Part 71Esok hari, sekira pukul 06.00 WIB, Putra sudah bersiap-siap. Ia sudah memakai baju kemeja warna hitam polos, tampak begitu rapi dan mempesona. Namun tak mengurangi kesan berwibawanya.Selain Putra, Derry pun sudah bersiap-siap untuk pulang dan kembali ke Jakarta. Sementara untuk Lian, dia masih ditugaskan untuk mengawasi proyek itu.Mobil mewah itu mulai melaju membelah jalanan. Putra mulai bernapas dengan lega, proyek yang bermasalah dan hampir saja hancur, bisa diselamatkan kembali.***"Mommy, ini udah hayi apa?" tanya Alvaro. Wajahnya nampak cemberut dan tidak bersemangat. Sering kali menanyakan keadaan sang ayah."Sabtu, Sayang.""Kapan daddy pulang? Katanya cuma sebentay di luay kota?""Hmmm, iya, Alvaro sabar ya, Daddy masih banyak pekerjaan. Mungkin pulangnya besok."Alvaro mendongak menatap ibu sambungnya. Ada secercah harapan dalam binar matanya."Beneyan, Mommy?""Iya, Sayang.""Vayo udah yindu beyat."Hana ternganga mendengar kosakata anak tirinya itu. "Varo udah r
Part 72"Om, beliin aku iphone 14 dong!" rayu Yolanda dengan manja.Bama menoleh ke arahnya sejenak. Gadis itu tersenyum manis. "Kemarin kan baru beli HP, Sayang. Kok minta lagi?""Ini kan bukan iphone, Om. Aku mau handphone yang canggih dan juga mahal. Ya om ya, aku mau?""Nanti dulu ya, Baby, Om lagi banyak masalah dan keperluan. Om gak bisa beliin sekarang.""Ya udah deh, tapi lain kali janji ya, Om. Aku pengin punya iphone kayak teman-teman yang lain.""Hhhmm ...""Asyeeekk, makasih daddy!" Yolanda langsung mencium pipi kekasih hatinya. "Makasih, daddy."Malam itu, sekira pukul 8 malam, Bama bersiap-siap ingin pergi"Om katanya perginya besok, kok dari sekarang? Emang mau kemana?""Iya, mau ketemu asistenku.""Aku ikut ya, Om!""Tidak, Sayang, Om cuma sebentar saja. Kamu tunggu di sini dan bersiap-siap ya, dandan yang cantik," timpal Bama seraya menggoda.Yolanda akhirnya mengangguk sambil termyum manis ke arahnya. "Baiklah, Om."Bama melajukan mobilnya dengan kecepatan kencang. I
Part 73"Setelah apa yang sudah kau lakukan, mencoreng nama baik keluarga, dan ternyata kau masih punya nyali juga untuk datang ke sini! Dimana rasa malumu, Bama!" Mahesa membentaknya penuh dengan emosi.Bama terdiam. Ia memandang sang ayah dengan tatapan benci. Mematung di tempatnya berdiri."Kamu anak pertama, harusnya bisa jadi panutan untuk adik-adikmu. Tapi apa ini? Kenapa kau sering kali berulah! Tambah hari jadi makin blangsak saja! Kau gak ingat usiamu sudah tua! Anakmu saja sudah menikah, kau bahkan sudah pantas menimang cucu, tapi kelakuanmu masih kayak bocah labil! SUNGGUH MEMALUKAN!"Nafas Mahesa masih memburu. "Kau ini sudah bau tanah, tapi kelakuan benar-benar menyedihkan! Berapa kali saja kau mencoreng nama baik keluarga 'hah? Berapa kali saja kau menghancurkan bisnis keluarga kita sendiri 'hah?""Itu karena ayah! Ayah yang sudah membeda-bedakanku. Ayah lebih menyayangi Reni dan Putra. Tiap aku buat kesalahan sedikit, ayah selalu saja membentakku! Memarahiku! Persis sep
Part 74"Kalau mimpi jangan di siang bolong, Bu!""Kenapa teytawa, Om? Mommy kan gak tiduy jadi gak mimpi. Ini beneran mommyku, kami mau beytemu daddy!" celetuk Alvaro muncul dan menatap security itu dengan tatapan bertanya-tanya.Sementara di ruangan Putra, Derry melihat istri bos dan anaknya datang. "Tuan, Nyonya Hana dan Alvaro datangg tapi sepertinya mereka masih tertahan di luar," ujar Derry.Serta merta Putra menatap layar benda pipih yang ada di sudut ruangan itu. Nampak kolase rekaman dari beberapa ruangan."Biar saya hubungi security itu agar Nyonya Hana bisa masuk," ujar Derry. Lelaki itu hendak mengambil pesawat telepon. Tapi segera dicegah oleh bosnya."Tida perlu, Der. Biar aku yang datang ke sana," ujar Putra yang dijawab anggukkan kepala sang asistennya.Putra langsung menyambar jas yang disampirkan di belakang kursi singgasananya. Langkahnya tegap lalu berjalan keluar ruangan.Entah apa yang terjadi kenapa Hana belum diperbolehkan masuk. Namun Putra memaklumi, karena
Part 75"Sayang, apa kamu belum selesai?" Putra datang menghampirinya.Tatapannya langsung mengarah pada Wijaya. Putra langsung merangkul istrinya. "Kenapa, apa dia menyakitimu lagi?"Hana mendongak, menatap wajah tampan sang suami. "Tidak, A. Ayo kita pulang saja.""Tentu saja, sesuai seperti permintaanmu."Putra dan Hana melangkah pergi keluar gedung. Sedangkan Bambang Wijaya hanya mematung menatap mereka. Ada rasa iri yang begitu besar. Terlebih rumah tangganya kini sudah diambang kehancuran.Baik Mariana dan Wijaya masih mempertahankan egonya masing-masing.Wijaya kembali ke ruangan, melangkah menuju lantai atas tempatnya bekerja. "Emang ya, Pak Bos so sweet sekali, demi bisa bersama istrinya, ia rela menunda meeting yang sudah dijadwalkan," ujar salah seorang staff terdengar di telinga Wijaya."Iya, jadi ngiri. Pak Bos ternyata so sweet bikin hati ini meleleh saja."Putra mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, dalam perjalanan pulang, mereka tampak riang gembira. Alvaro p
Part 76"Oh, jadi ini wanita jalang yang sudah membuatmu tergila-gila, Mas?" Mereka berdua tampak terkejut dengan kedatangan sang istri sah."Ke-kenapa kau ada di sini?" Bama tampak gugup dan terbata."Tentu saja mengikutimu. Aku ingin tahu semenarik apa wanita jalangmu, ternyata hanya cabe-cabean tak berkelas!" pungkas Ny Bama menohok hati Yolanda.Wajahnya begitu sinis melihat wanita yang usianya sangat muda, bahkan lebih muda dari anaknya itu. "Kau benar-benar keterlaluan, Mas! Kau tidak jijik berhubungan dengannya? Kau tidak ingat tentang Mariana? Bagaimana perasaan Mariana kalau tahu hal ini?"Bama terdiam. Sudah kepalang basah kalau dirinya ketahuan. Mau mengelak pun percuma."Dan kau cabe-cabean kecil, kau pasti hanya menginginkan harta suamiku saja bukan? Hebat juga caramu menggaet suamiku! Kau sudah membuat proyek suamiku gagal hingga digantikan orang lain dan sekarang kau menguras hartanya. Sungguh pintar! Kecil-kecil cabe rawit! Dasar pelacur murahan!""Tidak, aku bukan pe
Part 77Mulut Hana ternganga mendengar penuturan sang suami. Memang, karena kesibukannya bekerja, ia jadi lupa menceritakan tentang kondisi rumah. Terlebih melihat keadaan Hana yang terkadang kepayaha karena ngidamnya. "Ya sudah, kita ke Rumah Sakit sekarang, Mas.""Bagaimana denganmu? Kondisimu kan sedang hamil.""Tidak apa-apa.""Yakin gak akan mual?"Hana hanya tersenyum. "Kalau mual ya gak tahu, A. Anak ini gak bisa diprediksi.""Kalau begitu pulang ke apartemen saja. Biar aku sendiri yang pergi ke Rumah Sakit, lagi pula kau harus banyak istirahat. Aku gak mau kalau kau sakit.""Iya, aku nurut keputusanmu saja, A."Putra tersenyum sembari memandang istrinya lekat. Ia merasa terenyuh, sosok istrinya kini adalah wanita penurut. Tak membantah apapun keputusannya, meski terkadang ada debat kecil dan kesalahan kecil. Namanya rumah tangga, pasti ada ujian dan masalah, sebagai bumbu keharmonisan pernikahan."Kenapa senyam-senyum gitu dari tadi?""Hmmm ... Karena kamu istriku yang canti
Part 78Putra sampai di lokasi tujuan, sedangkan kondisi dan suasana mereka masih terlihat berantakan. Mariana belum sadarkan diri. Reni langsung menyongsong adiknya."Putra ...""Apa yang terjadi?""Mereka mengalami kecelakaan. Dan ..."Putra mengernyitkan keningnya. "Kakak ipar meninggal. Mariana sangat shock, ia sampai tak sadarkan diri dan belum bangun-bangun."Putra terdiam sejenak, melihat kondisi keponakannya. Ia menoleh ke arah ruang perawatan."Bagaimana dengan Mas Bama?""Mas Bama masih belum sadar," jawab Reni lesu.Putra segera masuk ke ruangan itu melihat kondisi kakaknya yang dipenuhi alat medis. Ia pun bertanya pada dokter yang menangani kakaknya."Pak Bama saat ini masih belum sadarkan diri, kondisi tubuhnya masih sangat lemah. Dan saya harus sampaikan ini, Pak Bama mengalami kelumpuhan."Deg! Jantung Putra berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia tak menyangka, kecelakaan itu justru berakibat sangat fatal bagi mereka. Bahkan kakak iparnya harus kehilangan nyawanya."
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja