Pagi itu, Rian duduk di balik meja kerjanya, tenggelam dalam tumpukan dokumen. Tangannya bergerak cekatan memeriksa laporan, tetapi pikirannya terpecah. Antara pekerjaan, Arya, dan juga kehamilan Rina. Suara ketukan pelan di pintu kantornya menyadarkannya. Ia menegakkan punggungnya dan berkata tanpa menoleh, "Masuk." Pintu terbuka perlahan, seorang wanita cantik dengan perut buncit-Hana melangkah masuk dengan senyum tipis di wajahnya. "Selamat pagi, Pak Rian. Maaf mengganggu. Tapi saya pikir, Anda perlu melihat ini." Rian mendongak, sedikit terkejut. "Hana? Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya, menutup laptop di depannya. Hana berjalan mendekat dan meletakkan map cokelat di meja. "Ini soal Rina," ujarnya dengan nada serius. Alis Rian mengernyit. Ia membuka map itu tanpa berkata-kata. Matanya melebar saat melihat isinya—foto-foto Rina bersama Arya. Beberapa di kafe, di taman, bahkan di depan rumah Arya. Foto-foto itu diambil dari sudut berbeda, tampak jelas seperti hasil penginta
"Jelaskan ini," ujarnya dingin. Rina membuka map tersebut. Matanya membesar saat melihat foto-foto itu. Ia terkejut, tetapi bukan karena merasa bersalah—melainkan karena tidak menyangka pertemuannya dengan Arya direkam secara diam-diam. "Mas, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Rina dengan tegas "Kalau begitu, jelaskan kenapa kamu bertemu Arya. Apa maksud dari semua ini?" desak Rian. Rina menghela napas panjang. "Arya adalah mitra kerja sama dalam proyek terbaru perusahaanku. Kami bertemu beberapa kali untuk membahas kontrak. Tidak lebih dari itu. Bukankah kemarin aku sudah bilang kalau aku ada kerja sama dengan Arya?" Rian mengangkat salah satu foto, menunjukkannya pada Rina. "Dan ini? Posisi kalian terlihat terlalu dekat untuk urusan bisnis." Rina memandang foto itu dengan cermat. Ia mengenali tempatnya—kafe tempat mereka membahas detail kontrak. Tapi sudut pengambilan foto itu memang membuat mereka terlihat lebih intim. "Mas, foto ini diambil dari sudut yang disengaj
Sejak kehamilan Rina, sifat manja istrinya semakin menjadi-jadi. Awalnya, Rian merasa lucu dan menikmati perubahan itu. Namun, seiring berjalannya waktu, permintaan Rina yang kadang tak masuk akal mulai membuatnya kewalahan. Terlebih ketika permintaan itu datang di tengah malam. --- "Mas, aku lapar," gumam Rina dengan suara manja sambil menyentuh perutnya. Rian yang sedang sibuk di depan laptop menoleh, menutup laptopnya, dan mendekati Rina. "Mau makan apa, Sayang? Mas buatin, ya?" Rina menggeleng lemah. "Aku pengen martabak keju cokelat, Mas." Rian melirik jam dinding. "Ini sudah jam sebelas malam, Sayang. Nanti Mas cari besok pagi, ya?" Rina cemberut, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi aku mau sekarang, Mas. Dedek bayi pengen martabak," rengeknya. Rian menghela napas panjang. Ia tahu menolak permintaan istrinya yang sedang hamil bisa berujung drama panjang. "Oke, tunggu sebentar. Mas cari." --- Setengah jam kemudian, Rian berdiri di antrian sebuah kios martabak yang
Sejak percakapannya dengan Rian malam itu, Rina menjadi lebih pendiam. Dia lebih memilih membeli secara online, atau membelinya sendiri jika dia menginginkan sesuatu."Sayang, kamu nggak pengen nitip apa-apa gitu? Biar nanti Mas belikan pas pulang kantor," tanya Rian pagi itu.Rina hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. Ingatannya tentang ucaoan Rian yang mengatakan dia merepotkan masih ternging-ngiang di telinganya.Pagi itu, Rina duduk di meja makan sambil menyeruput teh hangatnya. Tatapannya kosong, pikirannya melayang pada momen beberapa minggu lalu ketika Rian mengeluh soal permintaannya."Sayang, kamu nggak mau sarapan?" suara Rian memecah lamunannya.Rina tersentak, berusaha tersenyum. "Nanti saja, aku nggak lapar."Rian memerhatikan istrinya dengan tatapan penuh tanya. "Kamu yakin? Akhir-akhir ini kamu sering banget nggak nafsu makan.""Aku baik-baik saja, Mas," jawab Rina singkat, lalu bangkit dari kursinya.Rian menghela napas panjang. Ia tahu ada yang salah dengan istrin
"Kenapa aku tiba-tiba ingin minum es teler yang ada di mall X itu ya?" gumam Rina sambil membayangkan segarnya minum es itu.Rina pun membuat status di media sosialnya. "Kayaknya, siang-siang begini, minum es teler seger nih."Arya yang kebetulan berada di mall X langsung membelikannya untuk Rina. Dia pun mengirimkannya melalui kurir ke rumah Rina.Tak butuh waktu lama, es teler yang diinginkannya sudah tiba. Rina membuka pintu dan mendapati seorang kurir berdiri sambil memegang tas berisi es teler. "Pesanan untuk Ibu Rina," kata kurir itu ramah. "Iya, terima kasih," jawab Rina sambil menerima pesanan tersebut. Rina membawanya ke meja makan, menyiapkan sendok, lalu mulai menikmati es teler itu. Suapan demi suapan terasa seperti mengobati rasa lelahnya. Untuk sesaat, ia merasa tenang. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Rian baru saja pulang dari kantor. Pria itu masuk ke dalam rumah sambil membawa tas kerjanya. Ia berhenti di ambang pintu ruang tamu, menatap istrinya y
"Mas, perutku sakit, sepertinya, aku akan melahirkan," kata Hana sambil memegangi perutnya. Arya yang kala itu tengah sibuk berbalas pesan langsung menaruh handphone-nya. "Kamu kenapa, Hana? Mana yang sakit?" Arya bertanya sambil mengusap-usap perutnya. "Mas, aku ini mau melahirkan, bukan sakit perut, kenapa malah dielus-elus," geram Hana melihat tingkah suaminya. Arya pun akhirnya membawa Hana ke rumah sakit, Farida menemani Hana di belakang. Sementara Arya fokus menyetidr. Begitu mereka tiba di rumah sakit, dokter kandungan sudah menunggunya. Hana langsung dibawa ke ruang operasi. Karena Hana menginginkan melahirkan secara cesar. Suara tangis bayi pun terdengar, Arya dan Farida saling pandang, tak percaya bayinya telah lahir. Kelahiran bayi itu membawa kebahagiaan besar bagi Arya, dan juga Farida. "Ma, anakku sudah lahir, Ma. Suaranya kencang sekali sampai terdengar dari sini," pekik Arya girang. "Iya, Arya, kamu sudah menjadi seorang Ayah," sahut Farida sambil menepuk pun
Entah dosa apa yang dimiliki Rina sehingga Farida begitu membencinya. Wanita paruh baya itu seolah tak rela melihat Rina bahagia.Dia pun mengirimkan pesan pada Rina. "Wanita mana yang kamu minta donor sel telur untuk menampung benih dari suamimu?"Tak lama, muncul pesan balasan dari Rina. "Nyonya Frida, saya harap, mulai saat ini, Anda jangan pernah lagi mencampuri urusan saya, bukankah keinginan Anda sudah terpenuhi, lalu, untuk apa lagi, Nyonya mengurusi hidup saya?"Farida mengepalkan tangannya. Dia yakin kalau apa yang dia pikirkan itu benar.Ia segera mengambil surat hasil pemeriksaan dokter Rina dari masa lalu yang masih tersimpan di rumahnya. Surat itu menjadi senjata Farida untuk membongkar kebohongan Rina di hadapan suaminya. Ia yakin, dengan bukti ini, ia bisa menunjukkan pada Rina bahwa kebohongan tidak akan pernah bertahan lama."Tunggu saja Rina, setelah ini, suamimu yang ganteng itu akan pergi meninggalkanmu. Lebih baik lelaki tampan dan kaya itu aku berikan pada Serly,
Ponsel Farida bergetar saat dia akan masuk ke dalam ruangan dokter kandungan tempat dia memeriksakan Rina kemarin."Siapa sih," gerutunya.Farida pun membuka pesan dari aplikasi berwarna hijau itu.Seketika, matanya membola saat melihat isi pesan itu. Berbagai foto Hana dan juga seorang lelaki yang tengah bercengkerama di sebuah rumah sakit. Yang paling membuat dia kesal adalah saat melihat foto lelaki itu tengah mengelus perut Hana yang tengah membuncit.Tak lama, muncul lagi pesan. "Ibu harus tahu, kalau ternyata, menantu ibu tidak sebaik yang Ibu kira. Foto ini hanya salah satu bukti. Ada lagi, kalau Ibu ingin tahu lebih banyak." Farida menggenggam ponselnya dengan erat. Ia merasa ini adalah bukti bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Hana, menantunya. Tanpa pikir panjang, ia membalas pesan itu. "Siapa Anda? Kenapa Anda mengirimkan foto-foto itu? Apa yang Anda inginkan?" Tak lama kemudian, balasan datang. "Saya hanya ingin membantu. Kalau Ibu ingin tahu lebih banyak,
"Ahh... kepalaku...!" desahnya, suaranya hampir seperti rintihan.Rina yang sedang di dapur langsung berlari ke ruang tamu. "Arya, ada apa? Kamu sakit?" tanyanya panik.Arya menggeleng lemah sambil terus memegangi kepalanya. "Entah kenapa... kepalaku tiba-tiba sakit sekali, Rina."Rina meraih lengan Arya, membantunya duduk lebih nyaman. "Tunggu di sini, aku ambilkan air putih," katanya, lalu berlari ke dapur.Setelah Arya minum, rasa sakitnya sedikit mereda. Namun, matanya masih menunjukkan kebingungan. "Rina... aku tadi melihat sesuatu," katanya pelan."Apa yang kamu lihat?" tanya Rina, duduk di sampingnya."Sebuah... tempat. Ada taman, dan aku sedang bermain dengan seorang anak kecil. Aku rasa itu Keisha... tapi aku tidak yakin. Rasanya begitu nyata," jawab Arya sambil memijit pelipisnya.Mendengar itu, hati Rina tergetar. "Arya, mungkin itu bagian dari ingatanmu yang kembali," katanya dengan suara lembut."Tapi kenapa ini terasa sangat menyakitkan? Aku seperti sedang dipaksa mengin
“Ini foto-foto kita dulu,” kata Rina dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Rina membawa album foto lama. Ia menaruhnya di meja. Arya yang sedang duduk d ruang tamu sambil menonton televisi pun mengalihkan perhatiannya.Arya menatap album itu dengan ekspresi campur aduk. Ia membuka halaman pertama dan melihat gambar pernikahan mereka. Rina terlihat cantik dengan gaun putihnya, sementara ia—Arya—memegang tangan wanita itu dengan wajah datar.Arya menatap Rina, matanya penuh pertanyaan. “Jadi, kamu istriku?"Rina menggeleng, membuat Arya mengerutkan keningnya. "Dulu, kita memang pernah menikah selama 3 tahun. Namun setelah itu, kita bercerai," terang Rina.Arya menatap Rina. "Kenapa aku bisa menceraikan wanita sebaik kamu?”Rina terdiam. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang menggenang di matanya. “Itu cerita yang panjang, Arya. Dan mungkin bukan saatnya kita membahasnya sekarang,” jawabnya pelan.Arya tidak memaksa. Melihat wajah sendu Rina saat dia bertanya tadi, memb
"Aku harus membantu Arya keluar, Karina tidak bisa seenaknya pada Arya hanya karena Arya tidak mengingat siapa dirinya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya sendiri, Karina tidak akan melepaskan Arya jika aku kesana sendirian."Rina menggenggam surat yang ditulis Arya erat-erat. Dengan langkah mantap, ia memasuki kantor polisi, matanya penuh tekad.Seorang petugas yang sedang duduk di meja depan mengangkat wajahnya. "Selamat sore, Bu. Ada yang bisa kami bantu?"Rina meletakkan surat itu di atas meja. "Saya ingin melaporkan seseorang yang ditahan secara paksa. Ini surat dari korban yang berhasil menyuruh seseorang untuk membantunya keluar dari rumah tempat itu."Petugas membaca surat itu dengan seksama. Wajahnya berubah serius. "Siapa yang Anda maksud? Dan di mana lokasi penahanannya?""Namanya Arya. Dia ditahan di rumah seseorang bernama Karina. Dia adalah dokter yang merawat Arya, dan dari apa yang saya tahu, Arya dipaksa tinggal di sana tanpa keinginannya," jelas Rina dengan suara berg
Di rumah Rina, Keisha tampak sedang menggambar di ruang tamu ketika ia mendengar pembantunya, Mbak Ani, berbicara di dapur."Kasihan Mbak Rina ya, Mas Arya kayaknya nggak datang lagi. Padahal Keisha senang banget waktu dia mampir," ujar Mbak Ani sambil mencuci piring.Keisha yang penasaran segera menghampiri. "Mbak Ani, Om Arya nggak datang lagi ya?" tanyanya polos.Mbak Ani terkejut, lalu tersenyum kecil. "Keisha, mungkin Om Arya lagi sibuk. Nanti juga dia datang lagi, kok."Tapi Keisha tidak puas dengan jawaban itu. Ia tahu sesuatu sedang terjadi, tapi ia tidak tahu apa."Keisha harus cari Om Arya," gumamnya sambil kembali ke ruang tamu.---Di rumah Karina, Mbok Darmi membaca surat Arya dengan hati yang pilu. "Ya Allah, Den. Maafkan si Mbok jika belum bisa membantu Aden saat ini," ucapnya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya.Ia tahu membantu Arya berarti melanggar perintah Karina, tapi hatinya tidak tega melihat lelaki itu terus menderita.Malam itu, ketika Karina suda
"Mama! Mama!" teriak Keisha saat Rina baru saja memarkir mobilnya. Gadis itu berlari keluar dengan wajah penuh semangat. "Mama, Om Arya tadi ke sini!" Seru Keisha sambil melompat-lompat.Rina terhenti sejenak, hatinya berdegup kencang. "Apa? Om Arya? Keisha, kamu jangan bercanda, ya," katanya dengan suara gemetar."Tapi beneran, Ma! Tadi Om Arya ke sini. Dia main sama Keisha. Om Arya juga nanya banyak hal!" seru gadis kecil itu.Rina memandang putrinya dengan mata berkaca-kaca. Ia tak ingin terlalu berharap, tapi ada getaran dalam hatinya mendengar nama Arya. "Keisha, Om Arya bilang apa saja?"Keisha mengerutkan alis, mencoba mengingat. "Hmm... Om Arya tanya soal Mama, soal rumah ini. Terus dia juga nanya apa Keisha ingat Om Arya dulu sering main sama Keisha."Rina tak bisa menahan senyumnya. Ia ingin percaya bahwa Arya mulai mengingat sesuatu. Tapi ia harus memastikan semuanya terlebih dahulu."Keisha," kata Rina sambil memegang pundak putrinya, "lain kali kalau Om Arya datang lagi,
"Mbok, Karina sudah pergi?" Tanya Arya pada Mbok Ratmi, ART di rumah Karina."Sudah, Den. Tadi Nona bilang, kalau Den butuh apa-apa. Biar Mbok aja yang belikan. Aden nggak boleh pergi sendiri," jawab Mbok Ratmi.Arya tersenyum. Wanita itu masih saja mengekangnya. Padahal, kemarin dia sudah berjanji tidak akan mengurungnya lagi."Tapi, Mbok. Kemarin aku bertemu temen, katanya aku ini sudah punya anak dan istri. Aku harus mencari tahu Mbok, apa benar yang dikatakan oleh temanku kemarin. Apa Mbok nggak kasihan dengan anak istriku kalau seandainya apa yang dikatakan oleh temanku itu benar?" Mbok Ratmi terdiam. Benar juga apa yang dikatakan oleh Arya. Kasihan anak dan istrinya kalau memang itu benar.Arya memegang lengan Mbok Ratmi. "Mbok, boleh ya? Izinkan saya keluar. Nanti saya akan kembali sebelum Nona pulang. Please?" Pinta Arya sambil mengatupkan tangan di dada.Setelah wanita paruh baya itu mengangguk. Arya pun pergi meninggalkan rumah Karina. Dia harus mencari tahu, siapa Rina dan
Setahun Kemudian"Mama, kenapa Om Arya nggak sembuh-sembuh sakitnya? Keisha kangen, pengen main sama Om Arya," rengek gadis kecil berkuncir kuda itu.Rina tersenyum lembut, lalu duduk di samping putrinya. "Keisha kan tahu, kalau Om Arya sedang sakit dan nggak ingat kita. Kita tunggu saja, ya. Mama juga nggak tahu sekarang Om Arya tinggal di mana," ujar Rina sabar.Gadis kecil itu memberengut, kemudian masuk ke kamarnya. Rina menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia ingin mencari tahu keberadaan Arya. Tapi, untuk apa? Arya tidak mengingatnya sama sekali. Ia juga takut kehadirannya justru membuat Arya tak nyaman."Bagaimana kabarmu sekarang, Arya?" bisik Rina pada dirinya sendiri.---Di Tempat LainArya melirik ke arah pintu dengan gelisah. Ia sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini, terkurung di rumah Karina. "Karin, aku mau beli sabun. Sabunku habis," katanya sambil mengambil jaket."Sabun apa? Biar Bibi yang beli. Kamu di rumah aja!" Karina mengawasi Arya tajam. "Kamu kan sering n
“Kenapa Rina tak pernah muncul lagi?” Arya bertanya suatu malam pada Karina, yang duduk di kursi di sudut kamar.Sudah dua minggu sejak Rina dan Keisha berhenti datang ke rumah sakit. Arya mulai menyadari ada yang hilang di hatinya. Meski dia tak ingat tentang hubungannya dengan Rina, tetapi keberadaan mereka membuat hatinya terasa nyaman. Karina menatapnya dengan senyum samar, tapi matanya menyiratkan emosi yang tertahan. “Mungkin dia merasa kamu tidak membutuhkannya lagi. Kadang, orang memilih pergi daripada melihat seseorang yang mereka sayangi menderita.”Arya mengernyit. “Tapi... aku merasa berbeda. Seolah aku membutuhkan mereka.”Karina segera menyela, menggenggam tangannya dengan lembut. “Arya, jangan paksa dirimu untuk mengingat jika itu membuat kepalamu sakit. Biarkan semua berjalan dengan perlahan. Lama-kelamaan, kamu juga ingat nanti." Karina memaksakan senyumnya. Meski dalam hati, dia merasa takut jika Arya mengingat masa lalunya. ---Beberapa hari kemudian, dokter sudah
"Pak Arya, semua sudah stabil. Setelah ini, akan ada dokter lain yang akan merawat Pak Arya. Mungkin bisa sambil rawat jalan," terang dokter laki-laki yang saat itu memeriksa Arya. Arya dan Rina mengangguk bersamaan. "Terima kasih, Dok," jawab keduanya kompak.Setelah dokter itu keluar, tak lama, ketukan pelan terdengar di pintu kamar Arya. Seorang wanita berjas putih masuk ke dalam ruangan sambil membawa beberapa dokumen medis. Rambut panjangnya terurai rapi, dan senyumnya tampak lembut namun tegas. “Selamat pagi,” sapa wanita itu sambil memandang ke arah Arya yang sedang duduk di tempat tidur, ditemani Rina dan Keisha. “Saya Dr. Karina, spesialis syaraf. Saya akan menangani perawatan lanjutan untuk Pak Arya.” Arya mengangguk sopan. “Terima kasih, Dokter.” Namun, saat itu Dr. Karina terdiam. Matanya membesar, dan tangannya bergetar saat melihat wajah Arya. Dadanya bergemuruh. Itu dia. Pria yang telah lama ia pendam di hati. Cinta pertamanya sejak SMA. ‘Arya...,’ pikirnya sambil