Part 41Putra membangunkan Hana dan Alvaro. "Kalian gak apa-apa, Sayang?" tanyanya. Hana hanya mengangguk sembari membelai kepala Alvaro."Mommy, aku takut ..." lirih Alvaro yang makin mengeratkan pelukannya."Masuklah ke kamar, Hana. Tenangkan Alvaro dulu. Dia, biar aku yang urus."Hana mengangguk, ia pun bergegas masuk ke dalam rumah. Sasya masih berusaha mengejarnya, tapi Putra langsung pasang badan menghalanginya. "Takkan kubiarkan kau menyakiti istri dan anakku!" serunya. Dengan amarah yang sedari tadi membuncah."Jangan halangi aku bertemu dengan anakku, Putra! Dia bayi yang sudah kulahirkan dari rahimku!""Kau memang melahirkannya! Tapi apa kau pernah merawatnya dengan baik hah? Kau sudah mebelantarkannya, dan kau inginkan dia sekarang?" Putra menarik tangan Sasya agar menjauh dari rumahnya. "Pergi dari sini! Jangan pernah datang lagi! Alvaro tanggung jawabku! Kau tak usah khawatir, dia takkan kekurangan apapun! SECURITYYY!" "Lepaskan aku, Putra! Lepaskan aku!!" "Lepaskan
Part 42"Maafkan aku," ucap Putra penuh penyesalan. Hana tersenyum. Ia melihat kegelisahan pada diri Putra. Diraihnya tangan suaminya itu lalu digenggam erat. "Tidak apa-apa, A. Setiap manusia punya masa lalu. Aa tidak perlu minta maaf. Mungkin posisi Aa lebih sulit karena kalian punya Alvaro."Putra menghela napas. "Dulu saat Alvaro bayi dia menelantarkannya, dan sekarang dia bilang ingin mengambilnya? Bahkan sampai membuat anak itu ketakutan! Aku tidak bisa terima ini!"Hana mengelus lengan suaminya agar sedikit tenang. "Daddy ... mommy ..." Keduanya menoleh dan menghampiri bocah mungil itu. Putra langsung menciumi wajah tampan anaknya. "Alvaro tidak apa-apa 'kan?""Vayo takut sama tante jahat! Daddy jangan temui tante jahat itu lagi! Vayo gak suka!" ujarnya ketus.Putra memandang Hana, wanita itu hanya tersenyum. Mungkin dia kaget juga mendengar kata-kata kritis dari anaknya. Padahal, tante jahat yang dibilang Alvaro adalah ibunya sendiri."Iya. Daddy akan langsung usir dia kal
Part 43Bu Samira shock mendengar perkataan Putra, ia memutar bola matanya melihat pasangan suami istri itu yang tampak begitu mesra.Ya, terlihat sekali kalau Hana begitu dimanja oleh Putra, bahkan ia dibelikan perhiasan yang sangat mewah itu. Benar-benar diluar perkiraannya.Bu samira masih menggeleng pelan tak percaya. 'Beruntung banget sih Hana, sekarang malah jadi istri majikannya! Pake ilmu pelet apa dia, sampai ia bisa meluluhkan hati Putra yang dingin dan kaku itu,' gumamnya dalam hati.Kondisinya benar-benar terbalik 180°. Ia melihat dirinya sendiri yang baru saja menjual perhiasannya. Karena keuangannya saat ini sedang mengalami masa sulit. Bambang, yang digadang-gadang akan membuat hidupnya mewah bergelimang harta karena menikah dengan cucu orang kaya, kini justru sudah tak lagi mengiriminya uang. Satu pintu pendapatannya justru sudah tak menghasilkan pundi-pundi rupiah.Uang yang diperoleh dari sang suami kini sangat kurang untuknya. Ia pun tak bisa banyak menuntut karena
Part 44"Kamu jangan menggodaku, Hana. Atau aku akan--"Hana tertawa melihat ekspresi sang suami yang terlihat salah tingkah.Putra berdehem untuk menetralkan rasa di hati. "Siang-siang begini aku jadi pengin ngemil!" "Ngemil apa, A?""Ngemilikin kamu seutuhnya."Hana tertawa lagi. "Hahahah. Aku gak nyangka Aa bisa gokil juga, belajar dari mana kata-kata itu?""Memangnya aku gak bisa bikin kamu tertawa, hmmm?""Bukan itu, tapi ini seperti bukan Aa yang sesungguhnya.""Lho, lho, memangnya aku gimana di mata kamu?""Biasanya ekpresinya seperti ini nih, diem, datar dan dingin banget kayak kulkas," jawab Hana sambil terbahak."Hmmm begitu ya?" sahut Putra seraya menatap istrinya dengan serius."Iya, apalagi pas pertama aku datang buat kerja, ampuuun aku takut sekali. Wajah Aa galaaak, ampe aku gak berani natap. Hahah," sahut Hana lagi mengenang masa lalu."Sekarang gimana?""Sekarang Aa sudah banyak berubah, sikapnya lebih hangat dan gak kaku lagi. Aku ikut senang dengan perubahan posit
Part 45Tapi tiba-tiba orang itu justru membekap mulutnya."Hhmmmpphh!" Sekuat tenaga, Hana berontak. Ia menyikut dan mendorong tubuh lelaki itu hingga tangannya terlepas dari cengkraman. Ia bergegas pergi, tapi kakinya tersandung barang hingga ia terjatuh. Lelaki itu kembali menariknya untuk berdiri, mencekal pergelangan tangan Hana hingga wanita itu meringis kesakitan."Lepaskan aku, Mas! Kau ini apa-apaan sih! Kenapa tiba-tiba--""DIAAMM!!""Aw, Mas, sakiiit ... Mas Bambang! Lepasin aku!" teriak Hana.Bambang tak kehilangan akal, gerakannya yang cepat membuat Hana tak berkutik. Lelaki itu mencengkeram pipi Hana hingga dia mendesis kesakitan. Dan mendorong tubuh Hana hingga terpentok ke dinding."Hana, diamlah sebentar!! Ada yang ingin kukatakan!" tukas Bambang Wijaya dengan nada membentak. Tatapannya menyorot tajam membuat Hana memalingkan pandangannya. Hana tak berdaya, rasanya ia ingin menangis dan berteriak sekencang-kencangnya dan memanggil sang suami untuk datang."Jangan b
Part 46"Kamu ngomong apaan sih, Mariana!""Kamu itu mencurigakan, Mas. Kamu ada hubungan ya sama Hana?"Menyadari sikapnya yang gegabah dan hampir membongkar dirinya sendiri membuat Bambang Wijaya gelagapan. Ia mengusap tengkuknya lalu menatap Mariana dan tantenya secara bergantian. Dua wanita itu tengah memandangnya tajam penuh curiga."Tidak! Tidak ada apa-apa. Hanya saja tadi dia sempat mau menggodaku, Sayang.""Kapan? Bukankah kamu tadi habis ada urusan dari luar?""Yah itu... Aku gak sengaja bertemu dengannya. Sudahlah, lupakan saja hal itu. Dia sudah pergi dari rumah ini bukankah kehidupan kita nantinya akan lebih baik?" kilah Bambang sengaja mengalihkan pembicaraan agar Mariana tidak terus menuntutnya.Setelah mengatakan hal itu Bambang beranjak pergi menuju kamarnya. Seharusnya dia masih berada di kantor, namun karena dapat panggilan dari istrinya, dia segera pulang. "Ada yang aneh dengan suamimu, Ana. Cobalah kamu selidiki sebenarnya ada apa. Jangan telan bulat-bulat apa ya
Part 47Hana tersenyum. Sedangkan Putra masih menatapnya."Kamu capek, Sayang?" tanya pria itu sembari menggenggam tangan istrinya dan mengecupnya pelan."Iya, maaf A, aku capek banget jadi gak sadar kalau ketiduran.""Hmmm ...""Aku lupa, A, Alvaro belum makan. Tadi aku sudah masak, tapi nungguin kamu dulu. Eh malah tau-tau ketiduran.""Alvaro sudah tidur, Sayang.""Ya ampun kalau dia kelaparan bagaimana, A? Ini salahku, harusnya tadi aku langsung suapin dia!"⁰"Hei, sayang, tenanglah! Tidak apa-apa, tadi kan dia sudah makan siang dan makan biskuit, kamu gak perlu khawatir berlebihan. Kalau dia terbangun terus merasa lapar dan minta makan, barulah kau suapi dia ya."Hana mengangguk. "Aa juga pasti lapar kan, habis kerja? Ayo kita makan, A. Sayang kan aku sudah masak, mubadzir kalau dibuang.""Hmmm, boleh tapi aku mau disuapi sama kamu ya!" Hana hanya mengulum senyum dan mengangguk. Mereka berdua akhirnya makan malam bersama. "Maaf A, cuma masak ini aja.""Tidak apa-apa ini sangat
Part 48Mariana membeku, ia shock dengan penuturan Putra. Untuk beberapa jeda ia mengatur napasnya yang terasa sulit. Lalu memandang ke arah sang suami."Apa itu semua benar, Mas?" tanya Mariana pelan tapi menohok.Bambang Wijaya hanya bisa diam seribu bahasa, ia memandang ke arah Putra yang langsung meninggalkan mereka penuh kekesalan."Mas, kenapa diam saja?! Apa itu semua benar?" teriak Mariana.Lagi dan lagi Wijaya masih bergeming."Kenapa kau tidak mau menjawabnya, Mas? Apa semua itu benar?! Jadi kau menyembunyikan hal sebesar ini dariku?! Kamu sudah menipuku! Tega kamu, Mas!!" teriak Mariana lagi. Ia masuk ke dalam kamar dengan perasaan yang hancur berkeping-keping. Melihat istrinya tampak begitu marah, Wijaya pun menghampirinya setelah kembali menutup pintu kamar."Sayang, aku bisa jelaskan--""Jadi benar, kamu itu mantan suaminya Hana?""Eemmh, itu ... ya, dulu kami memang pernah menikah."Bagaikan disambar petir mendengar jawaban sang suami. "Kenapa kamu menyembunyikan hal
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja