Manggala dan Pasha saling lirik saat ditanya oleh Mustafa Ali Basalamah. Mereka cukup syok melihat kedatangan pria berhidung bangir itu yang terlihat penuh kharismatik. Jantung mereka seakan copot dari tempatnya. Mereka khawatir jika Ali berpikir macam-macam tentang mereka.“Mereka sedang bermain peran, Dad,” jawab Beryl mewakili ke dua pemuda yang tampak sawan itu. Pria berambut gondrong itu menghampiri ayahnya diikuti Alby di belakangnya. Ali mengerutkan keningnya, menatap Pasha lalu menggelengkan kepalanya. Pria dingin itu berjalan masuk ke dalam rumah tanpa memperpanjang percakapan. Ia baru saja pulang dari kantor perusahaan. Ia merasa letih dan tak sabar ingin merebahkan tubuhnya di atas ranjang.“Malam, anak-anak! Kalian lagi apa? Buat penyamaran? Ayo nanti Tante ajarin! Tante jago menyamar,” seru wanita cantik berambut bergelombang di belakang Ali. Ia adalah Sulis—ibunya Beryl dan Alby. Wanita itu juga memiliki profesi sebagai detektif di sela-sela kegiatannya sebagai dosen d
“Bagaimana kalau yang ini?” Manggala memperlihatkan kemeja miliknya pada Beryl.Beryl dan Pasha sudah sedari pagi mendatangi apartemen milik Manggala. Mereka mengira Manggala sudah siap dan tinggal berangkat. Ternyata, pemuda itu masih bingung memilih kemeja tak seperti biasanya. Padahal ia selalu bersikap biasa saja saat akan bertemu klien. Namun hari itu Manggala tampak seperti seorang perawan yang akan pertama kali ikut kencan.“Gala, perasaan yang seharusnya rempong itu Pasha. Secara Pasha yang punya hajat. Ini malah lo yang sok rempong? Emang lo mau ketemu siapa sih?” beo Beryl namun tatapannya terpacak pada Pasha yang menahan tawa.Mengabaikan mereka, Manggala masih mematut di depan cermin, mencoba kemejanya beberapa kali.Kesal melihat tingkah Manggala, Beryl mendesah pelan kemudian bersungut-sungut, “Gue cabut! Gue banyak kerjaan! Ini juga sudah ijin sama Daddy. You know, kalau gak nurut sama Daddy siap-siap gue dipukul tongkat bisbol. Kalau gue sakit, lo mau tanggung jawab?
Waktu audisi selesai pukul sepuluh malam, tidak sesuai dengan rencana sebelumnya pukul sembilan malam. Hasil audisi akan diumumkan besok lewat akun media sosial. Sekolah musik tersebut akan mengadakan seleksi untuk ke dua kalinya. Saat ini mereka hanya akan merekrut lima puluh orang terbaik dari seluruh peserta yang mengikuti audisi tersebut.Alby mendengus pelan, ia ingin sekali memanggil gadis bernama Embun dan mengobrol dengannya, namun waktunya tidak memungkinkan. Semua panitia sangat sibuk. Ia pun berencana akan menghubungi Manggala setelah pekerjaannya rampung.Sementara itu tantenya—Raisa Silvana Basalamah (Ana) sudah keburu pulang lebih dulu karena ia alergi dingin. Alby merasa ada sesuatu hal yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Dalam hati ia membenarkan jika gadis bernama Embun itu mirip sepupunya–Pasha. Ralat, Embun mirip sekali omnya—dr Zain.Malam itu ia menjadi gelisah karena pertemuan dengan Embun. Ia didera penasaran yang tinggi tentang sosok wanita itu! Cara ia
Suasana terasa canggung di kantor Ana. Detik demi detik seakan merangkak lamban. Baik Ana maupun Embun sibuk dengan pikiran masing-masing.Ana sedang sibuk memikirkan siapakah sebenarnya gadis yang tengah di duduk di seberangnya. Gadis cantik nan lugu namun memiliki kemampuan luar biasa dalam bermusik. Bahkan Ana sudah memintanya memainkan musik klasik lainnya di ruangannya, sungguh ia mampu membuatnya terhanyut ke dalam permainannya. Bukan musisi jalanan seperti yang diakuinya, ia terlahir sebagai musisi handal. Begitulah Ana menarik kesimpulan tentang dirinya. Sisi lain, Embun sedang merasa tegang karena berhadapan langsung dengan sosok pianis idolanya sejak dulu. Di matanya Ana musisi besar yang hebat karena telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Namun meskipun ia merasa tegang, hatinya merasa hangat saat mengobrol dengannya.Menurut kabar yang menjamur, sosok pianis bernama Ana di depannya itu terkenal angkuh kendati berbakat. Ternyata aslinya Ana bersikap manis p
Para pengunjung cafe tengah menikmati kopi dan camilan saat menjelang sore. Mereka sibuk bercengkrama asik sekedar membunuh waktu dari kepenatan dan kesibukan dunia. Ada sepasang kekasih, sahabat satu circle hingga rekan kerja berkumpul di sana.Di antara mereka ke empat pemuda tampan juga sedang asik bercengkrama hingga sosok Embun ikut bergabung bersama mereka. Manggala langsung membuka obrolan. Ia sàdar Embun tampak bingung saat diundang ke sana olehnya. Melihat wajah Embun yang kebingungan, Manggala berusaha membuka topik pembicaraan yang serius.“Embun, ada hal yang ingin saya bicarakan denganmu,” imbuh Manggala setelah berusaha menormalkan perasaannya. Mendadak ia dilanda gelisah berhadapan dengan Embun saat ini. Ia juga tidak tahu alasannya kenapa ia menjadi gugup saat bertemu dengannya.Embun hanya manggut-manggut menatap Manggala. Sementara itu Beryl, Alby dan Pasha terdiam, ikut menyimak perkataan Manggala. “Bisakah kami bertemu dengan ke dua orang tuamu? Akan lebih baik j
Seorang gadis tengah mengamati Embun secara diam-diam dari kejauhan mirip seorang mata-mata. Gadis muda itu tampak cantik dan seksi. Ia mengenakan atasan croptop yang memperlihatkan perutnya yang rata nan putih dan celana jeans slim fit yang memperlihatkan bagian bokongnya yang sintal. Saat itu Embun tengah bernyanyi live music di sebuah cafe bersama Manggala, Beryl, Alby dan Pasha. Namun tentu saja, Embun tidak menyadari kehadirannya karena saking fokus menikmati melodi musik yang mendayu-dayu. Gara-gara duet itu suasana hati Embun membaik. Pun, hubungan Embun dan Manggala mulai kembali normal. Kendati Embun kecewa pada Manggala namun ia menghargai usahanya untuk meminta maaf.Gadis itu sangat murka melihat bagaimana bisa Embun bergabung dengan circle anak sultan secara ia adalah gadis miskin yang sudah tidak dianggap oleh keluarganya. Pertanyaan lainnya ialah sejak kapan Embun bisa bermain piano dan bernyanyi?Ia mengira jika Embun kini sudah menjadi sugar baby atau ani-ani. Ia ta
Embun menjalani hari-harinya sebagai seorang housekeeper seperti biasa sembari menunggu pengumuman audisi itu dengan sabar. Meskipun seminggu berlalu, belum ada posting tentang hasil audisi dari akun media sosial resmi D’Silva Music School & College. Hal itu tentu membuatnya merasa frustrasi.“Kenapa kelihatan bete? Perasaan palang merah udah pergi,” ucap Ningrum yang melihat Embun terlihat lesu dengan wajah yang masam. Ia juga bekerja dengan kurang semangat.Embun menoleh dengan meringis pelan. “Bu, sepertinya, audisi ke dua, aku tidak lolos. Aku tidak menemukan pengumuman hasil audisi di akun media sosialnya. Aku juga tidak mendapat telepon dari guru musik sekolah itu.”Ningrum menatap dalam Embun. Ia merasa sangsi saja, mana mungkin Embun tidak lolos. Kemampuannya dalam memainkan piano seperti seorang masterpiece. Semua orang mengakuinya. “Belum kali, Bun. Tunggu aja,” nasehat Ningrum yang terdengar masuk akal. Ia pun menepuk pundak Embun dengan lembut lalu berbisik pada telinga E
Embun terlihat bingung saat bertemu dengan keluarga besar Basalamah. Ia hanya mematung dengan perasaan yang gugup.Hingga Ana berdiri lalu menyambut kehadirannya. Ia berjalan mendekati wanita bermanik almond itu dengan senyum sumringah. Mati-matian Ana berusaha mengendalikan dirinya—untuk menahan tangis karena perasaan haru. Semua tingkah Ana tak luput dari semua orang yang berada di sana. Embun pun ikut berjalan mengikuti Ana hingga mereka duduk di sofa di mana dr Zain berada di sana pula. Pria dewasa itu menatap Embun penuh keterkejutan. Bagaimana bisa wanita yang beberapa kali ia lihat ternyata putrinya yang hilang.dr Zain pernah melihat Embun di antara para anak jalanan. Ia seringkali memberikan santunan pada mereka.“Duduklah, Nak!” imbuh Ana dengan suara yang lembut. Semua anggota keluarga Sulaiman Basalamah–ayah Ana berkumpul dan menajamkan indera pendengaran mereka. “Bu, maaf, saya bingung. Apakah saya lulus audisi?” tanya Embun dengan pelan. Ia merasa tak nyaman saja mendap
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan g
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti
Setelah berbincang lama dengan Laila dengan mengangkat topik yang berbeda-beda, Beryl mengambil jeda. Sudah cukup! Laila sudah terlihat lebih baik. Sudah saatnya ia mengungkapkan maksud inti kedatangannya ke sana. Sebagai seorang pria, ia akan memberanikan diri mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. Perkara Laila menolaknya terserah nanti. Namun ia sudah tak bisa lagi memanjangkan sumbu kesabaran untuk menahannya. Nanti bisa-bisa kepalanya meledak.“Laila,” panggil Beryl menatap Laila lurus, terdengar serius.Laila pun mengangkat mata setelah mengecek ponselnya. Ayahnya mengirim pesan padanya, ia masih berada di jalan. Laila mengabari ayahnya soal tamu yang datang. Tak mungkin ia membiarkan tamunya begitu saja. Sang ayah harus tahu siapa tamu yang datang untuk putrinya.“Apa, Pak?” tanya Laila dengan tenang.Beryl menekuk wajahnya saat Laila memanggilnya dengan Bapak.Laila—yang peka terhadap perubahan ekspresi wajahnya itu langsung meralat panggilnya. “Ada apa Kak Bery
Beryl turun dari mobil dengan hati berdebar. Sudah sekian lama ia menunggu saat ini—bertemu Laila lagi, setelah semua kejadian yang menimpa mereka. Sengaja, ia tidak memberikan kabar padanya. Ia ingin memberikan kejutan.Meninggalkan Alby yang masih berada di luar, Beryl melangkah masuk ke rumah mewah itu dengan napas yang sedikit tertahan, seperti anak kecil yang hendak membuka hadiah ulang tahun.Pintu rumah mewah itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang begitu dirindukannya. Laila, dalam balutan gamis berwarna merah muda sedang berjuang berdiri tegak di ruang tamu yang luas. Perawat Febi dengan sabar menopangnya, sementara Laila berkali-kali menggerutu, “Aku bisa sendiri! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!”Laila kembali cerewet, pertanda ia mulai sembuh. Namun, belum sampai tiga detik, tubuhnya oleng ke samping.“Ya Allah, Nona! Jangan maksa!” pekik Febi panik, buru-buru menangkapnya agar tidak jatuh.Namun Laila yang gigih tidak akan menyerah begitu saja. Ia