Part 49Wijaya tercengang dengan permintaan istrinya. "Sayang, kenapa kamu bilang seperti ini?""Ya, itu karena mamamu bilang Hana mandul. Tapi apakah sebelumnya kalian sudah periksakan masalah kesuburan pada dokter? Apa hasilnya? Benarkah Hana mandul? Kalau iya, kasihan sekali Om Putra. Dia takkan bisa punya anak lagi. Tapi kalau tidak ... aku jadi bertanya-tanya siapa tahu yang mandul itu--"Wijaya menggeleng pelan. "No no no, hal ini tidak perlu dipermasalahkan, Sayang.""Gak perlu dipermasalahkan bagaimana? Aku takut tiba-tiba kau mencampakkanku karena tak bisa memberi keturunan.""Tidak, itu tidak akan terjadi, Sayang. Tolong jangan merajuk. Aku mencintai kamu sampai kapanpun.""Bohong! Buktinya kamu masih lirik-lirik Hana.""Tidak, Sayang ... Sudahlah, mulai sekarang lupakan tentang Hana. Dia hanyalah masa lalu. Kita fokus sama hubungan kita saja."Mariana menatap wajah tampan sang suami. Meski dia mantan suami orang, terlebih pembantunya, tapi ia tak bisa menampik perasaannya se
Part 50Putra mengambil amplop undangan dari Mariana. "Farish mengundangku?" gumamnya. Tapi ia tak segera membuka undangan itu. Menaruhnya begitu saja di atas meja.Sementara itu, Putra mengerutkan keningnya menatap ke arah Reni, meraih dokumen dari tangan kakak perempuannya itu."Apa ini?"Reni justru tersenyum. "Putra, kakak iparmu sedang membutuhkan dana.""Berapa?""10 Milyar saja, Putra.""Buat apa?""Dia sedang butuh modal untuk buka usaha, Putra.""Bukankah sebelumnya sudah ada, lalu?""Usaha itu udah hampir gulung tikar, jadi mau merintis usaha baru lagi."Putra menghela napas panjang. "Ini sudah kali berapa dia seperti ini terus? Kenapa sih Mbak gak bisa tegas?""Putra ....""Mbak, setelah yang sudah-sudah mbak jual aset-aset milik ayah, jual perhiasan milik mbak dan juga almarhum ibu, untuk buka usaha baru lagi tapi hasil tetap nihil. Dan sekarang mbak ingin pinjam uang perusahaan, itu tidak mungkin, karena uang itu untuk operasional perusahaan!""Putra ....""Aku tidak bis
Part 51"Bagaimana penampilanku kali ini, A? Apa sudah pantas menemanimu di pertemuan itu?" tanya Hana yang tengah mematut dirinya di depan cermin. Ia masih memperhatikan baju yang dikenakannya. Sebuah longdress lengan panjang berwarna hitam, yang bertabur payet miyuki juga swarowski di bagian lehernya. Serta ikat pinggang bunga mawar jumbo yang melingkar di pinggang sebelah kiri.Penampilan yang sederhana dari pada dibandingkan dengan yang lain. Tapi bagi Hana, ini adalah penampilan yang paling mewah. "Cantiiik, sangat cantik ...." sahut Putra. Ia yang tengah memasang dasinya sendiri. Ia pun menghampiri ke arah sang istri yang duduk di hadapan meja rias. Putra mengecup pipi sang istri dengan lembut dan hangat. "Kamu terlihat sangat sempurna, Sayangku. Sungguh aku justru takut kalau di pertemuan itu ada yang menginginkanmu."Hana tertawa ringan. "Itu tidak akan terjadi, kan ada suamiku, sang pengusaha tampan!" jawab Hana dengan nada manja.Putra tersenyum. Ia mengecup pipi Hana la
Part 52"Bukan gak adil, Ana. Semua sudah ada takdirnya masing-masing," sahut Putra.Hana tersenyum mendengarnya."Aku senang sekali, ini anugerah dari Allah yang dikirimkan pada kami.""Nah, karena ada kabar paling membahagiakan di sini, kita makan-makan bersama ya!" seru Mahesa. "Putra dan menantuku, untuk malam ini menginaplah dulu di sini," lanjut Mahesa lagi. Ia merasa sangat senang, akan ada anggota baru pada keluarga besarnya."Baiklah, Ayah."Mariana bangkit dari duduknya dan pergi menuju kamar dengan perasaan berkecamuk."Sayang, kamu mau kemana?" tanya Wijaya. Mariana tak menanggapi, jadi terpaksa Wijaya mengejarnya.Braakk! Pintu kamar dibanting dengan kencang. "Mariana, buka pintunya, Sayang ..." Wijaya merajuk.Dengan malas, Mariana membuka pintu, Wijaya segera masuk."Kamu mau ngasih alasan apa lagi, Mas? Hana bisa hamil dengan Omku, itu artinya kamu yang bermasalah!""Tunggu, tunggu, Mariana, tenang dulu!" Wijaya berusaha menenangkan sang istri, tapi kedua tangan Wija
Part 53Pagi-pagi sekali mereka sudah bersiap untuk kembali tinggal di apartemen. "Kalian mau kemana? Pulang ke apartemen?" tanya Mahesa saat mereka berpamitan."Iya, ayah. Sudah tiga hari kami menginap di sini."Mahesa mengangguk, kemudian bangkit dari duduknya. "Jaga anak dan istrimu dengan benar ya! Jangan sakiti mereka.""Tentu, Ayah.""Kalau bisa kamu perketat penjagaan terhadap mereka. Ayah justru takut terjadi sesuatu pada anak dan istrimu. Apalagi kamu sudah mengumumkannya di depan publik. Kau tahu sendiri kan, banyak musuh berkedok rekan bisnis. Banyak musuh dalam selimut."Putra mengangguk. "Iya, Ayah. Aku akan ingat nasehat ayah."Hana tersenyum. "Kami pamit ya, Ayah.""Iya, menantuku. Jaga kehamilanmu dengan baik ya. Titip Alvaro sama Putra. Sadarkan Putra kalau dia sudah mulai salah jalan. Ayah tahu, kamu wanita yang sangat baik.""Baik, Ayah. Terima kasih banyak sudah menerima saya dalam keluarga ini. Saya merasa beruntung sekali.""Ya, ya, ya, tentu saja. Kamu adalah w
Part 54"Tapi, Nak--""Sudah, Ma, cukup! Tidak usah dibahas lagi. Aku capek banget. Aku datang ke sini untuk menenangkan diri. Bukan untuk mendengarkan keluhan mama."Bu Samira menghela napas panjang. Ia juga kecewa pada jawaban anaknya. "Ada masalah apa sih, sekarang kamu kok kusut banget?"Bambang Wijaya masih memijat pelipisnya. "Apa yang harus kukatakan pada Mariana, Ma? Aku takut mereka akan marah padaku.""Ada apalagi ini?""Ini masalah besar, Ma.""Masalah apa? Katakan yang jelas, Bambang Wijaya, jangan bertele-tele.""Tentang kesuburanku, Ma. Aku sudah melakukan test kesuburan sendiri tanpa sepengetahuan Mariana, dan hasilnya ternyata aku gak subur, Ma.""Apaaa? Itu gak mungkin! Mana mungkin anak mama mandul!" pekik Bu Samira kaget."Tapi itu kenyataannya, Ma! Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku menghadapi keluarga mereka. Sementara Mariana juga menuntutku untuk menjalani proses bayi tabung.""Mana surat dari dokter yang menyatakan kesuburanmu? Mama pengen lihat!""Ada di
Part 55"K-kamu sudah tahu?""Ya!" sahut Mariana ketus. Terpancar jelas wajahnya yang tampak begitu kecewa.Wijaya langsung berlutut di hadapan istrinya. "Maafkan aku, Sayang. Aku memang seorang pecundang yang tak mampu mengakui kekuranganku sendiri. Maafkan aku."Mariana masih saja kesal pada suaminya itu. "Mariana sayang, tapi sungguh cinta dalam hatiku hanya untukmu, aku--""Sudahlah Mas, tak perlu merayuku lagi, aku capek!" Mariana beringsut mundur, ia segera menghapus riasan makeupnya dengan pembersih wajah."Sayang ...""Diamlah, Mas! Jangan bicara padaku! Aku lagi benci sama kamu!" serunya.Suasana hening sejenak, kedua insan itu terhanyut dalam pikirannya masing-masing."Untuk sementara kita masing-masing dulu."Wijaya terkesiap mendengar ucapan sang istri. "Apa maksudmu dengan masing-masing, Mariana?""Mas, aku butuh waktu untuk menenangkan hati dan pikiranku dulu. Jadi, aku ingin kau tidak mengajakku bicara.""Sayang. Tapi kan kita ini suami istri--"Mariana mengangkat sebe
Part 56Setelah beberapa saat, rasa mual Hana mulai mereda. Ia bisa memejamkan matanya sejenak. Putra menatap arloji di tangannya, waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB. Atas inisiatifnya sendiri, ia menghubungi adik iparnya, Husna. 'Dia belum berangkat sekolah kan? Aku harus mengobrol dengan ibu dan berkonsultasi padanya.' Batin Putra berbicara sendiri.Panggilan tersambung, tak lama terdengar sapaan suara lembut di seberang telepon."Hallo kakak ipar, ada apa? Gimana kabar teteh? Dia baik-baik saja 'kan?" tanya Husna. "Iya, Dik, semuanya baik-baik saja. Apa ibu ada? Ada yang ingin saya sampaikan.""Ada, tunggu sebentar ya, A.""Iya."Selang beberapa menit terdengar sahutan lembut suara ibu mertuanya."Halo. Ini Nak Putra?""Iya, Bu. Gimana kondisi keluarga, Bu?""Semuanya baik. Gimana dengan kalian? Hana bagaimana?" Ibu balik bertanya."Iya, Bu, kami baik-baik saja. Saya ingin beri tahu kabar gembira untuk ibu.""Kabar apa, Nak?""Hana sedang hamil, Bu.""Waah, beneran, Nak? Si Neng H
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja