam pelukan ketika Indah makin terisak. Tak adanya penghalang, tak ada jarak. Sesuatu dalam diri Bara bergejolak setelah sekian lama mati-matian Bara tahan, sedang dia tahu sekarang bukan saat yang tepat untuk itu. "Sampai kemudian aku merasakan sesu
"Mau kemana?"Bara menahan pergelangan tangan Indah sementara ibu hamil itu enggan membalikkan badan. Kilas bayangan ketika Mawar dan Bulan menyambut Bara sebagaimana pria itu menjadi bagian dari keluarga mereka, membuat Indah tetiba mual. Dia sampai jatuh pingsan karena terlalu syok waktu itu. "Mas."Sekali lagi Mawar memanggil, rintik gerimis yang perlahan turun tak dia hiraukan. Telah lama Mawar menantikan hari ini, bertemu dengan Bara. "Nggak usah nahan aku, sana! Sudah ada yang nungguin tuh dari tadi.""Nggak! Kamu nggak boleh kemana-mana." Indah berusaha menepis tangan sang suami, tetapi Bara semakin mengeratkan genggamannya dan malah merangkul pinggangnya merapat. "Kalaupun aku harus bicara, harus ada kamu juga yang ikut menyaksikan.""Mau coba bikin aku cemburu? Atau mau pamer kalau kamu banyak penggemar?" Indah mendecih. "Dosa besar selalu punya pikiran buruk sama suami sendiri.""Kamu sendiri yang bikin aku begini."Bara tak lagi melanjutkan perdebatan itu, sadar diriny
Indah menoleh, mengalihkan pandangannya dari barisan pepohonan yang tampak berlarian mengejar mobil yang ditumpanginya. Di sampingnya, Bara duduk dengan tangan tak henti mengusap perutnya, sementara tangan yang lain merangkul bahunya. "Nanti kalau ada yang dirasa, langsung ngomong sama aku. Kalau kamu nggak kuat, kita bisa langsung pulang."Ucapan yang entah sudah keberapa kalinya Indah dengar dari bibir sang suami. Pria itu begitu mencemaskannya, Indah melihatnya dari sorot mata Bara dengan begitu jelas. Bayi yang masih dalam bentuk sangat kecil dalam perut Indah tampaknya nyaman, terbukti benih hasil kerja keras Bara itu tak rewel sejak mereka menempuh perjalanan satu jam yang lalu. Indah sama sekali tak merasa mual, hanya saja wanita itu menjadi mudah haus, Bara sampai menyetok beberapa botol air mineral sekaligus di dekatnya."Kita mampir dulu, kasihan Bondan pasti capek nyetir."Indah memperhatikan sekitar, suasana cukup ramai. Tetangga yang biasa menjadi sopir kayu itu Bara mi
"Tadinya Bara niat mau bangun rumah, Bu. Yang besar, punya halaman luas biar ada tempat main begitu anak kami lahir nanti. Sekalian kami ajak bapaknya sama Ibu juga ikutan pindah, tapi sayangnya Indah salah paham." Bara menyesap kopi yang disuguhkan Fatimah, wajahnya menyiratkan kegundahan tak bisa dia sembunyikan tiap kali berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya. Rumah tangganya nyaris karam sebab kebodohannya sendiri, beruntung semuanya masih bisa diperbaiki walau Bara rasa tak akan semudah yang ada di pikirannya. "Kenapa tidak direnovasi saja itu rumah mertuamu? Diperbesar sekalian biar jadi seperti rumah impianmu. Coba tanya baik-baik sama tetangga depan mertuamu, barangkali mau jual tanahnya. Kalau disuruh pindah, sudah tentu Indah pasti tak akan mau.""Ibu bantu ngomong ya, Bara tiap ngomong bawaannya Indah sudah langsung jengkel. Entah, sepertinya dia benci banget lihat mukaku. Lihat suaminya sendiri seperti lihat musuh.""Salahmu sendiri, Indah nggak akan begitu ka
"Dengar apa yang Ibu bilang barusan? Jangan karena kamu janda, terus mau menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang kamu mau, termasuk dengan merusak rumah tangga orang lain."Fatimah yang geram tak lagi dapat menahan diri. Dia memuntahkan semua ganjalan di hatinya begitu mengangkat panggilan itu dan memastikan kalau yang menghubungi anaknya saat ini benarlah Mawar. "Bukan begitu, Bu. Mawar bisa jelaskan.""Tidak perlu repot-repot menjelaskan, terima kasih. Lebih baik kamu urus saja hidupmu dan anakmu, kalau memang mau cari suami, jangan anak Ibu. Di luar sana masih ada banyak lelaki yang tak terikat pernikahan.""Ibu salah paham." Isak tangis Mawar lirih terdengar. "Biarlah Ibu salah paham, asalkan Ibu bisa menyelamatkan rumah tangga anak sama mantu Ibu. Sekali lagi Ibu ingatkan, tolong ya Nak Mawar, berhenti mengusik anak Ibu, carilah pria bebas di luaran sana. Ibu minta tolong sekali, mantu Ibu sedang hamil. Sebagai sesama perempuan harusnya kamu punya sedikit perasaan
"Jangan macam-macam, Mas! Aku mengizinkanmu tidur satu kamar karena aku masih menghormatimu. Ada orang tua kita di sini. Kalau harus memilih, sebenarnya aku jauh lebih nyaman kalau Mas Bara tinggal saja di rumah ibu."Bara terkesiap. Bibirnya terkatup, ia kehabisan kata-kata menghadapi kemarahan Indah yang ternyata sangat mengerikan. Melihat gelagat istrinya, Bara tau Indah telah salah mengartikan ucapannya barusan. Padahal, Bara tak ada niatan untuk meminta haknya, ada hal lain yang ingin dia sampaikan. "Kamu salah paham, Ndah.""Sudah! Aku sedang tidak mau berdebat. Aku lelah!" pungkas Indah yang kini merebah dengan membelakangi lelaki itu. Kehamilan itu membuat Indah mudah lelah dan mengantuk, tetapi rasa tak nyaman membuatnya hanya berganti-ganti posisi sejak tadi. Lama wanita itu terjaga, Indah akhirnya bangkit. Tangannya meraba meja kecil di dekat ranjang, mengambil minyak kayu putih. "Biar aku saja."Indah menoleh, Bara mengambil botol kecil di tangannya. Tanpa kata, lelaki
"Ampun, Bu." Bara berusaha melindungi diri. Fatimah yang baru saja datang langsung memukulinya membabi buta. Tak sempat mengelak, pun menghindar. Bara hanya pasrah membiarkan kepala dan tubuh bagian lainnya menjadi sasaran kemarahan sang ibu. "Bajingan kamu! Berani kamu sakiti hati mantu kesayangan Ibu? Ibu bunuh kamu, Bar!""Ibu, ini cuma salah paham, Bu. Demi Tuhan Bara nggak pernah mengkhianati Indah. Kasih kesempatan buat Bara menjelaskan, Bu.""Salah paham bagaimana? Kamu lihat sendiri mantu Ibu nangis sampai sebegitunya?""Ampun, Bu. Bara nggak masalah Ibu pukuli begini, tapi kalau sampai Bara sakit nanti siapa yang bakalan nurutin Indah pas ngidam?"Barulah Fatimah berhenti. Ia menatap wajah menantunya yang sembab. Teringat tujuannya datang ke sana membuat Fatimah melupakan kemarahannya pada Bara lalu menghampiri Indah yang sedang duduk di ranjang. "Kamu kok kurus sekali, Nduk?" Dua wanita itu saling berpelukan. "Bulikmu sudah kasih tau Ibu, katanya kamu hamil?"Indah mengan