Tanpa terasa, satu minggu sudah usia pernikahan Rina dan Rian. Hubungan mereka yang semula begitu canggung perlahan mencair. Rian selalu bisa mencari cara untuk membuat Rina merasa nyaman. Suatu malam, Rina sedang mengusapkan krim malam di wajahnya. Rian baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya menutupi pinggangnya. Jujur, Rina merasa malu melihatnya. Namun, pemandangan roti sobek di hadapannya sungguh menggoda iman. Rina mencuri-curi pandang apa yang dilakukan oleh suaminya itu dari kaca rias.Rian bukannya tidak tahu apa yang dilakukan oleh sang istri. Hanya saja, dia tidak ingin mengganggu kegiatan istrinya yang sedang mengagumi badannya. Rian tiba-tiba berada di belakang Rina. Lelaki itu mengambil sisir yang dipegang oleh Rina kemudian menyisir rambut sang istri."Kamu cantik banget, Rina. Apalagi tanpa hijab seperti ini."Rina tertegun, wajahnya langsung memerah. "Aku nggak pakai make-up, Rian. Nggak ada yang cantik dari wajah tanpa polesan ini."Rian mendekat,
Adzan subuh sudah berkumandang, suara dari masjid membangunkan Rina dari tidurnya. Dia menggerakkan tubuhnya perlahan, berusaha tidak mengeluarkan suara. Tatapannya tertuju pada tangan lelaki yang memeluk tubuhnya erat. Senyum kecil tersungging di bibirnya saat ia mengingat kejadian semalam—film yang mereka tonton, momen canggung yang mereka alami, dan penyatuan mereka untuk pertama kali. Rina bangkit dari tempat tidur, melangkah ke kamar mandi. Membersihkan diri dari sisa-sisa percintaan mereka semalam. Setelah selesai, Rina meraih bathrob-nya lalu keluar. Saat ia hendak membangunkan sang suami, Rina memperhatikan wajah tampan Rian dari dekat. Bayangan percintaan mereka kembali teringat, wanita itu pun segera menggelengkan kepalanya dan mebangunkan Rian. "Rian," bisiknya sambil menggoyang pelan bahunya. Rian menggeliat, membuka mata dengan kantuk yang masih menggelayuti. "Hmm, ada apa, Rina?" "Bangun, ayo sholat subuh dulu," ucap Rina lembut. Rian mengangguk kecil, meski matan
“Pelan-pelan,” ucap Arya singkat, tangannya menopang tubuh istrinya yang masih lemah setelah hampir dua minggu dirawat dirumah sakit.Hana tersenyum tipis. "Aku nggak selemah itu, Arya," balasnya dengan nada bercanda, sambil memandangi rumh yang sudah sangat dia rindukan. Arya hanya mengangguk kecil tanpa menanggapi, kemudian langsung pergi ke kamarnya, meninggalkan Hana yang duduk sendirian. Tatapannya kosong, menatap langit-langit kamar. Sejak Arya mendengar bahwa Rian menggantikan dia menikahi Rina, sikapnya berubah. Arya menjadi lebih pendiam saat ini. Dengan istrinya pun begitu, dia hanya bicara jika Hana bertanya padanya. ---Di dapur, Arya memeluk gulingnya. Ia terus membolak-balik badannya karena gelisah. Pikirannya kembali pada sosok Rina, wanita yang hingga saat ini masih ia cintai. Ia tak bisa menghilangkan bayangan senyuman Rina, apalagi membayangkan bahwa kini Rina menjadi istri Rian—salah satu pesaingnya dalam mendapatkan Rina.“Dia bahagia sekarang,” gumam Arya pelan,
"Kenapa Arya meneleponku malam-malam begini?" Rina menatap layar ponselnya dengan ragu. Nama Arya terpampang jelas di sana, seperti bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul tanpa diundang. Jari-jarinya gemetar saat akan menyentuh ikon hijau untuk menerima panggilan itu. Namun, ia menahan diri dan menoleh ke arah Rian yang sedang sibuk menyesap teh terakhirnya di ruang tamu. “Rian,” panggil Rina dengan suara pelan. Rian mengangkat pandangannya dari cangkir, mendapati wajah Rina yang tampak bimbang. “Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut, meletakkan cangkir di atas meja. “Ini...” Rina mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar yang bergetar. “Arya menelpon. Apa aku boleh menerimanya?” Rian terdiam sejenak, ekspresinya berubah serius. Mendengar nama Arya membuat dadanya terasa sesak. Lelaki yang pernah mengisi hati istrinya itu tidak pernah berhenti mengganggu istrinya. “Kalau menurut kamu itu penting, angkat saja,” jawab Rian akhirnya, suaranya tenang meski ada sedikit nada ketidaksuk
“Kamu hanis nelepon siapa, Mas?” tanya Hana dengan suara rendah tetapi penuh curiga. Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan tangan bersedekap. Arya terkejut. Ia menoleh cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya di balik senyuman canggung. “Bukan siapa-siapa kok, Sayang. Teman kantor, nanya soal pekerjaan.” Hana mengangkat alis, tidak sepenuhnya percaya. “Jam segini? Apa nggak bisa dibahas besok aja?” “Ya, urgent,” jawab Arya cepat sambil meletakkan ponsel di meja. Ia berdiri, mendekati Hana. “Yuk tidur. Udah malam.” Hana masih memandangi suaminya dengan curiga, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Arya menarik tangannya lembut, mencoba mengalihkan perhatian istrinya. Namun, saat mereka beranjak ke kamar, pikiran Hana tak berhenti memikirkan percakapan tadi. Dia tahu Arya sering terlihat melamun belakangan ini, tetapi malam ia merasa, ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh suaminya. Setelah Arya tertidur, Hana yang masih terjaga memandang ponsel suaminya di atas meja.
Rina berjalan pelan menuju kamar mandi. Kepalanya terasa sedikit berat, tetapi ia mencoba mengabaikannya. Beberapa hari ini, kepalanya sering pusing. Apalagi, dia harus menghindari Arya mulai saat ini, sementara lelaki itu, terus saja datang dan mengganggunya. Saat Rina membuka pintu kamar mandi, bumi terasa berguncang. Rina sampai harus berpegangan erat pada pintu. Namun, karena lemahnya kondisi Rina membuat wanita itu akhirnya terjatuh. "Auww...," gumam Rina lemah sebelum tubuhnya limbung. Brugh ... Tubuhnya terjatuh di lantai. Bunyi orang terjatuh mengagetkan Rian yang sedari tadi duduk di sofa sambil menyelesaikan laporannya. Rian pun gegas menuju ke kamar mandi. "Rina! Kamu kenapa?" teriak Rian panik sambil mencoba membuka pintu kamar mandi yang setengah tertutup. Saat pintu terbuka, pemandangan di depannya membuat Rian membeku sejenak. Rina tergeletak di lantai dengan darah mengalir dari kakinya. "Astaga Rina!" seru Rian sambil langsung berlutut. Ia mencoba membangunk
Rina terbangun dari tidur siangnya di ruang tamu. Rumah terasa sepi karena Rian sudah pergi ke kantor. Rina pun melangkahkan kakinya menuju ke dapur. Perutnya terasa lapar. Sayangnya, tak ada makanan apapun di meja. "Kenapa Bibi hari ini tidak masak?" Gumam Rina.Rina tidak tahu, jika Bibi seang izin libur karena ada keluarganya yang meninggal.Wanita itu pun mengambil handphone-nya untuk memesan makanan secara online. Beberapa saat kemudian, bel pintu berbunyi. Rina pikir, itu adalah kurir makanan yang datang. Dengan langkah pelan, Rina menuju pintu. Begitu pintu dibuka, sosok yang tak terduga berdiri di depannya—Hana. "Rina," kata Hana sambil melipat tangannya di dada. "Bolehkah aku masuk?" Rina tertegun. Seingatnya, dia tidak pernah memberitahu siapapun tempat tinggalnya saat ini. Bahkan Arya pun tak tahu. "Bagaimana kamu tahu aku tinggal di sini?" tanyanya sinis. Hana tersenyum kecil, tapi matanya dingin. "Aku punya banyak cara untuk mendapatkan alamatmu," ujarnya sambil mela
Pagi itu, Rian duduk di balik meja kerjanya, tenggelam dalam tumpukan dokumen. Tangannya bergerak cekatan memeriksa laporan, tetapi pikirannya terpecah. Antara pekerjaan, Arya, dan juga kehamilan Rina. Suara ketukan pelan di pintu kantornya menyadarkannya. Ia menegakkan punggungnya dan berkata tanpa menoleh, "Masuk." Pintu terbuka perlahan, seorang wanita cantik dengan perut buncit-Hana melangkah masuk dengan senyum tipis di wajahnya. "Selamat pagi, Pak Rian. Maaf mengganggu. Tapi saya pikir, Anda perlu melihat ini." Rian mendongak, sedikit terkejut. "Hana? Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya, menutup laptop di depannya. Hana berjalan mendekat dan meletakkan map cokelat di meja. "Ini soal Rina," ujarnya dengan nada serius. Alis Rian mengernyit. Ia membuka map itu tanpa berkata-kata. Matanya melebar saat melihat isinya—foto-foto Rina bersama Arya. Beberapa di kafe, di taman, bahkan di depan rumah Arya. Foto-foto itu diambil dari sudut berbeda, tampak jelas seperti hasil penginta
Arfan terbangun, tangannya mencari sang istri yang biasanya tidur di sampingnya. Semalam, dia sedikit mabuk hingga tak peduli apapun saat pulang. "Kemana Nadin? Apa dia sudah bangun?" Arfan pun keluar kamar dan mendapati rumahnya begitu hening. "Kemana semua orang? Apa Nadin sudah pergi?" "Bibi!" panggilnya. Namun, yang datang bukan Bibi melainkan sang asisten yang datang dengan wajah panik. "Ada apa?" “Pak Arfan, maaf mengganggu, tapi… ini penting,” suara lelaki terdengar tegang. “Katakan saja!” kata Arfan santai. Lelaki itu tidak memiliki firasat apapun. Padahal, hal buruk telah terjadi. “Saya baru saja mendapat kabar dari pihak kepolisian. Istri Anda, Bu Nadin… dia mengalami kecelakaan bersama Bu Karina tadi malam. Dan… mereka tidak selamat.” Dunia Arfan seakan berhenti berputar. “Apa?” Suaranya bergetar. “Kau pasti bercanda, kan?” “Maaf, Pak… ini kenyataan.” Sendok makan yang dia pegang tiba-tiba terjatuh. Tangan dan kakinya melemas, dan dadanya terasa sesak. Dia tidak
"Mama," panggil Nadin saat melihat ibunya baru saja duduk di hadapannya. “Apa yang ingin kau bicarakan sampai memintaku bertemu di sini?” Karina bertanya sambil menyesap kopi yang telah dipesankan putrinya. Tatapannya tajam meneliti ekspresi Nadin. Nadin menarik napas panjang, menekan rasa frustasi yang sudah menumpuk sejak dirinya dan Arfan dipindahkan dari rumah utama keluarga Mahendra. “Aku butuh bantuan Mama,” katanya akhirnya. Karina menyeringai, meletakkan cangkirnya dengan perlahan. “Akhirnya, kau sadar juga kalau kamu butuh Mama.” Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja. “Keisha menghancurkan semua rencana kita. Aku sudah hampir membuat Arfan menjadi CEO, tapi dia malah menunjuk suaminya sendiri untuk menggantikannya. Lalu, dia menyingkirkanku dan Arfan dari rumah utama. Ini jelas penghinaan.” Karina tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. “Kau terlalu lambat, Nadin. Seharusnya kau sudah mengantisipasi langkahnya sejak awal. Keisha itu licik. Tapi kau masih punya kes
"Ma, Pa, menurut kalian gimana kalau Arfan dan Nadin tinggal di rumah sendiri," kata Keisha dengan suara tenang, tetapi tegas.Arfan mengernyit, jelas terkejut. "Apa maksudmu, Kak?"Keisha menyilangkan tangan di dadanya. "Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian. Rumah yang lebih besar, lebih nyaman, disana, kalian bisa bebas karena hanya tinggal berdua."Nadin langsung menegang di samping suaminya. Matanya menyipit, mencoba membaca maksud di balik keputusan Keisha. "Kenapa tiba-tiba ingin kami pindah?" tanyanya dengan senyum manis yang dipaksakan.Keisha menatapnya dingin. "Kau hamil, Nadine. Aku ingin kau lebih fokus merawat kandunganmu tanpa terlalu banyak gangguan. Rumah ini terlalu besar untukmu. Dan lagi, kamar kamu kan ada di lantai 2. Bahaya buat ibu hamil tua naik turun tangga."Arfan menghela napas. "Keisha, kalau ini karena masalah jabatan di perusahaan, aku—""Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," potong Keisha cepat. "Aku hanya ingin memastikan kamu dan istri kamu
"Siapkan ruang meeting, beritahu semua petinggi perusahaan, kita akan mengadakan meeting dadakan satu jam kemudian," perintah Keisha pada aang sekretaris.Satu jam kemudian, semua sudah berkumpul di ruang meeting. Keisha baru saja masuk diikuti oleh Arfan, Rendy dan juga Nadin. Setelah memastikan semua duduk dengan tenang, Keisha pun mulai angkat bicara.“Maaf, jika saya mengadakan rapat secara mendadak. Hal ini berkaitan dengan peralihan sementara kursi kepemimpinan selama saya mengajukan cuti hamil."Arfan tersenyum tipis, sudah yakin bahwa Keisha akan mengumumkan namanya. Bahkan Nadin sudah bersiap untuk menampilkan ekspresi bangga, karena rencana mereka hampir berhasil.Namun, senyum mereka seketika memudar saat Keisha melanjutkan, “Mulai hari ini, suami saya, Rendy, yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO hingga saya kembali.”Ruangan langsung riuh dengan bisikan kaget. Arfan membeku di tempatnya, sementara Nadin mengepalkan tangannya di bawah meja.“Apa?” bisik Nadin deng
Di ruang makan keluarga, suasana penuh kebahagiaan. Rina dan Arya duduk di kursi mereka, menanti kabar penting dari Keisha dan Rendy yang baru saja tiba. Arfan duduk di sebelahnya, sementara Nadin berada di samping suaminya, memasang wajah penasaran. Keisha mengambil napas dalam, lalu menatap semua orang dengan senyum bahagia. “Ma, Pa, aku hamil,” ucapnya pelan, tapi cukup jelas untuk semua mendengar. Rina langsung menutup mulutnya, matanya membesar karena terkejut. “Benarkah, sayang?” Ia segera berdiri dan memeluk putrinya erat. Arya ikut tersenyum lebar. “Ini kabar yang luar biasa, Keisha!” katanya dengan bangga. Arfan, yang duduk di samping Nadin, langsung mengalihkan pandangan ke saudara perempuannya. “Selamat, Keisha. Aku ikut bahagia untukmu dan Rendy.” Di sebelahnya, Nadin juga tersenyum. Sementara semua orang sibuk mengucapkan selamat, Nadin mencengkeram gelasnya erat. Ini dia saatnya. Aku hanya perlu sedikit memainkan peran agar semua berjalan seperti yang kuinginkan.
"Sayang, Mama dan Papa senang kalian mau tinggal disini," kata Rina sambil memeluk putrinya."Aku juga senang, Kak. Dan jika Kakak langsung hamil, aku nggak bisa bayangin, gimana repotnya aku dan Kak Rendy memenuhi ngidamnya dua ibu hamil," Arfan bicara sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang kakak.Namun, ada satu orang yang tidak peduli dengan keberadaan Keisha disini, yaitu NadineWanita itu menatap sinis kedatangan kakak iparnya beserta suaminya. Tawa mereka semakin membuat hati Nadin sakit hati. Nadin mengepalkan tangannya. Keisha sekarang berada di rumah ini, lebih dekat dengan Arfan dan keluarganya. Itu berarti rencananya bisa saja berantakan. Jika Keisha menemukan sesuatu tentangnya, maka semuanya bisa hancur.Dia tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.---Malam itu, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang makan. Keisha duduk di sebelah Rendy, sementara Arfan duduk berhadapan dengan mereka. Nadin duduk di samping Arfan, tapi perasaannya tidak tenang sama sekali.Ary
Malam itu, di rumah Rendy"Jadi, bagaimana?" ulang Rendy sekali lagi. Namun, bukannya menjawab, Keisha justru memeluk erat Rendy seolah tak ingin berpisah. Rendy bisa merasakan detak jantung Keisha yang berdetak kencang. Senyum pun terbit di bibir Rendy. Lelaki itu pun membalas pelukan wanita yang sangat dia cintai itu.Setelah cukup lama berpelukan, Rendy melepaskan pelukannya. Lelaki itu menatap Keisha dalam, memberi ruang agar wanita itu bisa berpikir. “Aku tidak akan memaksa, Keisha. Aku hanya ingin kau jujur pada dirimu sendiri,” ucapnya lembut.Keisha mengangkat wajahnya, menatap mata Rendy dengan sorot ragu. “Aku takut.”Rendy tersenyum tipis. “Takut apa?”Keisha menggigit bibirnya, suaranya bergetar saat berbicara, “Takut kehilanganmu.”Rendy menghela napas, lalu meraih tangan Keisha dan menggenggamnya erat. “Kau tidak akan kehilangan aku, Keisha.”Keisha menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. “Dulu, aku pernah jatuh cinta. Entah apa alasannya, dia tiba-tiba pergi
"Kurang ajar! Rupanya, dia ingin main-main denganku. Jangan sebut aku Rendy jika tak bisa membuatku jatuh dalam pelukanku!" batin Rendy. Saat Dante meninggalkan mereka berdua, Rendy merasa, ini adalah kesempatan bagus untuknya. Dia bisa menghukum Keisha. Rendy pun menggendong tubuh Keisha layaknya karung beras. Lelaki itu kemudian mendudukkannya di mobil kemudian menguncinya. “Rendy! Apa-apaan ini? Buka pintunya!” Keisha berteriak. Memukul-mukul kaca mobil Rendy san berusaha membuka pintunya. Namun sayang, pintu itu telah terkunci. Rendy pun masuk dan duduk di sisi kemudi. Melihat Keisha yang terus memberontak membuat Rendy pun kesal. "Diam Keisha, kamu harus ikut denganku! Atau kalau tidak, jangan salahkan aku kalau mobil ini bergoyang!" "Rendy kamu nggak bis kayak gini sama aku! Buka pintunya Rendy! Buat apa kamu mengunci aku disini? Bukankah kamu sudah memiliki yang lain?" Rendy menggelengkan kepalanya. "Diana bukan kekasihku. Saat ini, aku memang sedang bekerja dengannya me
Keisha menatap nanar foto-foto kebersamaan Rendy dengan wanita yang enrah siapa namanya. Dia pun tak ingin peduli. Yang dia pedulikan hanyalah, sebegitu cepatkah Rendy melupakannya?Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja memikirkan langkah apa yang akan dia ambil. "Apa dia hanya ingin membuatku cemburu? Kalau tidak, untuk apa dia mengirimi aku foto beginian? Berani sekali dia memperlakukanku seperti ini," gumamnya geram. Tak ingin kalah, Keisha segera merencanakan langkah balasan. Jika Rendy bisa bersama wanita lain tanpa peduli padanya, maka dia juga akan melakukan hal yang sama. Wanita itu pun memikirkan cara agar bisa dalam sekejap mencari lelaki tampan, kaya, yang mau dia ajak kerja sama. "Aha! Aku tahu!"Keisha pun mengambil ponselnya kemudian menekan nomor yang dia tuju."Halo, apa tawaranmu masih berlaku?" tanya Keisha pada lelaki di seberang sana.Setelah menutup teleponnya, senyum licik pun terbit di bibir Keisha. "Lihat saja Rendy! Kamu jual, aku beli!" --- Keesokan harinya, d