Meskipun sangat kesal dengan perbuatan keponakannya, Rafa tak benar-benar marah, walau sempat mengancam akan melemparnya ke kolam. Nyatanya, ia sangat menyayangi putri kakaknya itu dan tak berani menyakiti keponakan satu-satunya.Bocah itu, datang ke mansion tak sekadar membuat jadi rame dan lebih berwarna, tetapi sekaligus menjadi pemegang tahta tertinggi di rumah. Tuan Besar saja sampai takluk pada Alma. Sangat dimanja. Maklum, cucu pertama.Seperti pagi itu, hujan turun cukup deras. Alma masih berselimut di sofa hanya menggelung tubuhnya malas-malasan sambil nonton kartun.Sang bunda tak henti membujuknya agar bersiap ke sekolah, tetapi gadis kecil itu langsung menggeleng keras.“Tidak mau! Hari ini hujan, Bunda. Nanti Alma basah!” teriaknya.“Ke sekolah pakai mobil, terus Alma diantar ke kelas pakai payung. Jadi, tidak basah, Sayang. Ayo, siap-siap, Alma harus sekolah.” Inara masih mencoba bernegosiasi.Namun, Alma
Setelah mendapatkan izin masuk ke ruangan Inara, Damian akhirnya muncul dengan setelan jasnya yang rapi. Aroma parfumnya yang familiar langsung memenuhi ruangan. Walau sudah berpisah, Inara tidak lupa, wangi parfum itu favoritnya, sampai-sampai tak segan gelendotan pada Damian. Suka sekali dengan wanginya.Hanya saja, sekarang situasinya sudah berbeda. Inara menggeleng pelan, tetap fokus pada laptopnya. Tanpa sadar kalau Damian sudah berdiri di depan mejanya, mengamati ruangan itu sebentar sebelum akhirnya menatap Inara.“Inara,” Suaranya berat, tetapi tetap lembut. Inara mengangkat kepala sebentar, ekspresinya tetap datar, lalu menunjuk kursi di depannya. “Silakan duduk.”Damian menghela napas pelan sebelum duduk. Matanya terus memerhatikan wajah yang selalu mencintainya, tetapi itu dulu.Saat Inara sibuk, lebih tepatnya pura-pura sibuk membuka beberapa dokumen, Damian memperhatikan sekeliling ruangan. Pandangannya k
Kesal, iya. Namun, Rafa tidak bisa marah dengan pertanyaan Alma yang baru saja menjungkirbalikkan harga dirinya. Keponakannya itu terlalu polos untuk dimarahi.Dia memijat pelipis begitu mereka tiba di ruangan. Mau menyesal karena membawa Alma ke kantornya, tetapi dari tadi dia tak mau bocah itu ikut. Alma yang ngotot sehingga membuatnya tak bisa menolak.Sekarang, hidupnya benar-benar tidak tenang dengan kehadiran Alma di sini.Rafa menarik napas panjang dan menunjuk kursinya yang besar. “Karena hari ini kamu jadi sekretarisnya Om, jadi kamu duduk di sini.”Mata Alma berbinar senang, lalu memanjat kursi dengan semangat. Begitu duduk, ia bersandar seperti bos besar.Rafa mencondongkan tubuh, berusaha memberikan arahan pada Alma. Jaga-jaga biar bocah itu tak melakukan hal-hal yang membuatnya seperti tidak ada wibawanya selayaknya bos.“Dengerin baik-baik. Alma jangan nakal. Jangan ganggu Om Afa kerja. Jangan lompat-lompat dari kur
Lama Alma menunggu, tetapi sang paman tak kunjung muncul. Akhirnya, ia turun dari kursi. Melangkah keluar.Dia menelusuri lorong kantor, mencari-cari Rafa. Hingga, beberapa saat kemudian, pandangannya menangkap sosok familiar di dalam sebuah ruangan. “Om Afa!” Alma tersenyum lebar. Akhirnya, ia menemukan Rafa.Langkah kecilnya pun mendekat, mengintip dari balik pintu kaca, lalu mendorong pintunya pelan-pelan dan menyelip masuk tanpa suara.Rafa sedang serius berdiskusi dengan rekan kerjanya ketika tangan kecil tiba-tiba menarik lengan bajunya.“Om Afa, Alma lapar,” bisiknya dengan wajah memelas.Rafa kasihan melihat raut wajah keponakannya. Sedikit merasa bersalah karena lupa menyimpan makanan untuk Alma. Namun, ia tetap fokus pada presentasi agar cepat selesai. Alma mengedip-kedipkan mata, berpikir, lalu mencoba strategi baru.“Om Afa, kalau aku diem, dapat uang jajan tambahan, enggak?”Rafa mengerja
Pagi itu, Alma duduk di tepi tempat tidur dengan kaki kecilnya menggantung. Dia sudah rapi, tinggal menunggu Sus Liana memasangkan kaus kaki putih berenda. Sambil memperhatikan gerakan susternya yang mulai memakaikan kaus kakinya, Alma tiba-tiba bertanya, “Sus ... Suster punya suami, enggak?”Suster Liana terkejut. Tangannya yang sedang merapikan kaus kaki Alma sedikit terhenti. Ia mendongak, menatap gadis kecil itu dengan dahi berkerut.Anak sekecil Alma, mengapa menanyakan hal semacam itu?“Suami Sus sudah meninggal karena kecelakaan,” jawabnya pelan. “Memangnya kenapa Alma nanya begitu?”Alma mengayun-ayunkan kakinya sebentar sebelum akhirnya menopang wajah dengan tangan kecilnya. “Bukan apa-apa, Sus. Memangnya suami dan istri itu tinggalnya pisah-pisah, ya?”Suster Liana terdiam. Mencoba mencerna arah pembicaraan Alma. “Kok, Bunda sama Papa tinggalnya pisah-pisah?” lanjut Alma dengan nada polos, kepalanya menoleh k
Wanita itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menggeleng pelan, mempererat pelukannya pada Inara. “Kamu ini bicara apa?” tanyanya lembut. “Semenjak kamu masuk ke keluarga kami, kamu itu sudah kami anggap seperti anak sendiri. Sama seperti Damian.”Ia menarik diri sedikit, menatap Inara penuh ketulusan. “Kamu dan Alma tetap keluarga kami, mau bagaimanapun keadaannya. Urusanmu dengan Damian, kami tidak mau ikut campur. Kamu juga boleh datang ke Yogyakarta kapan pun kalian mau. Pintu rumah selalu terbuka untukmu dan Alma.”Air mata Inara yang sempat terhenti, akhirnya jatuh lagi. Namun, ia tetap memaksakan senyum, meski hatinya dihimpit oleh sesak. Merasa sangat beruntung memiliki mereka sebagai mertua. Namun, soal suami, keberuntungan sudah tak berpihak padanya. Namun, setidaknya, ia juga pernah bahagia bersama Damian, walau harus hancur karena orang ketiga.“Pasti, Bu.” Inara melirih. “Nanti kalau ada waktu, aku bawa Alma jalan-
Langit cerah membentang luas di atas pantai. Gemuruh ombak bergulung berpadu dengan tawa riang pengunjung yang sedang menikmati liburan akhir pekan.Di antara keramaian itu, Alma dengan semangat berlarian di atas pasir. Inara dan Damian mengawasi dari kejauhan. Tanpa pembicaraan. Sesekali, Damian melirik Inara di sebelahnya. “Papa! Bunda! Cepat sini!” seru Alma sambil melompat-lompat di tepi pantai, melambaikan tangan kecilnya pada mereka.Fokus Damian jadi teralihkan. Keduanya gegas menghampiri Alma. Berjalan berdampingan, selayaknya pasangan yang menikmati hari bersama anak mereka. Keduanya seolah lupa kenyataan kalau dunia mereka tak lagi utuh.“Hati-hati, Sayang. Nanti jatuh!” teriak Inara saat melihat ombak menggulung membasahi kaki kecil Alma. Namun, jauh di lubuk hati, ia tak bisa menyembunyikan senyum bahagia melihat sang putri tampak sangat bahagia.“Bunda, Papa, sini pegang tanganku! Alma mau lompat pas ombak datang!” Alma mena
Inara tersentak ketika wajah Damian kian dekat, begitu sorot matanya yang terasa intens dan panas itu tertuju pada bibirnya seakan hendak menaklukkan sesuatu yang dulu pernah menjadi miliknya.Astaga, ini salah! Inara menggeleng kuat-kuat, dengan cepat mendorong wajah Damian agar menjauh, lantas bangkit dari atas tubuh mantan suaminya itu. Gegas, ia menjauh sambil pura-pura sibuk membersihkan pasir dari tubuhnya. Nyatanya, ia sedang salah tingkah brutal.Di sisi lain, Alma menganggap insiden yang terjadi pada orang tuanya itu cukup mesra, seperti yang sering dilihatnya di TV ketika ia ikut nonton film bersama omanya di mansion.Bocah itu menyipitkan mata nakalnya. “Cie, ciee!” Papa dan Bunda romantis banget kayak di film-film.”Damian terkekeh santai, sama sekali tidak menyangkal. Ia sangat senang dengan insiden itu. Berbeda dengan Inara yang hanya bisa mendengus kesal. Pipinya terasa panas, tetapi matanya tetap tajam melototi
Mendengar pertanyaan papanya, Alma terlihat berpikir keras. Dahinya mengerut lucu, bibirnya yang penuh bumbu keripik sedikit manyun.“Yang mana, Papa?” tanyanya sambil memiringkan kepala. “Alma ngomongnya kan banyak. Jadi, Alma enggak ingat semua.”Damian terkekeh pelan. Benar juga, Alma bicara tidak hanya sekali dua kali waktu itu. Mungkin, dia juga lupa apa yang akan dikatakan?Hanya saja, Papa Alma itu tidak menyerah begitu saja, tetap mencoba memancing ingatan sang putri. “Waktu itu, Alma bilang kalau Om Daffa enggak sebaik Papa. Terus, Alma mau bilang sesuatu lagi, tapi keburu dipanggil Bunda.”Jari telunjuk mungil itu mengetuk-ngetuk pada dagunya. Terlihat seperti sedang mengingat-ingat.“Alma bilang, Alma pernah .... Pernah apa?” tanya Damian lagi. Sangat berharap Alma masih mengingat ucapannya kala itu.“Ohhh.” Alma akhirnya berseru. “Yang itu, ya .…”Damian mengangguk. Tak bisa menutupi rasa senangnya. “Iya, yan
Begitu masuk mobil, Inara membanting pintu sedikit keras sambil menghela napas panjang, menatap ke luar jendela dengan tangan mengepal kuat. “Apa dia pikir aku akan semudah itu percaya omongan dia?” gumamnya kesal. “Seolah-olah aku enggak bisa bedain mana yang tulus dan mana yang cuma akting.”“Apa dia tidak berkaca? Melihat dirinya yang menghamili mantan kekasihnya?”Suasana hati Inara benar-benar berantakan sekarang. Damian sudah lewat batas. Menuduh tanpa bukti, seolah-olah Inara tidak punya otak untuk menilai sendiri.Ketika mobil melaju, tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari Daffa. Dengan enggan, Inara menekan tombol untuk menjawab.“Halo, Kak?”“Ra, kata resepsionis tadi kamu ke kantor?” tanya Daffa di seberang. Suaranya terdengar sedikit panik.Sambil menatap pada jalanan siang itu, Inara menjawab datar. “Hm. Aku titip makan siang buat kamu ke resepsionis. Soalnya, katanya kamu tidak di kantor.”
“Pak, kami melihat Selena dijemput seseorang tidak jauh dari kafe yang Bapak maksud tadi.”Pesan orang kepercayaannya itu membuat Damian duduk tegak. Senang, mulai ada titik terang.“Seseorang? Apa kamu mengenalnya?” balas Damian cepat. “Kami tidak bisa mengenalinya, Pak. Orang itu memakai topi dan masker. Kami sudah coba ikuti. Sayangnya, kami kehilangan jejak di jalan. Mohon maaf, Pak.”Damian berdecak kesal. Harapannya akan kecurigaan pada Selena terjawab, pupus lagi.“Baiklah, tetap awasi dan cari tau pria itu. Lain kali kita harus susun rencana yang lebih terstruktur,” katanya.Damian bangkit dari kursi kebesarannya. Keluar dari ruangan, bahkan kantor. Menuju restoran untuk sekadar menenangkan kepala yang terlalu banyak isinya itu.Terlihat, Andrew dengan setia mengikuti ke mana sang atasan pergi. Damian mulai menyentuh gelas kopi yang masih penuh. Namun, belum sempat meminumnya, pandangannya tak sengaja
Penasaran dengan siapa Selena bertemu di kafe itu, selama meeting, Damian sesekali menyapu sekeliling, memeriksa keberadaan wanita itu. Namun, tak ada.Hingga selesai meeting, Selena tak kunjung menampakkan diri di sana. Namun, hal itu tak membuat Damian lengah. Ia sangat yakin tadi melihat Selena masuk ke kafe. Dan, hari kecilnya juga mengatakan kalau wanita itu akan bertemu seseorang di sini. Seseorang itu yang ingin Damian tahu dan ada urusan apa?Kini, pria itu masih duduk di dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari kafe. Pandangannya tak lepas dari pintu masuk. Barangkali, Selena sebentar lagi akan menunggu. Di samping itu, ia sudah memerintahkan Andrew untuk memeriksa di semua lantai kafe. Mungkin, Selena berada di salah satu lantai.Sayangnya, setelah Andrew kembali, wajahnya justru terlihat gusar.“Gimana?” tanya Damian cepat begitu Andrew naik ke mobil. Pria itu menggeleng. “Tidak ada, Pak. Saya udah cek s
Sementara itu, jauh di rumah Damian sana. Sang pemilik baru saja membuka pintu kamar dan menuruni anak tangga setelah mendapatkan informasi dari ART kalau tamunya sudah tiba.Benar saja, di ruang tamu, terlihat Gilang dan istrinya sudah berada di sana.“Akhirnya keluar juga si pemilik rumah,” goda Gilang sambil menoleh. “Nunggunya masih di batas wajar, kan? Soalnya habis mandi dulu.” Damian mengambil tempat, bergabung dengan sepupunya itu.“Rumah baru kamu keren juga, Dam. Luas, mewah, adem. Kayaknya, aku dan istri kudu punya rumah juga di sekitar sini. Biar kita tetanggaan,” ujar Gilang antusias.“Nanti kita pindah ke sini kalau Damian punya bini, Sayang. Biar aku ada teman ngerumpinya,” sahut Nadira.Tawa Gilang tersembur. Jelas sekali sebuah ejekan halus. “Bisa, bisa. Memangnya rumah segede ini diisi seorang doang, enggak kesepian, Dam?”Damian mengangkat alis tanpa senyum. “Aku udah biasa sendiri.”“Pret!”
Pada akhirnya, Inara tetap pergi, tetapi tidak ditemani Daffa, melainkan bersama asistennya yang sudah Inara anggap sebagai teman.Lagipula, hingga sekarang tunangannya itu tak membalas pesannya untuk sekadar menjelaskan kenapa mendadak kayak menteri saja, susah dihubungi.Keduanya, kini berjalan santai di koridor mall lantai 3. Sesekali tertawa kecil hingga lepas. Ada aja hal lucu yang dibicarakan sampai membahas tren fashion yang terpajang di etalase. Sekarang, Inara sedikit lebih rileks dari sebelumnya.“Udah lama juga baru ngeliat Ibu tertawa lepas gini,” kata Tasya di sela tawa mereka.“Loh, emang kemarin-kemarin tidak?”“Iya, Bu. Wajah Ibu datar saja. Mana minim senyum.”Inara tertawa cekikikan. Kemarin-kemarin beban hidupnya terlalu berat, jadi sedikit banyaknya mempengaruhi senyuman. Ia sedang di fase berdamai dengan kenyataan.“Pokoknya Ibu harus tetap bahagia. Kata orang, akan ada pelangi setelah badai,” kata T
Damian kini berdiri di dekat jendela rumahnya. Tangannya tenggelam pada dua saku celananya. Begitu ia berbalik ke arah pria berseragam security yang menunduk tampak sangat ketakutan di tengah ruang tamu itu, rahangnya langsung mengeras.“Kenapa bisa kamu membiarkan orang asing masuk ke rumah, hah?!” bentaknya membuat pria itu sedikit terlonjak, kemudian menunduk.Tampak jelas ketakutan menghadapi majikannya yang diketahui sedang marah. “Ma—af, Mas. Saya benar-benar minta maaf. Saya kira wanita tadi memang tamu Mas. Dia bilang sudah bikin janji dengan Mas, makanya saya mengizinkan masuk.”Damian menggeleng keras. “Tidak ada yang tau alamat rumah saya di sini. Sekalipun, ada janji. Saya yang akan memberitahumu sendiri. Salahmu, kenapa tidak konfirmasi dulu?!"“Saya salah, Mas. Saya terlalu percaya padanya. Saya janji, kejadian ini tidak akan terulang. Ke depannya, saya akan lebih hati-hati lagi.” Suara sang security itu terdengar penuh sesal. Tubuhn
Mendengar perkataan Selena, Damian terdiam, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Dan, ya ... dia baru sadar sepenuhnya. Diam-diam pergi dari rumah, meninggalkan istrinya yang sedang tertidur karena ia berusaha menjadi bermanfaat untuk orang yang membutuhkannya. Sial!Damian mengusap wajah dengan gusar. Tak mau memperpanjang. “Oh, lupakan kejadian tadi,” katanya pelan, lantas bangkit, mengambil jaket dan kunci mobilnya di atas meja. Tanpa berpamitan, langsung pergi. Tujuannya, pulang ke rumah.Di dalam mobil, tangannya mencengkeram setir dengan keras. Napasnya memburu seolah ia baru saja lari puluhan kilometer. “Kenapa aku sebodoh ini? Kenapa aku bisa sampai tidur di sana?” Dia menyesali diri sambil menggeleng kuat-kuat. Mencoba membuang bayang kejadian yang baru saja terjadi padanya. Itu sesuatu yang buruk baginya.“Inara, maafkan aku.” Suaranya serak. Pandangannya mulai berembun.Walau ia merasa tidak
Damian berdiri kaku. Tatapannya menukik tajam, penuh kemarahan, tak lepas pada wanita yang kini sudah bersandar santai di sofa sambil memainkan ujung piyamanya yang tipis. Jelas, sengaja menggoda Damian.“Kenapa kamu bisa ada di sini, Selena?! Siapa yang kasih kamu masuk?!” Amarah Damian memuncak. Dadanya, bahkan naik turun, tetapi ia tetap menahan diri agar tak bertindak jauh. Entah bagaimana bisa wanita ini tahu alamatnya dan masuk ke rumahnya begitu saja. Tak punya adab sama sekali.Selana tak takut dengan bentakan Damian, justru terkekeh pelan, tanpa beban. “Jangan marah-marah gitu, dong, Mas. Tadi lewat sini, jadi sekalian numpang numpang mandi, kok.” Ia melempar tatapan menggoda ke arah Damian, lalu menepuk sofa di sampingnya. “Security-mu yang kasih kunci. Baik banget, ya?”Damian mencengkeram kepalanya, frustasi. “Sial! Dari mana kamu tau alamatku?”Selena mengangkat bahu. “Rahasia,” ucapnya manja, sebelum bangkit dan berjalan me