Happy reading🤍
Sore itu sepulang kerja, Beryl duduk di ruang tamu, berhadapan dengan ibunya, Sulis. Di tangannya, ada sebuah cincin sederhana yang sudah ia siapkan untuk Laila. Ia menatap ibunya dengan sorot mata penuh tekad. Namun sebelum ia mengemukakan keinginannya, ia membahas masalah kantor.“Mom, apa yang Mommy lakukan pada Rahes Pramudya? Mommy gak menganiayanya ‘kan?”Beryl menatap ibunya dengan tatapan curiga. Bagaimana bisa, setelah ibunya menemui Rahes, satu per satu klien Basalamah Group menghubungi dan meminta maaf padanya. Bahkan mereka datang ke kantor sembari membawa hadiah.Sulis mendesah pelan. “Mommy belum menganiyanya tapi … hampir! Tapi, dia cukup kooperatif. Sedikit ancaman sudah berhasil membuatnya ketakutan.”Beryl menatap ibunya dengan penuh kagum. “Mom, makasih ya! Maaf akhir-akhir ini aku justru tidak fokus, karena aku masih kepikiran Laila–gadis kecilku.”Sulis mengulum senyum. Beryl sudah menceritakan tentang kisah pertemuannya dengan Laila pada ibunya.Beryl menatap sebu
Langit sore berwarna jingga ketika Rosa melangkah keluar dari rumah Ana dengan langkah gontai. Di tangannya, sebuah amplop berisi gaji terakhirnya, sesuatu yang harusnya berarti, tapi terasa begitu hampa di genggamannya. “Saya tidak bisa lagi mempekerjakanmu untuk sementara waktu, Rosa.”Suara Ana masih terngiang di telinganya. “Jeena sudah menikah dan tidak butuh pengawal, dan saya pun sekarang hanya fokus mengasuh Sagara.”Rosa tahu Ana tidak bermaksud memecatnya. Tapi kenyataan itu tetap menyakitinya. Ia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Ayahnya masih sakit, dan ia masih harus berjuang demi biaya pengobatannya. Namun, ia juga sadar, keberadaannya tidak lagi diperlukan saat ini. Dengan berat hati, Rosa mulai melangkah pergi. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sosok yang familiar di beranda rumah—Pasha. Pasha, pria yang selama ini hanya bisa ia kagumi dalam diam. Rosa terdiam di balik pilar, tidak ingin mengganggu percakapan pria itu dengan seorang gadis yang d
Malam itu, setelah menjalani pemeriksaan di rumah sakit kota, Laila kembali ke rumahnya di desa bersama sang ayah. Selama perjalanan, ia hanya diam, memandangi lampu-lampu kota yang perlahan menghilang di kejauhan. Nafasnya masih berat dengan bantuan oksigen nasal, dan pikirannya dipenuhi kecemasan yang tak ia ungkapkan. Semenjak ia sakit, perasaannya lebih banyak didominasi oleh perasaan kelabu.Sesampainya di rumah, Bik Nur segera menyambut mereka. “Tadi Pak Beryl datang, Teh,” kata Bik Nur sambil membantu Laila masuk ke dalam rumah, mendorong kursi rodanya. “Tapi dia buru-buru pergi karena ditelpon ayahnya. Dia hanya menitipkan ini untuk Teh Laila.” Bik Nur menyerahkan sebuah kantong kertas berwarna biru tua dengan pita putih. Laila menatap kantong itu tanpa mengambilnya. Hatinya berdebar. “Pulang?” suara Laila terdengar lirih. Namun, ia merasa sedih mendengar kepergiannya.“Katanya ada urusan mendadak, Teh. Dia kelihatan cemas waktu menerima telepon.” Yuda yang sejak tadi diam
Sulis duduk di sebuah kafe kecil di pinggir kota, menatap cangkir kopinya yang hampir dingin. Di hadapannya, Putri Melati menunggu dengan sabar, mengetahui bahwa sahabatnya sedang memikirkan sesuatu yang berat. Hari itu mereka sedang reunian, sebagai mantan detektif di bawah asuhan mendiang Mr Bon. Mumpung ke duanya punya waktu senggang mengingat mereka memiliki kesibukan masing-masing. “Aku benar-benar nggak habis pikir, Melati,” kata Sulis akhirnya, suaranya sarat dengan kekecewaan. “Beryl masih saja terobsesi dengan Laila. Padahal, kondisi Laila sekarang–lumpuh,”Melati mengangguk pelan. Ia mencoba mencerna cerita Sulis. Tunggu, dari mana ia tahu jika Laila sakit? Bukankah Yuda tidak mengijinkan orang lain tahu kondisi Laila saat ini?Putri Melati menahan diri, menyimak curhatan sahabatnya terlebih dahulu.Sulis tersenyum pahit. “Aku nggak berharap lebih, tapi aku juga nggak mau melihatnya terluka. Beryl itu keras kepala. Dia pikir cinta saja cukup untuk membuat segalanya jadi l
Bik Nur menatap Laila dengan perasaan iba. Rasanya, ujian gadis itu begitu berat. Dari mulai ia sakit lalu mengalami kecelakaan dan fakta mengejutkan tentang rahasia kelam keluarganya. Dalam diam, ia sebetulnya mengetahui rahasia kelam yang selama ini disimpan tentang Melani–ibu kandung Laila. Namun, ia merasa tidak berhak ikut campur. Bisa-bisa, Yuda malah memecatnya. Sayang, keluarga Melani yang tersisa sudah pindah ke luar Jawa. Namun beruntung rumah pondok milik kakaknya Melani masih berada di sana. Bahkan ia memintanya untuk merawat rumah itu karena khawatir kelak ada putrinya Melani yang mungkin membutuhkan tempat tinggal. Pun, rumah Melani yang satu lagi juga dititipi olehnya. Hanya saja, Bik Nur mendapat upah dari merawat rumah milik Melani dari Yuda.“Teh, ayo tidur! Udah malam loh,” Bik Nur mendekati Laila dan mendorong kursi rodanya menuju kamar miliknya.“Bibik, dia itu temanku sewaktu di Jogja. Aneh, dia tiba-tiba ngaku jadi saudaraku! Dasar gadis aneh!” beo Laila kemba
Laila terjatuh dari kursi rodanya, dan tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Dadanya langsung terasa sesak, napasnya tersengal. Panik mulai menyerangnya, kepalanya berdenyut, dan tubuhnya gemetar. Ia menggapai-gapai udara, hingga mencengkram tanah, mencari pegangan, tapi tak lama kemudian pertolongan tiba, dua lengan kuat mengangkatnya dengan sigap. Laila hampir berteriak, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Saat matanya terbuka, ia melihat wajah pemuda tampan itu. Beryl!Mengapa pria itu selalu menjadi penyelamatnya? Apakah ia memang pria yang kelak akan menjadi jodohnya?Pria itu menatapnya dengan rahang mengeras, matanya penuh ketegangan dan kekhawatiran. Laila terpaku, tubuhnya masih bergetar dalam dekapannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi napasnya semakin berat. Dadanya seperti diremat tangan yang tak kasat mata. Dalam kepanikannya, ia mulai meronta, ingin turun dari pangkuan pria itu.“Dek, tenanglah! Tarik napas pelan-pelan.”Suara Beryl dalam dan tegas, tetapi lembut. Ia
“Ada truk? Siapa yang datang?” tanya Pasha spontan saat menoleh ke arah jendela.Jeena pun mengikuti tatapan kakaknya. “Kayaknya barang gitu, kargo bukan?”Saat mereka berbincang asik soal mobil yang datang, Beryl berjalan keluar dari ruang tamu lalu menghampiri supir truk bertubuh gemuk itu.“Pak, ini gimana? Jalannya ternyata rusak. Nanti Bapak harus ganti ya bannya udah meletus dua kali!” keluh sang supir. Masalahnya Beryl mengatakan pada supir itu jalannya mulus semulus sirkuit F1 untuk mencapai ke sana. Sengaja, Beryl berdusta agar mereka tidak mempersulit pengiriman kursi roda.“Okay, saya ganti tenang aja!” Jawab Beryl– dengan serius.Di halaman rumah sederhana tempat Laila tinggal, beberapa petugas alat kesehatan (alkes) mengeluarkan beberapa jenis kursi roda untuk dipilih oleh Laila dari truk besar itu.Semua orang pun keluar untuk melihat siapa yang datang. Jeena mendorong kursi roda Laila. Ke dua wanita itu saling lirik bingung.“Dek, coba pilih kursi rodanya!”Tanpa tau mal
“Udah jangan nangis lagi dong! Kita bisa pulang seminggu sekali kalau mau,”Manggala menggenggam tangan Jeena sepanjang perjalanan berada di dalam pesawat. Jeena merasa berat harus meninggalkan putranya yang kini sudah semakin besar dan cerewet. Sebagai seorang ibu, rasanya begitu berat berpisah dengannya.“Mas gak bakalan ngerasain yang aku rasain sekarang,” beo Jeena mulai berani memprotes suaminya.“Iya, iya, iya, Mas ‘kan gak ngelahirin jadi gak tahu gimana rasanya menjadi seorang ibu. Tapi, tenang saja, Mas akan menjadi Ayah Sagara yang baik hati dan tidak sombong.”Manggala mencubit pipi Jeena dengan pelan. Lalu ia mengusap-usap kepalanya dengan lembut seperti pada seekor anak kucing.Jeena mengangkat mata dengan bibir yang mencucuk mirip bebek. “Apaan sih!”“Ya … salah lagi, deh!”Manggala menepuk jidatnya dengan kekehan pelan.Setelah sekian jam menempuh perjalanan udara, akhirnya mereka tiba di bandara dan langsung kembali pulang ke apartemen Jeena. Kini mereka hanya berdua ka
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang