Wanita itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya menggeleng pelan, mempererat pelukannya pada Inara.
“Kamu ini bicara apa?” tanyanya lembut. “Semenjak kamu masuk ke keluarga kami, kamu itu sudah kami anggap seperti anak sendiri. Sama seperti Damian.”Ia menarik diri sedikit, menatap Inara penuh ketulusan. “Kamu dan Alma tetap keluarga kami, mau bagaimanapun keadaannya. Urusanmu dengan Damian, kami tidak mau ikut campur. Kamu juga boleh datang ke Yogyakarta kapan pun kalian mau. Pintu rumah selalu terbuka untukmu dan Alma.”Air mata Inara yang sempat terhenti, akhirnya jatuh lagi. Namun, ia tetap memaksakan senyum, meski hatinya dihimpit oleh sesak.Merasa sangat beruntung memiliki mereka sebagai mertua. Namun, soal suami, keberuntungan sudah tak berpihak padanya.Namun, setidaknya, ia juga pernah bahagia bersama Damian, walau harus hancur karena orang ketiga.“Pasti, Bu.” Inara melirih. “Nanti kalau ada waktu, aku bawa Alma jalan-Langit cerah membentang luas di atas pantai. Gemuruh ombak bergulung berpadu dengan tawa riang pengunjung yang sedang menikmati liburan akhir pekan.Di antara keramaian itu, Alma dengan semangat berlarian di atas pasir. Inara dan Damian mengawasi dari kejauhan. Tanpa pembicaraan. Sesekali, Damian melirik Inara di sebelahnya. “Papa! Bunda! Cepat sini!” seru Alma sambil melompat-lompat di tepi pantai, melambaikan tangan kecilnya pada mereka.Fokus Damian jadi teralihkan. Keduanya gegas menghampiri Alma. Berjalan berdampingan, selayaknya pasangan yang menikmati hari bersama anak mereka. Keduanya seolah lupa kenyataan kalau dunia mereka tak lagi utuh.“Hati-hati, Sayang. Nanti jatuh!” teriak Inara saat melihat ombak menggulung membasahi kaki kecil Alma. Namun, jauh di lubuk hati, ia tak bisa menyembunyikan senyum bahagia melihat sang putri tampak sangat bahagia.“Bunda, Papa, sini pegang tanganku! Alma mau lompat pas ombak datang!” Alma mena
Inara tersentak ketika wajah Damian kian dekat, begitu sorot matanya yang terasa intens dan panas itu tertuju pada bibirnya seakan hendak menaklukkan sesuatu yang dulu pernah menjadi miliknya.Astaga, ini salah! Inara menggeleng kuat-kuat, dengan cepat mendorong wajah Damian agar menjauh, lantas bangkit dari atas tubuh mantan suaminya itu. Gegas, ia menjauh sambil pura-pura sibuk membersihkan pasir dari tubuhnya. Nyatanya, ia sedang salah tingkah brutal.Di sisi lain, Alma menganggap insiden yang terjadi pada orang tuanya itu cukup mesra, seperti yang sering dilihatnya di TV ketika ia ikut nonton film bersama omanya di mansion.Bocah itu menyipitkan mata nakalnya. “Cie, ciee!” Papa dan Bunda romantis banget kayak di film-film.”Damian terkekeh santai, sama sekali tidak menyangkal. Ia sangat senang dengan insiden itu. Berbeda dengan Inara yang hanya bisa mendengus kesal. Pipinya terasa panas, tetapi matanya tetap tajam melototi
Sampai mereka dalam perjalanan pulang, Inara masih tak bisa berpikir jernih. Kepalanya terus terngiang permintaan Alma di pantai tadi yang bahkan BMKG pun tak bisa memprediksinya. Ia bersandar di kursi mobil dengan wajah yang terlihat ditekuk.Punya adek? Permintaan macam apa itu? Dikira prosesnya kayak ngadon donat? Bahkan, kalau hubungan dengan papanya Alma baik-baik saja, Inara tetap tak akan bisa memberikannya dengan mudah. Butuh proses panjang yang hasilnya pun belum tentu berhasil.Damian, yang sedang fokus menyetir, sesekali melirik ke arahnya. Dia tahu persis apa yang ada di pikiran mantan istrinya, tetapi memilih diam. Kalau dia menyinggung hal itu sekarang, Alma pasti kepo ingin tahu segalanya. Tak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di mansion keluarga Inara. Wanita itu melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil. Begitu juga Damian yang buru-buru turun dan membukakan pintu untuk putrinya. “Alma, masuk duluan,
“Inara, ada yang ingin Ayah obrolin sama kamu,” ujar sang ayah begitu mereka kembali ke dalam rumah. Kening Inara mengernyit penuh tanya, terlebih mendengar nada suara ayahnya yang cukup tenang, tetapi terdapat keseriusan di dalamnya. Inara mengangguk pada akhirnya. “Aku akan urus Alma dulu, Yah. Setelah itu baru menemui Ayah.” Gegas, ia melangkah ke kamar putrinya, membantu Alma bersih-bersih. Pulang dari pantai, rambut anak itu malah seperti bunga pasir. Keluar dari kamar Alma, Inara melipir ke kamarnya. Membersihkan diri juga. Baru setelah itu, ia menuju ruang tengah, tempat kedua orang tuanya sudah menunggu. Entah mengapa, perasaannya jadi tak nyaman. Apalagi, melihat ekspresi orang tuanya yang sama-sama serius. Entah hal penting apa yang ingin diobrolin? Langsung saja, Inara mengambil tempat di sofa yang berhadapan dengan Ayah ibunya. “Ada apa, Yah?” tanyanya pelan. Ayah mengambil napas barang beberapa saat, lalu bertanya, “Tadi kamu pergi bersama Damian?” Terdiam.
Hati Inara mencelos mendengar kalimat itu. Dengan lembut, ia mengusap punggung putrinya, lalu mengeratkan pelukan, mencoba memberikan ketenangan untuk Alma.“Sayang ....” Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. “Bunda minta maaf sama Alma. Bunda tidak pernah bermaksud membuat Alma merasa sedih.”Namun, permintaan maafnya tak bisa menghapus kesedihan bocah itu. Alma justru makin terisak, menenggelamkan wajahnya dalam dekapan sang bunda, seolah tak ingin melepaskannya.“Tapi, Alma sudah sedih, Bunda. Alma sedih karena ternyata Bunda dan Papa sudah berpisah? Alma sudah tidak memiliki orang tua lengkap lagi. Apa kalian sudah tidak sayang sama Alma?”Inara terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang hampir saja jatuh.Dia tahu, sesakit apa pun hatinya, sang putri-lah orang yang paling terluka.Dengan penuh kasih sayang, Inara mengusap kepala Alma. “Bukan begitu, Sayang ....” Bisikannya lirih nan lembut. “
“Ya itu, Ra, orang tua Kita sudah saling mengenal sejak lama. Kamu juga tau itu. Jadi, kita bisa—”“Menikah agar hubungan bisnis mereka makin kuat?” Inara memotong cepat, bahkan sebelum Daffa menyelesaikan kalimatnya. Dia tertawa kecil, menatap Daffa dengan sinis. Senyumnya bengis, seolah tak habis pikir. “Kak Daffa setuju dengan pernikahan bisnis?”“Bukankah itu sudah menjadi hal lumrah di kalangan para pengusaha?” tanya Daffa hati-hati. Sangat menjaga agar Inara tak tersinggung. Ia tahu jelas, Inara adalah salah satu dari sebagian anak pengusaha dan penguasa yang menentang perjodohan sesama anak pengusaha. Sayangnya, karena Inara sudah tersinggung. Tangannya mengepal di bawah meja. Semula dipikir, Daffa itu berbeda dari keluarganya, makanya hingga di usia menginjak kepala 3 belum menikah karena mungkin tidak ingin dijodohkan. Nyatanya, dia sama saja.Kepala mereka hanya diisi dengan bisnis, yang penting menguntungkan kubu mereka.
Begitu sambungan video call dengan Alma berakhir, Damian langsung terdiam di kursinya. Tangan kanannya mengepal erat di atas meja, sementara rahangnya mengeras. Sedikit tidak percaya apa yang baru saja didengar daei putrinya.Inara akan menikah lagi. Dan, otomatis Alma akan memiliki papa baru?Kepalanya berdenyut. Secepat itukah Inara memutuskan untuk mengakhiri kesendirian? Apa ia begitu kesepian sampai terlalu buru-buru mengambil keputusan?Apa jangan-jangan, semua ini gara-gara orang tuanya? Mungkin, Inara mengadu soal keinginan Alma yang ingin punya adik, lalu mereka menekan Inara agar menikah lagi.Ah, sial! Pikiran pria itu semakin kacau.Punggungnya ditegakkan, lalu mengusap wajah dengan gusar. Bayangan pria lain yang akan menggantikan posisinya di sisi Alma membuat dadanya terasa sesak.Ia tak mungkin membiarkan itu terjadi begitu saja. Bagaimana kalau lelaki itu tidak bisa menyayangi Alma seperti dirinya?
Malam itu, Inara berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang redup. Matanya enggan terpejam meski sudah sedari tadi ia miring kanan, miring kiri, mencari posisi terbaik agar bisa tidur. Kepalanya masih dipenuhi oleh kata-kata Daffa tadi pagi. “Iya, aku mencintaimu, bahkan sebelum Damian mencintaimu.”Inara menggeleng. Bagaimana bisa Daffa mencintainya? Pria itu tak pernah mengatakan soal perasaannya, bahkan untuk sinyal suka padanya ....Ingatan Inara seketika kembali ke masa lalu—masa putih abu-abu mereka yang masih tersimpan rapi dalam bingkai kenangan.Hari itu, hujan turun cukup deras saat pulang sekolah. Inara menatap halaman sekolah dari koridor lantai dua sambil sesekali menghela napas. Ia lupa membawa payung. Jadi, terpaksa menunggu hujan reda, meski mungkin akan lama, daripada basah-basahan. Nanti yang ada malah sakit.Baru saja hendak kembali ke kelas, suara seseorang menghentikan langkahnya.
“Om! Berhenti! Berhenti!” Alma tiba-tiba berteriak dari jok belakang mobil.Sebab, teriakan nan melengking itu membuat Dodi yang menyetir langsung ngerem mendadak. Jidat Jalu sampai kejedot Dashboard dan kepala Alma bertabrakan dengan kursi Jalu.“Astaga, ini bocah! Kenapa, sih, pake teriak-teriak segala? Kamu pikir ini angkot, hah?!” serunya kesal, tetapi juga terlihat panik. Gara-gara Alma yang berteriak sembarangan, kendaraan lain di belakang membunyikan klakson, bahkan ada yang nyaris menabrak pantat mobil.Jalu mengusap jidat sambil menoleh pada Alma. “Ada apa lagi, Alma?”Alma menggigit bibir bawahnya, lalu menatap keduanya bergantian dengan wajah memelas. “Alma ... mau pipis,” katanya akhirnya.Dodi menepuk jidatnya keras-keras. “Astaga, bocah lukcnut! Dari tadi diem, giliran jauh dari rest area baru ngomong!” keluhnya. Entah berapa tingkat lagi stok kesabarannya menghadapi Alma.“Ya kan, tadi belum kerasa, Om. S
Deru mobil berhenti mendadak di depan gerbang sekolah. Andrew buru-buru turun dan membuka pintu untuk sang atasan. Damian turun lebih dulu, walau kakinya masih sedikit sakit, ia tetap siaga menyambut Inara turun dari mobilnya. Dia kasihan, wajah wanita itu pucat. Matanya sembap, bahkan tubuhnya sangat lemas seolah jiwanya ikut melayang bersama hilangnya sang putri.Mereka berganung dengan Arvin, Genta, Suster Liana, dan yang lainnya yang lebih dulu tiba.Melihat kedatangan Inara, guru Alma terlihat sangat gelisah. Wajahnya memdadak pucat.“Bu Inara, saya mohon maaf … saya benar-benar tidak menyangka kalau kejadiannya bakal seperti itu.” Suara wanita itu terdengar berat. “Orang itu bilang utusan papanya Alma, terus Alma percaya saja, dan saya pikir Alma mengenalnya. Tidak taunya malah seperti ini. Saya sangat bersalah dan menyesal, Bu. Saya tidak teliti.”Inara menunduk, tak bisa berkata-kata. Lututnya lemas. Damian refleks menopangnya, m
Mobil hitam yang membawa tubuh kecil Alma itu melaju cepat membelah teriknya matahari siang.Sesekali, bocah perempuan itu menoleh ke kiri dan ke kanan, memperhatikan jalanan yang makin asing dalam pandangannya. Alis kecilnya bertaut seketika, setidaknya ada rasa takut yang tiba-tiba muncul di hatinya.“Om!” panggilnya pelan. Dia mulai menggeser posisinya ke dekat jendela. Berusaha memastikan ada lokasi yang mungkin diketahuinya, tetapi nihil. Akhirnya, ia pun memberanikan diri bertanya pada dua pria yang duduk di depan. “Kita mau ke mana, sih? Ini bukan jalan ke rumah Papa … apalagi ke kantor Papa, kantor Papa mah deket toko roti yang enak itu.”Pria yang duduk di kursi penumpang depan melirik ke belakang. “Mau ketemu Papa kamu, Alma. Sabar, dong. Sebentar lagi kita sampai.”Alma cemberut, matanya menyipit curiga. “Tapi, Papa tidak pernah lewat jalan begini. Ini mah bukan jalan pulang. Om bohong ya sama Alma?” “Jangan-jangan .
Tanpa pikir panjang, Inara langsung menelepon Daffa. Curiga kalau pria itu yang sengaja balas dendam padanya menggunakan Alma.Tidak butuh waktu lama hingga panggilan itu terhubung.“Inara?” Suara Daffa terdengar di seberang. Agak terkejut, tetapi juga sangat senang. Suaranya sangat lembut ketika berkata, “Akhirnya kamu mau bicara denganku juga. Aku pikir kita bisa obrolin baik-baik soal kejadian kemarin. Aku—”“Aku menelepon pun bukan untuk itu, Kak Daffa!” potong Inara tegas. Muak sekali mendengar pembelaan diri Daffa yang seolah-olah sangat percaya diri tidak bersalah.“Tolong katakan padaku di mana kamu bawa Alma?” tanya Inara tanpa ingin basa-basi.Sejenak, Daffa terdiam di seberang. Berusaha mencerna pertanyaan Inara.“Apa maksudmu?” tanyanya bingung. “Inara, aku tidak mengerti. Memangnya Alma ke mana? Kenapa kamu malah bertanya ke aku?”“Jangan bohong!” bentak Inara. “Aku tau kita ada masalah, Kak Daffa. Tapi, tol
Pria itu tersenyum tipis, walau wajah tertutup masker, tetapi terlihat matanya yang menyipit. “Ah, papanya Alma katanya rindu, jadi menyuruh Om untuk jemput Alma. Mau tidak ikut ke rumah Papa?”Alma yang polos pun langsung mengangguk. Lagipula, ia sebenarnya juga ingin bertemu papanya untuk meminta datang ke acara sekolah pekan depan bersama sang bunda. Namun, bundanya belum ada waktu menemani dan juga tidak membolehkan Alma ke rumah sang papa sendiri selama pria itu masih dalam pemulihan, takut merepotkannya dengan kehadiran Alma.“Oke, Om! Alma ikut. Alma pulang, ya, Bu Guru.” Alma mencium tangan wanita itu takzim. “Iya, Alma. Hati-hati, ya.”Sambil melambai-lambai ceria pada Bu Guru, Alma mengikuti langkah pria yang tidak dikenalinya itu ke mobil.Ibu Guru hanya bisa mematung sesaat. Merasa ada yang aneh, tetapi ia cepat-cepat menggeleng. Berusaha berpikir positif dan menganggap tak ada yang salah dari semua ini.Al
Setelah memutuskan hubungan dengan Daffa, Inara berpikir semuanya sudah selesai, ternyata tidak. Bahkan, kini mobil mewah Daffa tampak berhenti di pelataran depan mansion. Pria itu turun dengan tampang percaya diri seolah semuanya baik-baik saja. Ia membawa sebuket bunga lili putih dan paper bag berisi makanan yang dibawah khusus untuk Inara. Bibi Asih, kepala pelayan di keluarga Wardhana itu buru-buru membukakan pintu depan dan menyambut pria yang dikenal sebagai calon suami dari Nona Mudanya itu dengan sedikit membungkuk. “Selamat siang, Tuan Daffa.” “Selamat siang, Bi. Nona Muda ada? Saya ingin bertemu dengannya. Saya sudah menghubunginya, tetapi ponselnya tidak aktif. Saya mencarinya ke kantor, ternyata kata asistennya dia tidak masuk. Apa Inara baik-baik saja?” Bibi Asih menunduk sopan. “Mohon tunggu sebentar. Saya akan menyampaikan pada Nona Muda.” Daffa mengangguk, berjalan perlahan ke r
Seperginya Inara, Daffa kembali ke rumahnya. Rambutnya acak-acakan. Pintu dibanting keras. Dengan napas yang memburu, langsung menyapu meja konsol di dekat pintu. Vas bunga, figura, dan pajangan kristal berjatuhan ke lantai, pecah berkeping-keping.Tangannya gemetar marah saat meraih hiasan lain dan melemparnya ke dinding. “Sialan!” teriaknya sambil terus mengobrak-abrik isi ruangan.Satu per satu benda pecah berserakan. Suara kaca pecah menggema ke seluruh rumah. Dalam waktu singkat, ruang tamu itu berubah menjadi ladang kekacauan menunjukkan ada amarah dan rasa frustrasi yang membara di dada pemiliknya.ART dan beberapa karyawan rumah terkejut berhamburan datang. Mereka berdiri terpaku di ambang ruangan, menunduk ketakutan.Tak lama, Daffa menoleh tajam ke arah mereka, napasnya tersengal dengan mata menyala marah.“Saya sudah bilang, jangan biarkan siapa pun masuk ke rumah ini!” bentaknya sambil menunjuk mereka satu per satu.
Mobil mewah milik Inara itu berhenti perlahan di depan rumah dua lantai yang tampak tak asing dalam pandangan. Keisya melirik pada Inara yang duduk di sebelahnya, wajahnya terlihat tegang juga bertanya-tanya. Kenapa dibawa ke rumah Daffa? “Keisya kenapa kita ke sini? Apa kamu pikir Daffa akan jujur kalau kita bertanya padanya langsung?” Inara tak yakin. Dia mendengus kesal. “Siapa juga yang mau jujur soal keburukannya?” Keisya mengangkat bahu. “Ikut saja.” Langsung keluar dari mobil. Inara walaupun sangat enggan, terpaksa mengikuti. Entah apa yang direncanakan wanita yang mengaku sebagai mantan kekasih calon suaminya itu? Keisya langsung mengetuk pintu dan tak lama seorang ART paruh baya membuka. Begitu melihat mereka, wajahnya tampak berubah, seperti orang panik. “Cari siapa, Non?” tanyanya. “Kak Daffa ada, Bi?” tanya Inara. “Maaf, Non ... tapi, sekarang Tuan Daf
Pada akhirnya, Inara berusaha menepis keraguan dan memutuskan pergi ke lokasi yang dikirimkan orang tersebut. Siapa pun orang ini, Inara berharap dia betul-betul tahu banyak tentang Daffa agar rasa curiga serta praduganya bisa terjawab.Kini ibu dari Alma itu sudah berada di lantai 2 kafe sesuai petunjuk lokasi pertemuan. Tempat ini cukup tenang. Lampu-lampu gantung yang menggantung rendah memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, memantul di permukaan meja kayu dan gelas-gelas yang tertata rapi. Dia memilih duduk di pojok ruangan, membelakangi jendela besar. Pandangannya gelisah menyapu setiap orang yang melintas. Sayangnya, dia tidak tahu seperti apa rupa orang itu sehingga sulit baginya untuk mengenalinya. Dan, hingga kini belum ada satu pun orang yang menghampirinya.Ia melirik jam di ponsel, lalu kembali membuka pesan dari nomor misterius itu. Wajahnya tegang dengan segala persepsi buruk yang tiba-tiba menyerang kepalanya.Bagaim