Mendengar pertanyaan papanya, Alma terlihat berpikir keras. Dahinya mengerut lucu, bibirnya yang penuh bumbu keripik sedikit manyun.
“Yang mana, Papa?” tanyanya sambil memiringkan kepala. “Alma ngomongnya kan banyak. Jadi, Alma enggak ingat semua.”Damian terkekeh pelan. Benar juga, Alma bicara tidak hanya sekali dua kali waktu itu. Mungkin, dia juga lupa apa yang akan dikatakan?Hanya saja, Papa Alma itu tidak menyerah begitu saja, tetap mencoba memancing ingatan sang putri. “Waktu itu, Alma bilang kalau Om Daffa enggak sebaik Papa. Terus, Alma mau bilang sesuatu lagi, tapi keburu dipanggil Bunda.”Jari telunjuk mungil itu mengetuk-ngetuk pada dagunya. Terlihat seperti sedang mengingat-ingat.“Alma bilang, Alma pernah .... Pernah apa?” tanya Damian lagi. Sangat berharap Alma masih mengingat ucapannya kala itu.“Ohhh.” Alma akhirnya berseru. “Yang itu, ya .…”Damian mengangguk. Tak bisa menutupi rasa senangnya. “Iya, yanSetelah memastikan Alma terlelap di kamar berwarna serba pink itu, Damian pelan-pelan keluar dari sana dan menutup pintu dengan sangat hati-hati agar Alma tidak terbangun.Berjalan menuju ruang tamu rumahnya di lantai bawah. Di sana, sudah ada sekretarisnya bersama tiga orang kepercayaannya yang duduk menunggu dengan ekspresi serius.Mereka berdiri begitu melihat Damian datang.“Pak Damian,” ucap Arvin, pria bertubuh tegap yang selama ini dipercaya untuk menjadi tim investigasinya.“Duduk saja.” Damian memberi isyarat sambil mengambil tempat. “Maaf ... harus ganti lokasi. Soalnya, putri saya datang ke rumah. Saya tidak bisa meninggalkannya sendiri.”“Tidak masalah, Pak, kami mengerti. Justru, di sini lebih aman,” ujar Genta, pria berkacamata yang ahli di bidang IT itu.“Baik, terima kasih pengertiannya. Apa permintaan saya sudah ada perkembangan?” tanya Damian langsung. Suaranya rendah dan penuh harapan.“Saya pribadi mi
Berbeda dengan Inara, Damian pagi ini duduk bersebelahan dengan putrinya di meja makan. Siap menyantap sarapan yang aroma lezatnya sudah menguar memenuhi ruangan.Gadis kecil yang mengenakan piyama bergambar panda itu menggoyang-goyangkan kaki yang tak sampai ke lantai dengan wajah ceria.“Papa, nanti Alma boleh nginap di sini lagi, kan?” tanyanya kemudian, seraya menyeruput susu hingga membekas di bibir mungilnya.Damian menoleh, senyumnya langsung mengembang. “Boleh banget, Sayang.” Mengusap lembut kepala sang putri. “Ini juga rumah Alma. Kapan pun kalau Alma mau datang, Papa malah senang banget.”Mata Alma langsung berbinar. “Yey! Aku suka banget di sini, Papa. Kamar Alma lucu. Alma juga senang dimasakin Papa karena masakan Papa enak, enggak kalah dari masakan Bunda.”Damian tertawa kecil, seraya mencubit gemes pipi Alma. “Kalau Alma suka masakan Papa, kapan-kapan kita masak bareng. Papa bisa ajarin bikin pancake bentuk hati.”
Pagi itu, Inara duduk di ruang konferensi dengan beberapa divisi kreatif dan pemasaran. Ia memimpin meeting mingguan, membahas peluncuran kampanye terbaru produk fashion perusahaannya yang akan dipasarkan lewat media sosial dan pop-up booth di mall kelas atas. Suasana rapat berlangsung cukup lancar. Inara tampak fokus, meski sebenarnya pikirannya masih samar-samar terpecah oleh kejadian di telepon tadi pagi. Dia mencatat beberapa poin, memberikan arahan kreatif, dan menekankan pentingnya story telling visual dalam campaign kali ini. Walau terlihat profesional di luar, tetapi jika diperhatikan lebih dalam, mata wanita itu sesekali menerawang kosong. Begitu rapat telah usai, dia langsung menuju ruangan. Duduk di kursi kebesarannya sambil memijat kening. Tak lama, Tasya menghampirinya dengan membawa tabletnya. “Bu, untuk jam 3 nanti, ada meeting lanjutan dengan pihak visual production dari agensi luar di restoran, sesuai request mereka.” Inara mengangguk pelan. “Oke. Pastikan
Tiba di rumah sakit, Damian langsung ditangani dokter. Tangannya dibalut perban tipis di bagian siku dan lengan. Sedang kaki kirinya dibalir perban cokelat. Dokter bilang hanya keseleo berat, tetapi tetap butuh waktu untuk sembuh total. Inara berdiri memperhatikan Damian yang tampak menahan nyeri setiap kali bergeser sedikit. Hatinya langsung cemas, juga merasa sangat bersalah. Damian terluka karena menolongnya. Tak lama kemudian, pintu ruangan yang memang terbuka sedikit kini terbuka lebar ketika seorang anak kecil mendorongnya sekuat tenaga. “Papa!” Alma berlari kecil dengan langkah terburu, tak mempedulikan suara larangan dari susternya yang hendak menghalangi. “Nona Muda, maaf banget tidak bisa menghalangi Alma ke sini. Tadinya mau saya bawa ke rumah papanya biar menunggu di sana sesuai instruksi Nona Muda, tapi dia nangis kejer, ngotot mau ke rumah sakit. Terpaksa saya bawa ke sini,” bisi
Kehadiran Inara di sisinya membuat Damian merasa seperti mengulang masa lalu. Seperti yang dikatakan sebelumnya, ia ingin sakit saja jika sakit membuat Inara berada di sisinya.Dia tak ingin waktu cepat-cepat berlalu dan membawa Inara pergi lagi darinya. Suasana hening yang penuh kecanggungan itu tiba-tiba terusik suara ponsel Inara yang berbunyi di atas nakas.Wanita yang saat ini sedang membantu Damian memakai bajunya, lalu mengambil ponsel, melihat nama penelepon beberapa saat. Damian yang kesal juga penasaran siapa yang menganggu momennya, ikut mengintip. Dan, seketika itu raut wajahnya langsung berubah saat tahu yang menelepon adalah Daffa.Namun, Damian cepat-cepat menipis perasaan tak sukanya. Bagaimanapun, Daffa adalah calon suami Inara, yang jelas akan menggantikan posisinya di samping Inara di masa yang akan datang.Inara berpamitan berbicara di luar. Melangkah ke dekat jendela rumah tak jauh dari meja makan. Di sana,
Inara sempat tertegun dengan pertanyaan Damian, tetapi dengan cepat tersenyum kecil seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Tidak. Tadi, dia hanya tanya aku sibuk atau tidak malam ini,” katanya berbohong. Damian hanya mengangguk kecil. Tentu saja tidak percaya sepenuhnya dengan jawaban itu. Terlebih, dia merasa tatapan Inara terlihat seperti ada tekanan yang berusaha disembunyikan. “Oh, iya, Mas. Udah malam, aku dan Alma pulang dulu. Kamu tidak apa-apa ditinggal?” tanya Inara. “Tidak apa-apa, Ra. Ada Bibi. Dan, sebentar lagi Andrew dan sepupuku datang. Andaipun, aku menahanmu tetap di sini, kami pasti keberatan,” kekeh Damian sambil tersenyum kecil menggoda Inara. “Hm. Obatmu aku berikan ke Bibi. Sudah aku jelaskan juga penggunaannya.” Inara bangkit, mengambil gelas bekas minum Damian dan menyimpannya ke tempat cucian piring. “Kamu jangan banyak gerak dulu. Kalau bisa, besok tidak usah ke kantor dulu.” “Hm. Terima kasih sudah peduli padaku,” lirih Damian. “Jangan katakan itu.
“Inara, apa maksudmu? Kamu menuduhku?” Daffa memasang ekspresi memelas. Tatapannya seperti korban salah sasaran.“Kamu tersinggung?” Inara menyipitkan mata. Berusaha menahan emosi yang mulai naik ke ubun-ubun. “Lucu. Biasanya yang paling defensif itu justru yang paling bersalah.”Daffa menggeleng cepat, seolah tak percaya mendengar tuduhan itu keluar dari bibir Inara. “Aku tidak mungkin melakukan itu padamu, Inara. Kamu tau kalau aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini.”“Benarkah?” Inara tersenyum miris. Tidak merasa tersentuh. Melangkah lebih dekat. Tatapannya lurus menukik ke arah mata Daffa. Suaranya kini terdengar bergetar, tetap bukan karena ragu, melainkan karena hatinya mulai penuh sesak. “Jadi, yang duduk berdua di kafe kemarin itu bukan kamu? Duduk saling menatap penuh senyum, seperti pasangan yang sedang jatuh cinta?”Daffa terdiam. Matanya berkedip beberapa kali, bahkan ia langsung
“Inara, Nak Daffa pria baik, Nak. Dia melakukan ini karena mengkhawatirkanmu sebagai calon istrinya.” Sang Ibu ikut angkat bicara. Dengan lembut mencoba memberikan pengertian untuk Inara. “Dengan bertemu Damian, dia mungkin takut kamu berubah pikiran.”“Khawatir, sampai-sampai menuduhku selingkuh? Baru begini saja, dia sudah seenaknya menuduhku. Bagaimana nanti kalau kami sudah menikah?” Inara tersenyum bengis. Merasa hidupnya terlalu miris. Berharap kata-kata badai pasti berlalu berlaku padanya, ternyata setelah berlalu, malah terbit badai baru. Memang benar, berlalu. Berlalu-lalang. Sekarang, ia justru meragukan keputusannya menikah lagi.“Menjawab terus kamu, ya!” bentak Pak Baskara. Dia menunjuk Inara dengan wajah geram. “Kamu pikir keluarga ini mau menanggung malu kalau sampai media tau kamu mondar-mandir ke rumah mantan suamimu? Sudah benar Nak Daffa tidak membongkar perselingkuhanmu ke publik. Kalau sampai itu terjadi, mau disimpan di mana muka kit
Inara baru saja selesai bersih-bersih setelah hari yang panjang dan melelahkan. Angin malam yang sejuk masuk melalui jendela besar di kamarnya yang masih terbuka.Beberapa saat kemudian, ia memilih duduk di dekat jendela sambil memegang buku, sesekali menatap halaman mansion yang tenang. Dia baru saja membuka buku, hendak mulai membaca ketika tiba-tiba terdengar pintu kamarnya terbuka pelan.Ketika menoleh, ia mendapati gadis kecilnya melangkah mendekat. Dan, langsung memeluk pinggang ibunya erat. Inara menyimpan bukunya. Tak jadi membaca. Langsung mengangkat Alma ke pangkuannya. Mungkin bocah itu rindu bermanja dengannya.“Ada PR tidak?” tanya Inara. “Enggak ada, Bunda, tapi ada kabar seru!” Alma mengatakan itu dengan semangat, membuat Inara tersenyum. Memasang ekspresi serius, seolah siap mendengarkan. “Wah ... kabar apa, Sayang?” tanyanya sambil merapikan rambut Alma ke belakang telinganya.Alma
“Aku sudah mencoba segalanya, bahkan mencari pembelaan netizen dan mencemarkan nama baiknya, tapi Damian bebal! Dia tidak mau bertanggung jawab!” Suara Selena terdengar jelas dari speaker laptop. “Harusnya kamu yang tanggung jawab karena anak ini … anakmu!”Tangan Damian mengepal kuat. Berusaha menekan emosinya. Genta, Arvin, dan Andrew saling pandang, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.Pria di hadapan Selena masih mengenakan masker dan topi yang nyaris tidak memperlihatkan matanya hingga wajahnya sangat sulit dikenali. Dia mendengus kasar.“Kamu jangan sembarangan! Aku sudah bilang tidak akan menikahimu! Kamu tau aku melakukannya karena tidak sengaja, kan?!” tegas sang pria. Selena tampak tertegun di sana. Namun, ia tetap menyerah. Tetap memperjuangkan hak anaknya. “Kamu pikir aku melakukannya dengan sengaja? Aku juga tidak menginginkan bayi ini, brengsek! Pokoknya aku tidak mau anak ini lahir tanpa ayah. Atau … aku gu
Damian tak sabar ingin segera mengumpulkan bukti dan mengungkap kebohongan Selena demi mengembalikan nama baiknya.Mereka masih mengobrol, menyusun strategi menyelesaikan masalah ketika ponsel Genta bergetar. Leo memanggil.“Leo menelepon,” ucapnya sambil menatap ke arah Damian seakan meminta persetujuan. “Angkat ... angkat.” Damian memperbaiki posisi duduknya. Berharap Leo membawa kabar baik.Genta menekan tombol loud speaker lebih dulu agar mereka semua mendengarnya sebelum berkata, “Halo?”“Saya sudah di depan apartemen Selena. Namun, belum ada tanda-tanda dia keluar. Keamanan di sini ketat banget, tamu aja harus dijemput penghuni. Jadi, saya tidak bisa masuk ke sana.” Leo melapor dari seberang. Saat ini, memarkir motor sportnya di seberang bangunan megah itu.“Terus awasi di sana. Jangan sampai kita kehilangan jejaknya lagi,” titah Damian.“Siap, Pak. Tempat saya sekarang cukup sepi dan aman untuk mengawasinya, pura
Tiba di kantor, langkah Inara yang baru saja memasuki pintu utama terhenti seketika saat melihat Daffa duduk santai di sofa ruang tamu kantor. Menggenggam secangkir kopi yang sudah tinggal separuh. Begitu melihat kedatangannya, pria itu langsung berdiri. Senyumnya merekah seolah tidak ada masalah yang terjadi. Inara memang balas tersenyum kecil, tetapi hatinya sangat kesal gara-gara Daffa mengadu yang tidak-tidak pada orang tuanya, dia sampai ditampar. “Ra,” sapa Daffa mendekati Inara, “kamu sangat cantik, seperti biasa.” Rafiq yang berdiri di samping Inara langsung mendengus pelan. “Astaga, kamu ini terlalu nganggur apa gimana, Daf? Pagi-pagi sekali sudah datang merayu di kantor kami?” cibirnya dengan nada bercanda. Daffa menoleh dan membalas dengan senyum diplomatis. “Di sini juga penting, Calon Kakak Ipar. Aku mau membahas sesuatu yang penting dengan Inara. Soal pernikahan. Dari kemarin selalu sibuk, jadi jarang sekali bertemu.” “Hm. Ya sudah, kalian bicara berdua dulu saja
Setelah menenangkan Inara serta Alma yang terus menangis, Bu Anastasia kembali ke kamar. Di sana, sudah ada suaminya yang sedang duduk di tepi ranjang dengan wajah murung. Kedua tangannya saling menggenggam, jemarinya terlihat gemetar. Pria yang paling dihormati di kediaman megah itu akhirnya mengangkat kepala ketika menyadari kehadiran istrinya.“Bagaimana keadaan Inara, Bu?” tanyanya cepat. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang amat besar.“Tidak ada yang baik-baik saja,” jawab Bu Anastasia dingin.“Maaf. Aku ... aku kehilangan kendali,” gumam Pak Baskara. “Aku tidak pernah bermaksud menyakiti anakku sendiri.”“Tapi, kamu melakukannya, Mas. Kamu tampar anakmu sendiri, bahkan kamu tidak lihat ada cucumu di sana. Entah sejak kapan, kamu jadi sekejam ini?”Pak Baskara menunduk. “Aku hanya takut. Inara ... terlalu dekat dengan Damian lagi. Kamu tidak mungkin lupa pria itu sudah menyakitinya. Aku tidak mau dia disakiti
“Inara, Nak Daffa pria baik, Nak. Dia melakukan ini karena mengkhawatirkanmu sebagai calon istrinya.” Sang Ibu ikut angkat bicara. Dengan lembut mencoba memberikan pengertian untuk Inara. “Dengan bertemu Damian, dia mungkin takut kamu berubah pikiran.”“Khawatir, sampai-sampai menuduhku selingkuh? Baru begini saja, dia sudah seenaknya menuduhku. Bagaimana nanti kalau kami sudah menikah?” Inara tersenyum bengis. Merasa hidupnya terlalu miris. Berharap kata-kata badai pasti berlalu berlaku padanya, ternyata setelah berlalu, malah terbit badai baru. Memang benar, berlalu. Berlalu-lalang. Sekarang, ia justru meragukan keputusannya menikah lagi.“Menjawab terus kamu, ya!” bentak Pak Baskara. Dia menunjuk Inara dengan wajah geram. “Kamu pikir keluarga ini mau menanggung malu kalau sampai media tau kamu mondar-mandir ke rumah mantan suamimu? Sudah benar Nak Daffa tidak membongkar perselingkuhanmu ke publik. Kalau sampai itu terjadi, mau disimpan di mana muka kit
“Inara, apa maksudmu? Kamu menuduhku?” Daffa memasang ekspresi memelas. Tatapannya seperti korban salah sasaran.“Kamu tersinggung?” Inara menyipitkan mata. Berusaha menahan emosi yang mulai naik ke ubun-ubun. “Lucu. Biasanya yang paling defensif itu justru yang paling bersalah.”Daffa menggeleng cepat, seolah tak percaya mendengar tuduhan itu keluar dari bibir Inara. “Aku tidak mungkin melakukan itu padamu, Inara. Kamu tau kalau aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan ini.”“Benarkah?” Inara tersenyum miris. Tidak merasa tersentuh. Melangkah lebih dekat. Tatapannya lurus menukik ke arah mata Daffa. Suaranya kini terdengar bergetar, tetap bukan karena ragu, melainkan karena hatinya mulai penuh sesak. “Jadi, yang duduk berdua di kafe kemarin itu bukan kamu? Duduk saling menatap penuh senyum, seperti pasangan yang sedang jatuh cinta?”Daffa terdiam. Matanya berkedip beberapa kali, bahkan ia langsung
Inara sempat tertegun dengan pertanyaan Damian, tetapi dengan cepat tersenyum kecil seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Tidak. Tadi, dia hanya tanya aku sibuk atau tidak malam ini,” katanya berbohong. Damian hanya mengangguk kecil. Tentu saja tidak percaya sepenuhnya dengan jawaban itu. Terlebih, dia merasa tatapan Inara terlihat seperti ada tekanan yang berusaha disembunyikan. “Oh, iya, Mas. Udah malam, aku dan Alma pulang dulu. Kamu tidak apa-apa ditinggal?” tanya Inara. “Tidak apa-apa, Ra. Ada Bibi. Dan, sebentar lagi Andrew dan sepupuku datang. Andaipun, aku menahanmu tetap di sini, kami pasti keberatan,” kekeh Damian sambil tersenyum kecil menggoda Inara. “Hm. Obatmu aku berikan ke Bibi. Sudah aku jelaskan juga penggunaannya.” Inara bangkit, mengambil gelas bekas minum Damian dan menyimpannya ke tempat cucian piring. “Kamu jangan banyak gerak dulu. Kalau bisa, besok tidak usah ke kantor dulu.” “Hm. Terima kasih sudah peduli padaku,” lirih Damian. “Jangan katakan itu.
Kehadiran Inara di sisinya membuat Damian merasa seperti mengulang masa lalu. Seperti yang dikatakan sebelumnya, ia ingin sakit saja jika sakit membuat Inara berada di sisinya.Dia tak ingin waktu cepat-cepat berlalu dan membawa Inara pergi lagi darinya. Suasana hening yang penuh kecanggungan itu tiba-tiba terusik suara ponsel Inara yang berbunyi di atas nakas.Wanita yang saat ini sedang membantu Damian memakai bajunya, lalu mengambil ponsel, melihat nama penelepon beberapa saat. Damian yang kesal juga penasaran siapa yang menganggu momennya, ikut mengintip. Dan, seketika itu raut wajahnya langsung berubah saat tahu yang menelepon adalah Daffa.Namun, Damian cepat-cepat menipis perasaan tak sukanya. Bagaimanapun, Daffa adalah calon suami Inara, yang jelas akan menggantikan posisinya di samping Inara di masa yang akan datang.Inara berpamitan berbicara di luar. Melangkah ke dekat jendela rumah tak jauh dari meja makan. Di sana,