Akhir-akhir ini Embun merasa tidak semangat bekerja. Entahlah, mungkin karena Manggala adalah pemilih hotel di mana ia menyambung lidah. Ia sebelumnya begitu mengagumi sosok pemuda tampan nan baik hati itu. Naasnya, ia sudah berdusta padanya. Namun ia harus tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya.Malam itu, sebelum tidur, ia selalu melamun dan memikirkan banyak hal yang terjadi pada hidupnya.Sebuah pertanyaan mencuat di kepalanya. Mengapa pemuda bernama Manggala menyembunyikan identitasnya?“Argh,” gumam Embun menggeram pelan. Ia tidur sembari berguling ke kanan dan ke kiri. Sungguh, ia kesal pada Manggala. Jika ia punya pekerjaan lebih baik dari hotel itu, ia akan resign dan pergi dari sana. Ia tidak sudi bertemu dengan pemuda bernama Manggala.“Dia pikir, aku cewek matre gitu? Seperti di novel-novel, cowoknya pura-pura kaya untuk melihat ketulusan si cewek menerima dia apa adanya. Hum, maaf, aku bahkan tidak tertarik pada pria kaya sekalipun! Semua pria kaya semua sama hany
Di tempat yang berbeda, Manggala merasa gelisah dan tak bisa tidur. Ia pun tengah memikirkan sosok gadis yang akhir-akhir ini selalu muncul dalam kepalanya.Pertemuan di toko alat musik terasa berbeda. Embun terlihat menghindarinya. “Apa dia sudah tahu kalau aku pemilik hotel? Jadi dia gak mau berteman denganku lagi?”Arggh,Manggala duduk dan mengusak rambutnya hingga berantakan. “Seharusnya aku tidak menyembunyikan identitasku. Siapa orang yang mau dibohongi?”Manggala pun duduk lalu menurunkan kakinya untuk melihat sesuatu dari lemari nakas. Diambillah sebuah berkas berisi CV seseorang. Ia pun mulai membuka dan melihat isinya.Seketika Manggala mengernyitkan keningnya terheran-heran tatkala ia melihat CV milik Embun Ganita. Ia mengamati foto Embun yang mengingatkannya pada wajah seseorang. Tapi siapa? Wajahnya tampak familiar. Selama ini Manggala hanya melihat beberapa kali ia membuka masker yang selalu dipakainya. Kemudian ia melirik sebuah frame foto yang berada di atas nakas. Di
Manggala akhirnya mengalah. Ia tidak akan memaksa Embun untuk bicara saat itu. Embun terlihat punya masalah. Ia tidak boleh memaksakan kehendaknya. Embun akan menjauh jika tertekan.Manggala mengangsurkan sapu tangan buat Embun agar bisa mengusap air matanya. Embun pun mengambil uluran sapu tangan darinya. Ia pun menyusut air matanya dan menghentikan tangisannya. “Kalau kau tak enak badan. Kau bisa pulang lebih awal,” imbuh Manggala dengan begitu pengertian. Ia berhati lembut saat berhadapan dengan wanita. Manggala sosok lelaki yang tidak bisa melihat wanita menangis. Jika ia melihat wanita menangis, seakan-akan ia melihat ibunya—yang begitu lembut padanya.Embun pun berusaha menormalkan nafasnya yang sempat sesak akibat menahan tangisan. Namun ia juga memang tak mungkin meneruskan pekerjaannya saat ia dalam kondisi badmood. Ia juga sedang pms banyak. “Pak, tapi kalau aku ijin pulang, gajiku dipotong ya?” tanya Embun masih sadar soal gaji.Manggala menahan tawa kemudian menggeleng.
Manggala dan Pasha saling lirik saat ditanya oleh Mustafa Ali Basalamah. Mereka cukup syok melihat kedatangan pria berhidung bangir itu yang terlihat penuh kharismatik. Jantung mereka seakan copot dari tempatnya. Mereka khawatir jika Ali berpikir macam-macam tentang mereka.“Mereka sedang bermain peran, Dad,” jawab Beryl mewakili ke dua pemuda yang tampak sawan itu. Pria berambut gondrong itu menghampiri ayahnya diikuti Alby di belakangnya. Ali mengerutkan keningnya, menatap Pasha lalu menggelengkan kepalanya. Pria dingin itu berjalan masuk ke dalam rumah tanpa memperpanjang percakapan. Ia baru saja pulang dari kantor perusahaan. Ia merasa letih dan tak sabar ingin merebahkan tubuhnya di atas ranjang.“Malam, anak-anak! Kalian lagi apa? Buat penyamaran? Ayo nanti Tante ajarin! Tante jago menyamar,” seru wanita cantik berambut bergelombang di belakang Ali. Ia adalah Sulis—ibunya Beryl dan Alby. Wanita itu juga memiliki profesi sebagai detektif di sela-sela kegiatannya sebagai dosen d
“Bagaimana kalau yang ini?” Manggala memperlihatkan kemeja miliknya pada Beryl.Beryl dan Pasha sudah sedari pagi mendatangi apartemen milik Manggala. Mereka mengira Manggala sudah siap dan tinggal berangkat. Ternyata, pemuda itu masih bingung memilih kemeja tak seperti biasanya. Padahal ia selalu bersikap biasa saja saat akan bertemu klien. Namun hari itu Manggala tampak seperti seorang perawan yang akan pertama kali ikut kencan.“Gala, perasaan yang seharusnya rempong itu Pasha. Secara Pasha yang punya hajat. Ini malah lo yang sok rempong? Emang lo mau ketemu siapa sih?” beo Beryl namun tatapannya terpacak pada Pasha yang menahan tawa.Mengabaikan mereka, Manggala masih mematut di depan cermin, mencoba kemejanya beberapa kali.Kesal melihat tingkah Manggala, Beryl mendesah pelan kemudian bersungut-sungut, “Gue cabut! Gue banyak kerjaan! Ini juga sudah ijin sama Daddy. You know, kalau gak nurut sama Daddy siap-siap gue dipukul tongkat bisbol. Kalau gue sakit, lo mau tanggung jawab?
Waktu audisi selesai pukul sepuluh malam, tidak sesuai dengan rencana sebelumnya pukul sembilan malam. Hasil audisi akan diumumkan besok lewat akun media sosial. Sekolah musik tersebut akan mengadakan seleksi untuk ke dua kalinya. Saat ini mereka hanya akan merekrut lima puluh orang terbaik dari seluruh peserta yang mengikuti audisi tersebut.Alby mendengus pelan, ia ingin sekali memanggil gadis bernama Embun dan mengobrol dengannya, namun waktunya tidak memungkinkan. Semua panitia sangat sibuk. Ia pun berencana akan menghubungi Manggala setelah pekerjaannya rampung.Sementara itu tantenya—Raisa Silvana Basalamah (Ana) sudah keburu pulang lebih dulu karena ia alergi dingin. Alby merasa ada sesuatu hal yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Dalam hati ia membenarkan jika gadis bernama Embun itu mirip sepupunya–Pasha. Ralat, Embun mirip sekali omnya—dr Zain.Malam itu ia menjadi gelisah karena pertemuan dengan Embun. Ia didera penasaran yang tinggi tentang sosok wanita itu! Cara ia
Suasana terasa canggung di kantor Ana. Detik demi detik seakan merangkak lamban. Baik Ana maupun Embun sibuk dengan pikiran masing-masing.Ana sedang sibuk memikirkan siapakah sebenarnya gadis yang tengah di duduk di seberangnya. Gadis cantik nan lugu namun memiliki kemampuan luar biasa dalam bermusik. Bahkan Ana sudah memintanya memainkan musik klasik lainnya di ruangannya, sungguh ia mampu membuatnya terhanyut ke dalam permainannya. Bukan musisi jalanan seperti yang diakuinya, ia terlahir sebagai musisi handal. Begitulah Ana menarik kesimpulan tentang dirinya. Sisi lain, Embun sedang merasa tegang karena berhadapan langsung dengan sosok pianis idolanya sejak dulu. Di matanya Ana musisi besar yang hebat karena telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Namun meskipun ia merasa tegang, hatinya merasa hangat saat mengobrol dengannya.Menurut kabar yang menjamur, sosok pianis bernama Ana di depannya itu terkenal angkuh kendati berbakat. Ternyata aslinya Ana bersikap manis p
Para pengunjung cafe tengah menikmati kopi dan camilan saat menjelang sore. Mereka sibuk bercengkrama asik sekedar membunuh waktu dari kepenatan dan kesibukan dunia. Ada sepasang kekasih, sahabat satu circle hingga rekan kerja berkumpul di sana.Di antara mereka ke empat pemuda tampan juga sedang asik bercengkrama hingga sosok Embun ikut bergabung bersama mereka. Manggala langsung membuka obrolan. Ia sàdar Embun tampak bingung saat diundang ke sana olehnya. Melihat wajah Embun yang kebingungan, Manggala berusaha membuka topik pembicaraan yang serius.“Embun, ada hal yang ingin saya bicarakan denganmu,” imbuh Manggala setelah berusaha menormalkan perasaannya. Mendadak ia dilanda gelisah berhadapan dengan Embun saat ini. Ia juga tidak tahu alasannya kenapa ia menjadi gugup saat bertemu dengannya.Embun hanya manggut-manggut menatap Manggala. Sementara itu Beryl, Alby dan Pasha terdiam, ikut menyimak perkataan Manggala. “Bisakah kami bertemu dengan ke dua orang tuamu? Akan lebih baik j
Jeena pun berusaha menelepon Manggala namun tidak diangkat. Kali ini pemuda tampan itu marah. Beberapa hari berikutnya, Jeena pun berusaha meneleponnya lagi dengan maksud ingin mengundang Manggala untuk hadir di acara penampilan Amal kampus.Hari itu Rosa sudah kembali ke Manhattan. Jeena tidak kesepian lagi. Melihat Jeena termenung di depan balkon ruang musik di apartemennya, Rosa pun menghampirinya.“Nona, mau dibikinin apa buat makan siang?”Jeena menoleh dengan wajah masam. “Gak usah. Aku belum lapar,”Rosa menatap simpatik pada Nona mudanya. Pasti ia sedang punya masalah. Namun masalahnya apa ia memang tidak terbuka. Jeena akan membeberkan masalah kalau merasa ia lelah.“Ros, kamu punya pacar?”Tiba-tiba saja Jeena bertanya itu pada Rosa. Jeena sudah pernah bersuami. Namun ia belum pernah berhubungan dengan pria serumit itu. Manggala sedang merajuk hingga tak berkomunikasi dengannya lama.Siapa tahu Rosa punya pacar dan tahu betul mengatasi situasi yang terasa tak nyaman itu. Itul
Jeena bangun dengan berurai air mata. Ia bermimpi buruk tentang putra kesayangannya. Manggala pun berusaha menghiburnya. “Jeena, itu cuma mimpi!”Manggala sibuk menyeka air mata Jeena dengan sapu tangan miliknya. Jeena masih mengumpulkan sejumput nyawanya. Mimpi buruk tentang putranya terasa nyata. Alih-alih merespon Manggala ia pun mencari ponselnya. Menyadari apa yang sedang dicarinya, Manggala mengangsurkan ponselnya dan langsung mencari nomor kontak Ana.“Ini! Kamu telepon Mami!” ucap Manggala dengan lembut. Pemuda tampan itu sangat memahami perasaan Jeena saat ini.Jeena pun meraih ponsel yang disorongkan oleh Manggala padanya. Ia pun langsung menekan nomor telepon ibunya.Senyum tipis tersemat di wajahnya tatkala ponselnya mulai terhubung dengan ibunya.Dengan tangan gemetar Jeena menempelkan ponselnya di sisi telinganya. Ia pun mulai menggerakan bibirnya.[Mi, assalamu’alaikum!][Halo, Sayang! Waalaikumsalam! Kenapa kamu baru telepon? Jeena baik-baik aja kan?]Ana langsung men
Wajah Rain langsung memerah tatkala melihat siapa pemuda tampan yang mengaku dirinya sebagai kekasihnya Rosa.“Pasha,” ucapnya dengan agak canggung. Bagaimanapun, Rain adalah salah satu anak didiknya dr Zain. Rain sangat menghormati dr Zain dan keluarganya. “Maaf, Pasha. Aku … hum …” imbuh Rain rasanya ingin menggali lubang untuk sembunyi. Pasti Pasha mendengar perkataannya barusan.“Sudahlah! Aku akan membayar semua pengobatan Bapak,” imbuh Pasha dengan raut serius.Namun Rosa merasa jantungnya akan copot. Pasti setelah drama ini, Pasha akan menyeretnya dan memarahinya karena pulang ke Indo, meninggalkan adik kesayangannya. Tatapan Rosa turun pada punggung tangan Pasha yang masih menempel pada pinggangnya. Namun ia tak berani menepis rangkulannya.“Aku ada urusan dulu, Sa,” ucap Rain buru-buru kabur dari situasi itu. Ia berpura-pura menerima telepon dari seseorang.Sementara itu, Rosa menunduk dengan wajah yang gelisah. Ia takut dipecat oleh Ana. Ia sudah menganggap Ana ibunya sendi
Di sebuah rumah sakit swasta, seorang wanita berambut pendek tengah duduk termangu di depan ruang operasi dengan perasaan yang berkecamuk. Ayahnya menderita penyakit kronis yang menyebabkannya harus menjalani operasi. “Bagaimana Ayah saya Dok?” tanya wanita itu pada dokter bedah yang baru saja keluar dari dalam ruangan itu.Dokter bedah yang memakai masker itu tak lantas menjawab pertanyaan wanita itu. Ia menelisik wanita di depannya. Kemudian ia pun melepas maskernya.“Ros,” seru dokter bedah tampan itu menatap Rosa dengan tatapan yang rumit. Rosa tersentak melihat sosok pria dari masa lalunya. Dia adalah mantan kekasihnya yang selingkuh dengan sahabatnya tiga tahun silam.Ekspresi Rosa langsung berubah saat melihat siapa pria di depannya. “Kamu gak berubah! Kamu masih cantik seperti pertama kali aku lihat,” ujar dokter bedah itu dengan tatapan yang justru menghujam batin Rosa.Berani-beraninya ia mengatakan hal itu! Memuji dirinya cantik setelah apa yang dilakukan olehnya tempo d
Jeena berusaha mencari buku miliknya di semua rak dalam lemari. Ia tidak menemukannya. Seingatnya, ia menaruh buku berisi lagu-lagu ciptaannya di ruang musik. Wanita bermanik almond itu tampak frustrasi. Bahkan sampai larut malam, ia terus menyisiri setiap sudut untuk mencari buku itu. Ia sampai memindahkan furniture demi mencarinya. Mungkin buku itu terjatuh di sudut rumahnya. Jeena bukan seorang yang mudah menyerah. Ia terus mencari sampai begadang dan baru bisa tidur jam tiga pagi. Alhasil tubuhnya langsung terserang demam. Namun ia mengabaikannya. Pagi hari ia pun mulai menyisir kembali seluruh ruangan di apartemen. Seingatnya buku itu masih berada di rumah.Saat ia sibuk, suara bel apartemen berbunyi. Biasanya tamu yang datang berkunjung ke apartemen ialah sales. Jeena tidak berniat membukakan pintu. Ia terus sibuk mencari buku berharga miliknya. Karena suara bel tak kunjung berhenti, Jeena pun akhirnya bergegas mengayunkan kakinya menuju pintu hendak melihat siapakah tamu yang
Setelah acara makan siang, Beryl pun mengantar Serina pulang ke indekosnya. Lalu ia pergi kembali ke kantor. Ada berkas penting ketinggalan di kantor.Pukul lima sore, para karyawan sudah pulang satu per satu. Yang tersisa hanyalah para security dan beberapa karyawan yang memilih lembur.Satu per satu mereka menyapa Beryl dengan sopan dan penuh hormat. Beryl hanya tersenyum tipis menanggapi. Ia langsung berjalan melewati lobi dan menaiki lift. Namun tiba-tiba langkah kakinya terhenti saat ia melewati ruangan staf admin. Laila tampak masih sibuk di depan komputer. Entah apa yang sedang dikerjakannya. Yang jelas, gadis itu terlihat fokus mengetikkan sesuatu di layar keyboard. Beryl hanya menatapnya dari kejauhan kemudian kembali ke ruangannya. Ia mengambil berkas penting miliknya. Saat ia melewati ruang staf admin, Laila sudah tidak berada di ruangannya.Beryl langsung pergi menuju mobil miliknya. Ia pun bergegas masuk dan mengemudikan kendaraannya dengan tempo yang sedang. Tatapannya
“Laila, kamu ngapain aja sih? Lama banget tau! Aku sudah ditunggu oleh Mas Beryl,”Dari arah belakang, sekonyong-konyong Serina menyusul Laila. Gadis bermata biru itu menatap Laila yang diam termangu melihat foto yang berada di ruangan itu.‘Sial, Laila nanti bisa tahu kalau Nena Hanum itu nenek yang ditolongnya saat kebakaran. Bagaimana ini?’ batin Serina berisik. Gadis itu buru-buru menepuk pundak Laila dengan lembut. “Laila, sudah selesai belum?”Laila terkesiap melihat kedatangan Serina. Ia pun bergegas menekan tombol mesin foto copy dan merapikan dokumen milik Serina. “Ini!”Laila menyerahkan dokumen itu pada Serina. “Makasih, ya,” imbuh Serina tak lantas pergi dari ruangan itu. Ia menunggu Laila pergi dari sana lebih dulu. Serina benar-benar panik. Jika Laila mengetahui Hanum adalah neneknya Beryl maka rencananya akan berantakan. Hal paling buruk yang akan terjadi ialah pertemuan Laila dengan Hanum. Beberapa kali Laila pernah bercerita bahwa ia ingin bertemu dengan wanita tua
“Sulis, kemana calon cucu menantu? Mama pengen ketemu. Sudah lama dia gak datang. Apa hubungan mereka baik-baik aja?”Hanum bertanya pada Sulis soal Serina. Dengan berjalan tertatih, Hanum menghampiri Sulis yang tengah berdiri di depan kompor. Sulis sedang memasak puding untuk mertua kesayangannya. Ia sedang menginap di rumah Hanum.Mendengar suara Hanum, Sulis buru-buru mematikan kompor dan menghampirinya. “Mama, mau apa? Nanti Sulis ambilin. Mama kan lagi kurang sehat. Mama diam aja di kamar.”Hanum terlihat berwajah masam mendengar nasehat menantunya. Ia tidak mau diperlakukan seperti orang sakit dan orang jompo meskipun kenyataannya demikian.Alih-alih merespon menantunya, Hanum kembali berkata dan menanyakan Serina. “Kenapa kamu gak ajak Serina? Mama kepikiran dia terus. Bagaimana kabarnya?”Sulis terdiam mendengar rentetan kalimat yang mama mertuanya sampaikan. Ia malas membahas soal gadis itu. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan jika Serina sepertinya bukan gadis yang cocok
“Jangan! Please! Aku gak tau siapa dia!” seru pria bertato dengan perasaan takut. Cairan bening sudah menggenang di sudut matanya. Rian tidak main-main dengan ancamannya. Cengkraman tangannya sangat kuat. Pria itu nyaris kehilangan pasokan oksigen.Mata Rian nyaris loncat dari tempatnya saat mendengar pengakuan pria itu. Pria bajingan itu ingin lepas begitu saja namun ia tidak mau membeberkan Bos yang menyuruh mereka.“Lempar saja dari rooftop!” pekik Rian kemudian menendang perut pria itu.Pria itu terbatuk-batuk. Ia terlihat sangat ketakutan. Dua orang pria yang tak lain rekan Rian langsung menarik lengan pria yang diikat dengan tambang. Mereka menyeret pria itu dan segera membawanya ke lantai atas. Pria itu sontak berkata kembali.“Jangan! Aku benar gak tau! Wajahnya pake masker. Dia cuma ngasih perintah dan bayar kami. Udah gitu dia pergi!”“Benar, emang dia gak lihatin wajahnya,” timpal pria asing lainnya.Rian mendengus pelan. Benar-benar tidak masuk akal!Namun dari tatapan mer