Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 26 )Zoya Akan Tetap Bersama Kami (1)"Kalian pikir Zoya barang yang bisa ditukar uang? Tolong, Bapak dan Ibu berpikir selayaknya manusia sebelum mengucap sesuatu hal. Pertanyaan Vinda tadi belum dijawab, mengapa tak kalian minta istri Galih melahirkan anak mereka?" tanya ayah pada mantan mertuaku lagi. Ayah menaikkan suaranya yang menyiratkan kemarahan. Lagipula siapa yang akan tahan menghadapi manusia tak tahu diri seperti mereka? "Apakah Soraya tak mau merawat anak, tak pantas punya anak atau … memang tak mampu punya anak?" Pertanyaan ayah berhasil membuat wajah kedua manusia sombong itu pucat. Bibir mereka bergetar menahan gejolak emosi akibat sindiran itu. "Apakah kali ini kalian salah lagi memilih menantu?" "Apa maksud Anda berkata demikian?" Pak Tanu mengacungkan telunjuknya pada ayah. Terlihat sekali dia amat tersudut dengan pertanyaan ayah tadi. "Selama ini saya diam mengetahui perlakuan kalian berdua terhadap anak saya selama menja
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (27)Zoya Akan Tetap Bersama Kami (2)Suara meja yang digebrak dengan sangat keras tak bisa menggoyahkan mentalku. Pak Tanu sudah tak mampu membendung emosinya lagi. Dadanya naik turun menahan amarah. Aku tersenyum meremehkan. Kepalang tanggung, menghadapi manusia sombong nan serakah tak bisa setengah-setengah. Seluruh pikiran licik harus mampu kutemukan agar tak kalah set. "Bisa-bisanya wanita licik sepertimu pernah membuat anakku tergila-gila! Bedeb*ah kau, Vinda! Bahkan Soraya jauh lebih sempurna dari kamu!" Pak Tanu mengacungkan telunjuknya. Matanya yang berwarna merah menatap garang ke arahku. "Jangan lupa, aku pernah menjadi menantu kalian selama enam tahun. Tentu saja aku sudah khatam belajar licik dari kalian. Dan soal Soraya, jika kalian tetap menekanku untuk memberikan hak asuhku pada kalian, maka aku pastikan Soraya menerima sangsi dari pekerjaannya. Aku punya kartu mati wanita yang kalian katakan baik-baik itu. Seorang guru dituntu
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 28)Tak Mau Ribut (1)Hari ini ada orderan ayam bakar untuk prasmanan acara pernikahan di graha tak jauh dari restoranku. Bu Fatma, kepala sekolah langganan ayam bakarku yang memberikan rekomendasi pada pemilik acara. Kebetulan pemilik acara tersebut adalah orang tua mempelai wanita yang juga rekan guru di tempat beliau memimpin. Biasanya Putri yang kuminta menghandle acara di luar restoran. Tapi kali ini, serangan dismenore yang bisa dia rasakan di awal siklus kewanitaannya membuat gadis cerewet itu absen. [ Bu Bos. Ijin tak berangkat hari ini. Serangan dismenore. Harap maklum. Sekian, Terima kasih ] Aku tergelitik membaca pesannya. Meskipun dia berstatus karyawan, aku memperlakukannya sebagai rekan kerja. Karena sejujurnya bisa apa aku tanpa mereka. Bahkan mereka yang menemaniku dari nol, menunggu pelanggan di awal-awal pembukaan restoran ini. Kemudian bersorak dalam hati saat satu dua orang itu masuk dan memesan makanan andalan kami. Jadi
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (29)Tak Mau Ribut (2)" Sttt… itu si selebritis kita. Arah pintu masuk!" ucap salah seorang yang menemaniku di meja prasmanan. Temannya membidik ke arah pintu masuk dan memandang sepasang manusia itu dengan mencebik. Sepertinya mereka kenal dengan Soraya. "Bilangnya nggak bisa datang, disuruh bantu jaga prasmanan alasan mau ada acara ke luar kota. Nyatanya datang juga ke sini. Alasan saja Bu Soraya, mentang-mentang nggak level jagain makanan kali!" ujar gadis satunya lagi. Aku mendengarkan seksama kalimat mereka tentang Soraya. Jangan-jangan mereka rekan kerja wanita bin*l itu. "Suami hasil maling kok bangga betul, ya. Apa nggak malu gitu. Kamu tau nggak Bu Rina, dengar-dengar mantan istrinya itu diusir dari rumah bawa tiga anak kecil. Bahkan satunya masih bayi waktu itu! Mudah-mudahan kena azab itu nenek sihir." Aku masih menguping pembicaraan mereka. Bahkan mereka tak tahu orang sedang dibicarakan bersisian dengan mereka. Masih banyak lagi y
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 30 ) Merusuh di Rumah Orang (1)"Maaf Bu Fatma. Laki-laki ini hanya bertanya kabar mengenai ketiga anaknya pada saya. Kebetulan dia mantan suami saya, " jawabku dengan lantang. Aku tak mau orang lain menyangka yang tidak-tidak. "Anak? Jadi laki-laki ini mantan suami Anda, dan Bu Soraya itu yang … ," ucap Bu Fatma menggantung. Matanya memindai wajah Mas Galih dan Soraya bergantian. Tiba-tiba wajah Soraya pucat, seolah kebusukannya dikuliti oleh atasannya. Aku tersenyum menang. Betul, Bu. Soraya itu yang datang dan merusak rumah tangga saya hingga porak poranda. Soraya menyeret lengan Mas Galih ke arah pintu. Mereka keluar diiringi tatapan mata kami yang rasanya masih gemas dengan tingkah Soraya. Aku menghembuskan napas penuh kelegaan. "Jaman sekarang pelakor teriak pelakor. Nggak nyangka kalau suami Bu Soraya ternyata mantannya Mbak Vinda. Kok dunia sesempit ini," ucap Bu Fatma sambil mendekat dan mengusap lenganku. Aku tersenyum. Sebagai ses
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (31)Merusuh di Rumah Orang (2)Aku menyuapi Zoya dengan dengan puff untuk selingan makanannya. Pipinya sudah mulai tirus. Konon, Anak-anak yang sudah mulai berjalan maka lambat laun akan kehilangan kemontokannya. Tak masalah, selagi anak itu tumbuh sehat, jarang sakit dan berat badannya normal aku kira masih aman. Gadis kecilku sedang lucu-lucunya. Berjalan ke sana kemari tanpa rasa lelah serta diiringi celotehan yang terkadang membuat kami—orang dewasa, menerka-nerka maksud dari ucapannya. Saat hendak meraih Zoya dan membawanya ke kamar, aku mendengar suara ribut-ribut di depan rumah. Entah siapa yang hampir jam setengah sembilan malam ini berbuat kekacauan di rumah orang. Tak lama, suara pintu diketuk dengan keras dan cepat. Aku meraih jilbab yang tergeletak di atas sofa ruang santai. Ibu meraih Zoya ke dalam pelukannya, serta menggiring si kembar masuk ke dalam kamarnya. Kubuka pintu dengan perasaan menentu. Di luar pintu kulihat Soraya de
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karir ( 32) Ikatan Batin Ayah dan Anak (1)"Cukup, Vinda! Tutup mulut busukmu. Aku tak suka kamu mengatur hidupku." Kali ini Soraya terlihat meneteskan air mata. Kurasa kalimat ku benar-benar sudah memojokannya. "Kalau begitu cepat pulang. Kedatangan kalian kemari hanya sia-sia saja. Tak akan kalian dapatkan apapun, kecuali harga diri kalian yang akan kuinjak-injak akibat permintaan kalian yang tak masuk akal." Aku sudah melupakan soal kesopanan kali ini. Entahlah, semenjak berurusan dengan Mas Galih dan keluarganya, aku jadi sering mengusir orang. Aku tak mampu mengendalikan diri meski sekuat tenaga kutahan. Soraya mau berdiri setelah kedua tangannya ditarik paksa oleh orang tuanya. Aku tak habis pikir, dimana letak otak dan pikirannya hingga berani mengacaukan rumah orang di malam hari seperti ini. Dan lagi, kenapa dia datang justru bersama orang tuanya? Bukan dengan sang suami? Tak lama kudengar notifikasi panggilan dari ponselku. Kulihat nama Ma
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (33)Ikatan Batin (2)Aku tersengal antara kehabisan napas dan mendamaikan emosi yang berlomba-lomba menguasai diriku. Lelah, sungguh. Menghadapi manusia licik kita bisa mengalahkannya dengan trik. Tapi menghadapi manusia tidak tahu malu? "Vin. Soraya divonis dokter tidak bisa punya anak. Dia mandul," ucap Mas Galih dengan suara lemah. Ada setitik rasa kasihan untuknya. Tetapi mengingat bagaimana jahatnya dia satu tahun yang lalu, rasa itu tiba-tiba menguap. "Dia pilihanmu. Aku sudah berusaha mengingatkanmu waktu itu. Bahkan aku mengemis padamu demi anak-anak. Tapi tak ada secuil pun rasa kasihan untuk kami. Silahkan hiduplah sesuai pilihanmu, Mas. Barangkali takdirmu adalah menghabiskan waktu dengan wanita karir dari keluarga berkelas, meskipun kamu harus kesepian tanpa tawa riang anak-anak." Hening. Tak ada jawaban apapun dari Mas Galih. Hanya kudengar helaan napas beras dari ujung panggilan. "Mohon maaf. Tidak perlu menghubungiku lagi setel
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa