Happy reading🤍🤍
Malam itu, Rahes duduk di ruang kerjanya, menatap kosong laporan yang baru saja ia terima dari detektif pribadinya. Akhir-akhir ini ia seringkali berurusan dengan detektif setelah menemukan putrinya. Apalagi, ia sedang mencari tahu putrinya yang lain—yang masih belum ditemukan.Tangannya mencengkeram kertas itu erat, hampir meremasnya. Matanya menelusuri setiap detail yang tertulis, tetapi pikirannya masih berusaha mencerna kenyataan yang baru saja terungkap. Serina, putrinya yang baru saja ia temukan setelah bertahun-tahun mencari, ternyata terlibat masalah dengan keluarga Basalamah. Dan bukan sekadar masalah biasa—ia berpura-pura menjadi penyelamat dalam insiden kebakaran yang menimpa Hanum, salah satu anggota keluarga itu. Pantas pria bernama Beryl terlihat marah saat bertemu dengannya.Sisi lain, dalam laporan itu ternyata meskipun putrinya telah ketahuan berdusta, namun keluarga itu masih mempekerjakan Serina di sana.Rahes menghela napas berat. Ia tidak habis pikir. Apa yang te
Hari demi hari berlalu, dan Laila semakin merasakan betapa beratnya perjuangan untuk kembali berjalan. Setiap pagi, ia memulai rutinitasnya dengan latihan fisik yang direkomendasikan oleh terapisnya. Namun, meskipun telah mengerahkan segala tenaga, kemajuannya terasa seperti langkah siput—lambat dan nyaris tak berarti. Rasa sakit menyengat di setiap sendi, kelelahan menggerogoti tubuhnya, tetapi yang lebih menyiksa adalah perasaan tidak berdaya yang mulai merayap ke dalam jiwanya.Setiap kali ia mencoba menggerakan kakinya dan gagal, rasa frustrasi semakin menguasai dirinya. Ia mulai meragukan kemampuannya sendiri, bertanya-tanya apakah semua ini sia-sia. Suatu sore yang dingin dan suram, setelah sesi terapi yang melelahkan, Laila duduk diam di kursi rodanya, menatap ke luar jendela. Hujan turun deras, menciptakan simfoni kesedihan yang seakan menggema dalam hatinya. Air mata menggenang di pelupuk matanya, lalu jatuh perlahan, bercampur dengan keputusasaan yang semakin dalam. Ia mera
“Tadi bilang siapa?” Rahes bertanya pada Serina. Ia tidak salah dengar. Barusaja Serina menyebut nama Laila.Serina langsung berpikir cepat. “Laila? Ayah kenapa si nyebut nama itu terus? Temanku namanya Lila! Bukan Laila!”Rahes diam. “Ayah mendengar nama Laila, kakakmu,”Rahes menghela nafas berat. Mengapa sulit sekali menemukan Laila? Seperti ada seseorang yang berusaha menyembunyikan putrinya itu darinya.Serina berkomentar dan berpura-pura simpatik. “Ayah, memang belum pernah bertemu Laila itu dari bayi sepertiku?”Rahes pun duduk di samping Serina, ia senang ketika Serina antusias ingin mendengar cerita tentang putrinya yang satu lagi.“Angel, Ayah dulu memang playboy, selalu bersenang-senang dengan wanita. Itu adalah kesalahan terbesar ayah! Terutama kesalahan fatal Ayah pada ibumu. Setelah menikah, Ayah masih belum bisa membuang kebiasaan Ayah untuk mempermainkan wanita. Sebetulnya, Ayah dan Ibu dijodohkan dulu sama keluarga. Kau tahu, Ayah memang tidak ada niatan untuk menikah
Rahes menundukkan kepala. “Aku tidak akan membela diri. Aku akui, aku yang menyebabkan perusahaan Basalamah kehilangan tender. Aku ingin memberi pelajaran pada mereka karena… karena aku percaya Angel telah diperlakukan tidak adil. Tapi aku sadar sekarang, aku telah bertindak gegabah.”Sulis menatapnya penuh selidik. “Serina ya,"Rahes menghela nafas panjang. “Serina is Angel! Putriku yang hilang dari mantan istriku, Laura. Dia membuatku percaya bahwa keluarga Basalamah telah mengusirnya dan meremehkannya. Aku terbawa emosi. Aku ingin melindungi putriku.”Sulis mendengus, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dan sekarang kau sadar bahwa semua itu bohong?”Sulis menggelengkan kepalanya beberapa kali. Namun ia terlihat lebih santai saat ini.Rahes tersenyum miris. “Aku tak tahu apakah semua yang dia katakan itu bohong… atau hanya setengah kebenaran. Yang aku tahu, aku telah berbuat kesalahan besar dalam dunia bisnis. Kau tahu, selama ini reputasiku dalam dunia bisnis baik,”Sulis menatap
Angin sore berembus lembut di halaman rumah sederhana itu. Matahari mulai condong ke barat, memberikan cahaya keemasan yang menyelimuti pemandangan. Di bawah cahaya itu, Beryl duduk berlutut di depan Laila. Wajahnya tegar, namun matanya menyimpan duka yang dalam. Mendengar Laila memanggilnya dengan sebutan kakak, rasanya jantungnya diremas sembilu. Sial, ia baru sĂ dar ternyata gadis yang selama ini ia cari ternyata berada dekat dengannya. Mengapa ia baru sĂ dar akan hal itu?Beryl memang tidak bisa melihat wajah Laila di balik cadarnya sehingga pantas saja ia tidak bisa melihatnya. Namun saat ini, Laila tidak mengenakan cadarnya karena untuk bernafas saja ia kesulitan. Akan ada saatnya, ia mendadak sesak nafas dan membutuhkan oksigen agar bisa bernafas dengan lega.Beryl, CEO yang selama ini dikenal dingin dan tak berperasaan, kini bergetar. Hatinya mencelos saat melihat Laila yang dulu ceria kini tampak begitu rapuh. Selang oksigen yang terpasang di hidung gadis itu membuatnya semaki
Suasana tegang memenuhi ruangan. Beryl duduk di atas sofa dengan bersilang tangan di dada, sementara itu Yuda berjalan mondar-mandir dengan ekspresi frustrasi. Ia tidak suka kedatangannya menemui Laila.Dan, ia tidak menyangka jika Beryl nekad, datang ke sana demi Laila. Semoga saja ia bisa menyimpan rahasia tentang Laila. Jangan sampai orang Rahes mengetahuinya!Kini mereka bersitegang, membahas masalah pengobatan Laila. Beryl baru tahu, selain Laila mengidap autoimun yang cukup serius, ia pernah mengalami kecelakaan—yang menyebabkannya lumpuh. Kabar buruk itu mengguncang batinnya. “Aku tidak mengerti kenapa kamu tetap bersikeras, Pak Yuda,” kata Beryl tajam. “Laila harus mendapatkan pengobatan terbaik. Aku bisa membawanya ke luar negeri. Ada rumah sakit spesialis di Jerman, atau bahkan Amerika. Apa kamu tidak peduli?” Yuda menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ini bukan soal aku peduli atau tidak. Ini soal kondisi Laila. Dokter sudah bilang, kemungkinan pemulihannya kecil. Meng
Jeena dan Manggala baru saja kembali dari bulan madu mereka di Pulau Dewata saat larut malam. Penghuni rumah sudah tidur. Oleh karena itu, mereka tidak berniat membangunkannya. Padahal, Jeena sangat merindukan putranya dan ingin tidur bersama dengannya. Pasti, Sagara tidur bersama ibunya. Ia juga tidak berniat membangunkan ibunya.Dengan wajah cerah dan perasaan penuh cinta, keduanya memasuki rumah yang sudah gelap lampunya. “Kembali ke realitas,” Manggala menghela napas, meletakkan koper di sudut ruang tamu–yang langsung diambil oleh ART di sana. Bergegas, ART itu membawa koper itu ke dalam kamar Jeena.Jeena tersenyum menatap suaminya. “Kenapa memang dengan realitas?”Ke dua tangan mereka bertaut sembari berjalan menuju kamar. Manggala membukakan pintu untuk istrinya lalu menutupnya kembali setelah ART menaruh koper mereka di dalam.Manggala mendekat dan meraih pinggang istrinya dengan mesra. “Ya realitas. Mas harus kerja cari uang dan Jeena harus kuliah.”Sebetulnya, Manggala masih
“HAHAHAHAHA!” Ana tertawa terbahak-bahak, membuat Jeena dan Manggala semakin bingung. “M-Mi?” Jeena mengerutkan kening. “Kenapa ketawa?”Bukankah seharusnya ibunya marah? Ana menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. “Astaga, kalian berdua ini panik seperti anak SMA baru pertama kali jatuh cinta! Baru juga kemungkinan doang, sudah heboh kayak mau perang dunia ke tiga!” Jeena menggaruk kepalanya. “Jadi, Mami nggak marah?” Ana menggeleng pelan. “Kenapa harus marah? Mami malah senang kalau punya cucu lagi. Rumah makin rame dong. Siapa tahu kali ini kembar.” Jeena langsung mengerang. “Mami!” “Tapi tenang,” lanjut Ana sambil terkekeh. “Kalau memang kalian belum siap, ya tinggal hati-hati ke depannya. Tapi kalau ternyata sudah keburu hamil… ya sudah, rezeki itu namanya.” Ana menatap Manggala yang mengepalkan ke dua tangannya sebagai bentuk selebrasi tanpa sepengetahuan Jeena.Saat ibunya beranjak pergi, ia menepuk bahu Manggala dan berbisik pelan, “Siap-siap aja, Gala. Kalau J
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang