Happy reading🤍
Laila sudah pulang dari rumah sakit. Kini ia kembali pulang ke kediaman Yuda meskipun terpaksa. Bagaimanapun, ia sudah tidak memiliki siapapun di sana.Hari itu Laila menghela nafas panjang. Berat rasanya ia harus resign dari perusahaan Basalamah. Namun saat ini ia ingin pulang ke kampung halaman ibunya di kota Bandung. Ia akan mencari tahu keluarga ibunya yang masih ada. Laila sangat keras kepala. Ia benar-benar telah membuat sebuah keputusan yang bulat. Apalagi setelah perbincangan antara dirinya dan Nirmala–Dania semalam. Mereka meminta Laila untuk pergi dari rumah Yuda dengan cara yang baik secara tidak langsung. Mereka meminta Laila bersedia menerima perjodohan dengan keponakannya yang seorang ASN.Bukan tanpa alasan, Nirmala tahu jika Yuda sudah menyayangi Laila dan menganggapnya putri kandungnya. Jika Laila pergi begitu saja dari rumah itu, Yuda pasti keberatan dan frustrasi. Yuda seringkali jatuh sakit ketika ia punya masalah. Oleh karena itu Nirmala sudah membuat rencana unt
Laila senang saat mendengar kabar Hanum akan datang. Tanpa disàdari, ia menjatuhkan surat pengunduran diri miliknya. Ia dipanggil lagi oleh kepala staf admin untuk menyiapkan dokumen penting. Gadis bercadar itu terlihat antusias saat melakukan tugasnya. Setelah mengetahui sifat asli Serina, ia pun mengubah sedikit rencananya. Ia akan membongkar kebusukan Serina di depan keluarga Basalamah sebelum ia mengundurkan diri. Ketika Serina berpura-pura menjadi orang yang menyelamatkan Hanum, berarti ia sudah punya niat buruk. Ia ingin masuk ke dalam keluarga Basalamah. Ia ingin hidup enak dengan cara yang instan!Lalu bagaimana jika Serina juga ingin merebut sosok ‘kakak’ yang telah menyelamatkannya? Tidak boleh! Serina tidak boleh mendapatkan tempat di keluarga itu! Ia sudah berniat busuk!“Pak, apa pekerjaanku sudah selesai?” tanya Laila yang mulai merasa letih. Ia baru saja pulang dari rumah sakit. Tubuhnya belum pulih sempurna. Namun pekerjaan yang dibebankan padanya justru semakin berat
“Laila, please! Aku gak bermaksud bohong waktu itu! Kamu udah salah paham. Kamu tahu, aku bahkan sudah lebih dulu kenal dengan the Great Duke sebelum kamu! Aku lakukan ini karena aku mencintai Mas beryl! Itu saja! Kamu jangan mikir macam-macam!”Karena sudah ketahuan Serina pun mulai memberikan klarifikasi dengan berurai air mata. Ia berkata dengan penuh penyesalan. Laila tersenyum sinis. “Sudahlah! Jangan berpura-pura lagi di depanku! Kamu lebih kenal dengan the Great Duke? Kamu juga harus tahu, siapakah gadis yang akan dijodohkan dengan Mas Gala? Aku! Ayahku dan ayah Mas Gala bersahabat dekat. Jadi … jangan sombong kalau kamu baru saja mengenal dengan anggota The Great Duke!”Kini gantian Laila yang mengeluarkan uneg-uneg dalam kepalanya. Perdebatan pun mulai terasa panas. “Kamu udah membohongi keluarga besar Mbak Jeena! Kalau mereka tahu kebusukanmu, mereka pasti kecewa padamu.”Laila mengangkat tangannya lalu memetik jari. “Dan mendepakmu!”Sikap Serina sudah keterlaluan. Selain m
“Laila, makan dulu!”Yuda mengetuk pintu kamar Laila beberapa kali ketukan. Sepulang dari rumah sakit, Laila tidak pernah makan bersama semeja di ruang makan. Ia makan ketika mereka sudah makan dan memilih makan sendirian.Ini tidak bisa dibiarkan! Yuda tidak akan merasa tenang melihat putrinya menjauh darinya.Laila mengabaikan panggilan Yuda. Saat ini ia sedang membaringkan tubuhnya dan menatap nanar langit-langit. Kejadian selama di kantor mengusiknya. Serina ternyata tak sepolos yang terlihat dari luar. Bahkan gadis itu aslinya manipulatif. Ia bisa bermain peran dengan sangat baik.Serina tidak bisa diremehkan. Laila yakin, tugas yang diberikan padanya bukankah murni karena pekerjaan. Namun ada Serina di balik itu semua. Pasti, Serina berusaha membuatnya sibuk agar tidak bisa bertemu dengan Hanum.Laila baru bisa beres mengerjakan tugasnya pukul lima sore, saat di mana para karyawan sudah pulang. Namun ia tidak akan tinggal diam. Serina sudah berbuat fatal. Satu-satunya cara ialah
Jeena sudah tiba di Manhattan. Ia mulai latihan bermusik kembali dengan Dion. Rosa selalu menemani Jeena kemanapun Jeena pergi seperti amanat Hanum dan Ana. Ia akan berbakti pada keluarga Basalamah. Akhirnya hari yang dinanti tiba. Acara Amal digelar secara meriah di kampus.Jeena sudah terlihat cantik dengan gaun yang senada dengan Dion. Sebelum mulai, Rosa—yang tidak hanya sekedar bertugas sebagai asisten, sebagai pengawal, ia selalu akan memastikan keselamatan Jeena. Oleh karena itu, ia melakukan pengecekan alat musik dan ruangan di mana Jeena akan tampil.Setelah memastikan semua aman, barulah ia merasa tenang. Beberapa orang cukup kaget melihat apa yang dilakukan oleh Rosa. Mereka baru tahu jika Rosa adalah pengawal khusus yang menjaga Jeena. Barulah mereka sàdar ternyata Jeena bukan orang sembarangan.Penampilan debut Jeena dan Dion berhasil memukau penonton. Riuh tepuk tangan membahana. Semua orang puas dengan performa mereka. Bahkan ada beberapa produser ternama yang akan men
Untuk merayakan keberhasilan acara, Laura mengundang para mahasiswa yang tampil saat acara amal untuk berpesta di restoran. Ia mentraktir mereka makan. Tak mungkin ia merayakannya di pub sebab ia menghargai Jeena. Apalagi Jeena sebagai vokal pertama. Ia dianggap pembawa keberuntungan.Sayang, orang terdekatnya tidak bisa ikut menghadiri acaranya. Mereka hanya mengirim pesan dan meneleponnya. “Baiklah, kita bersulang untuk pasangan terviral kita, Jeena dan Dion!”Laura mengangkat gelas berkaki berisi vodka dengan penuh keceriaan. Keberhasilan Performa murid-muridnya telah membuat para pengusaha ikut memberikan donasi dengan jumlah yang sangat besar pada acara itu.“Cheers!!” jawab yang lain serempak.Jeena mengangkat kaleng soda kemudian meneguknya. Rosa yang berada di sampingnya selalu tampak waspada. Ia tidak boleh lengah sedikitpun. Ia pernah mengikuti semacam training yang dilakukan oleh para anggota militer. Teringat akan pesan bijak dari salah satu coachnya bahwa di manapun ia b
Ana tersenyum bangga melihat putrinya bisa tampil memukau di layar televisi yang ditayangkan secara recording. Saat acara live, Ana tidak bisa menonton karena kesibukannya. “Lihatlah! Aku gak nyangka bisa punya anak yang bisa mewarisi talent yang sama denganku,” imbuh Ana dengan bangga pada dr Zain yang duduk di sampingnya. Dulu ia mengandalkan Alby yang memiliki hobby bermain musik sejak kecil. Masalahnya, Pasha kurang suka bermusik. Ia memilih karir yang sama dengan ayahnya.Ana pun sudah menyerah ketika ia tidak bisa mewariskan ilmu yang dimilikinya pada keturunannya. Ternyata, semesta telah mengaturnya sedemikian rupa. Jeena akhirnya ditemukan dan sungguh luar biasa Jeena memiliki talenta bermusik bahkan melebihi dirinya. Wanita berhidung bangir itu sangat bersyukur. Akhirnya, doanya satu per satu terkabul.Di sisi lain, dr Zain tersenyum menatap Performa Jeena di balik layar televisi. Seperti halnya Ana, ia begitu bangga pada putrinya. Namun ia sedih karena belum bisa menjenguk
Laila menengadah untuk menatap pemuda tampan yang menjulang tinggi di depannya. Ia takut salah mengenali orang. Alby biasanya banyak bicara saat bersamanya. Namun pemuda di depannya itu tidak.“Ayo!” seru pemuda itu dengan tersenyum manis. Laila merasa lega ternyata pemuda di depannya Alby. Alby selalu tersenyum saat berbicara dengannya. Sebetulnya pemuda di depannya adalah Beryl. Hari itu penampilannya terlihat berbeda. Karena sebentar lagi ia akan diangkat menjadi presdir di perusahaan, ia memaksimalkan penampilannya. Ia mencukur rambutnya hingga membuat Laila salah mengenalinya. Seingatnya Alby memotong rambutnya. Selain itu hari itu memang Beryl tidak mengenakan jasnya. Ia malas kembali ke dalam mobil untuk memakai jasnya. Beryl dan Alby merupakan saudara kembar identik. Siapapun tidak akan bisa membedakan rupanya. Barulah setelah mereka bicara, siapapun akan bisa membedakan siapa Beryl dan Alby.Dalam keseharian ke duanya sama-sama komunikatif dan supel. Apalagi Beryl– yang ser
Sulis datang diikuti oleh ke dua anak kembar identiknya, Beryl dan Alby. “Kenapa gak nunggu Omnya sih? Omnya juga pengen ngasih nama,” imbuh Beryl sembari menggamit tangan mungil istrinya.“Bayinya kembar identik juga ya,” Laila berkomentar dengan tersenyum manis menatap Rosa.Rosa menangguk. “Mereka kembar identik. Tapi … yang satu ada tanda lahir di dadanya. Yang satu enggak,”“Nah, ada juga bedanya,” gumam Ana hampir kebingungan. Dulu ia juga tidak bisa membedakan mana Alby atau Beryl.“Kalau masih bayi agak sulit emang. Kecuali udah gede,” tukas Sulis memandang ke dua putranya bergantian dengan mata yang memicing penuh arti.“Apa Mi?” Baik Beryl maupun Alby mendengus pelan.“Kalau udah gede, sikapnya kan beda. Jadi gak bakalan bingung,” imbuh Laila berkomentar. Pasha seketika terkekeh pelan. “Laila, sikap Beryl masih nyebelin gak udah nikah? Dia kan rada-rada sin—”“Sa, kenapa kamu jadi kasar begitu?” tegur dr Zain mengerutkan keningnya. “Tanya aja sama istri gue.”Beryl menj
Senja itu, langit terlihat indah dan cerah seakan menambah nuansa bahagia sepasang kekasih yang baru saja memulai hidup baru. Mobil yang dikendarai Pasha melaju pelan memasuki halaman kediaman sang ibu yang luas dan megah. Namun, di dalam mobil, dada Rosa terasa sesak. Jari-jarinya menggenggam erat selimut bayi yang membungkus salah satu anak kembarnya. Ia menoleh ke kursi bayi di sampingnya, tempat bayinya tertidur pulas.Pasha, yang duduk di sebelahnya, menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan hal yang mudah bagi Rosa. Wanita itu telah mengalami banyak hal, termasuk penolakan dari keluarganya sendiri. Kini, ia akan menghadapi keluarga besar.Situasinya berbeda. Jika dulu ia datang ke sana sebagai asisten pribadi Ana sekaligus pengawal Jeena. Sekarang, ia datang sebagai wanita yang telah melahirkan dua cucu sekaligus untuk keluarga Basalamah. “Rosa,” suara Pasha terdengar lembut, namun tegas. “Ini rumah kita sekarang. Kau tidak perlu takut.”Rosa menelan ludah, mencoba menenangkan
Pasha mengangguk dengan mantap. “Ya, mereka anak-anakku.”Alby merasa dunianya jungkir balik. “Kapan ini terjadi?! Kenapa aku nggak tahu?!“Sulis menepuk bahunya. “Mungkin karena kamu terlalu sibuk cari gara-gara sama Levina?”Alby masih tidak percaya. Ia berjalan mendekat dan mengintip bayi yang sedang berada di pelukan Pasha. Wajah mungil itu begitu polos, matanya tertutup rapat dengan pipi bulat menggemaskan.Alby memijat pelipisnya. “Oke. Ini kejutan besar. Aku perlu duduk.”Pasha tersenyum kecil. “Kamu bisa duduk di lantai kalau perlu.”Sulis hanya bisa menghela nafas lagi. “Sepertinya aku akan sering pusing mulai sekarang.”Tak lama kemudian Rosa keluar dari kamar mandi. Tatapannya bertemu dengan Alby.Alby menatap Rosa dengan tatapan bingung. Namun ia tidak ingin menghakimi siapapun di sana. “Sorry banget, aku kaget,”Pantas saja ibunya memintanya untuk menjenguk Rosa. Mungkin maksud ibunya ialah membesuk ke dua keponakannya. Ia tidak tahu ternyata hubungan Pasha dengan mantan
Jeena menatap layar laptopnya dengan rahang mengeras. Rekaman CCTV yang baru saja diputar memperlihatkan sesuatu yang menggetarkan hatinya—Rosa yang kesakitan, merintih di lantai, sementara Selina hanya berdiri, menatapnya dengan ekspresi kosong sebelum akhirnya berbalik dan pergi begitu saja.Sulis yang duduk di samping Jeena terkesiap. Jari-jarinya yang sudah mulai berkerut mencengkeram lengan kursinya. Napasnya memburu, dan ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi kemarahan yang mendidih.“Astaga, Jeena,” Sulis menggelengkan kepalanya tak percaya. “Anak itu benar-benar tega. Aku tahu dia punya dendam, tapi membiarkan seorang ibu dan bayinya dalam bahaya? Ini sudah kelewatan.”Jeena mengepalkan tangannya di atas pahanya. Matanya menyala, penuh dengan amarah. “Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja, Tante. Aku akan melaporkannya ke polisi sekarang juga! Bayangkan saja, bukankah dia seorang dokter? Namun membiarkan wanita hamil yang ingin melahirkan begitu saja, sungguh pe
“Sa, udah cukup. Aku udah kenyang.”Rosa menahan tangan Pasha untuk terus menyuapinya.Pasha pun menurut lalu menyerahkan sebotol air minum untuk Rosa, lengkap dengan sedotannya. Tanpa ragu, Rosa menerima air minum itu lalu meneguknya perlahan. Dengan telaten, Pasha pun menaruh nampan bekas makan Rosa di atas nakas. Lalu ia langsung memanggil perawat yang tiba di sana untuk membereskan bekas makan Rosa. Ia tidak bisa melihat ada barang kotor di sana.Setelah memastikan Rosa makan dengan benar, Pasha tak langsung beranjak dari sana. Ia kembali duduk di sisi Rosa, membetulkan bantal yang menjadi sandaran Rosa meskipun ia terlihat letih.“Sa,” imbuh Rosa menatap Pasha yang mengabaikan dirinya sendiri. Wajah pria tampan itu terlihat letih dengan penampilannya yang berantakan.“Apa?” tanya Pasha dengan suara serak—yang letih.“Kamu pulang aja,” Rosa menatap iba pemuda itu. “Kamu bisa istirahat di rumah. Di sini ada perawat kok,”Pasha menatap Rosa dengan tatapan penuh arti. Tangannya memb
“Siapa Na?” Sulis bertanya saat Ana tak kunjung mengangkat teleponnya.Ana melirik ke arah Sulis setelah mengatur ponsel itu menjadi silent. Untuk saat ini ia tidak ingin mendengar tentang Selina ataupun keluarganya. Ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan Pasha dan wanita pilihannya. Mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Pasha sudah memilih Rosa. Bahkan kini mereka sudah punya anak.Mungkin ia akan segera menangani soal pertunangan Pasha dengan Selina yang akan batal untuk ke dua kalinya. Ana belum tahu apa yang ditemukan oleh Jeena di apartemen Pasha. Andai Ana tahu apa yang terjadi pasti ia akan murka. Seolah memahami isyarat yang diberikan oleh Ana, Sulis pun memilih mendekat. Ke dua wanita yang sudah tidak muda itu lalu memilih keluar ruangan. “Dasha telepon,” imbuh Ana sembari merangkul lengan Sulis. Sulis menatap Ana dengan tatapan serius. “Kamu harus segera bertemu dengan Dasha. Kalau kamu takut, aku temani,”Ana meraih oksigen rakus lalu mengembuskannya dengan berat, menja
Rosa terdiam mendengar permintàan maaf mantan bosnya itu. Bukankah itu pertanda jika ia merestui hubungannya dengan putra kesayangannya?Dengan napas tersengal, Rosa mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha menyesuaikan diri dengan keberadaan wanita yang dulu menolak keberadaannya.Pasha yang duduk di kursi samping tempat tidur, langsung menggenggam tangan Rosa, seakan tahu bahwa Rosa sedang ketakutan. “Tenang, aku di sini,” bisiknya pelan.Ana memperhatikan interaksi mereka. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Mungkin itu penyesalan, mungkin itu rasa bersalah.“Nyonya … aku …” imbuh Rosa menggantung sebab Ana sudah lebih dulu memotongnya.“Jangan banyak bicara. Kau masih belum pulih,” ucap Ana dengan nada simpatik.Rosa menunduk, menatap selimutnya dengan pandangan kosong. Ia masih takut. Ia ingat dengan jelas bagaimana Ana dulu mengatakan bahwa ia tidak pantas untuk Pasha, dan permintaannya agar bisa menjauh dari Pasha.Tapi kini, Ana ada
Di ruangan bernuansa putih yang sepi, hanya suara detak monitor dan hembusan lembut oksigen yang menemani. Lampu redup di langit-langit menerangi wajah pucat Rosa yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Kini ia sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.Di sampingnya, Pasha duduk dengan tubuh lelah, pakaian kusut, rambut berantakan, dan mata yang sembab. Namun, ia tetap tidak beranjak.Tangannya menggenggam erat jemari Rosa, seolah takut kehilangan lagi.Kelopak mata Rosa mulai bergerak. Pelan, ia membuka matanya, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Pandangannya buram sesaat, sebelum akhirnya menangkap sosok di sampingnya.Pasha.Dengan wajah yang begitu lelah, namun tatapan matanya hangat… dan penuh penyesalan.“Pasha,” suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Sekejap, Pasha menegakkan tubuhnya. Matanya membulat, penuh keterkejutan sekaligus kelegaan.“Kamu sadar,” suaranya bergetar. Jemarinya refleks menggenggam tangan Rosa lebih erat, seolah ingin memastikan ini bukan
Ana berdiri di depan ruang ICU dengan perasaan campur aduk. Matanya sembab karena menangis terlalu lama, tapi ia tetap berdiri di sana, menunggu.Hatinya berdegup kencang saat akhirnya pintu ICU terbuka. Lalu tampaklah Pasha melangkah keluar.Putranya tampak berantakan—wajahnya pucat, rambutnya kusut, dan matanya merah karena letih. Seorang pria yang terbebani oleh terlalu banyak emosi.“Pasha,” suara Ana nyaris berbisik.Tapi Pasha bahkan tidak menoleh. Pemuda tampan itu berjalan lurus, melewati Ana begitu saja, seolah ibunya tidak ada di sana.Ana menahan napas. Sakit. Hatinya terasa diremuk. Tapi ia tahu—ia pantas mendapatkannya. Pasha sangat marah dan kecewa padanya. Dengan cepat, Ana berbalik dan mengejar langkah Pasha yang menuju bangku tunggu di lorong rumah sakit.“Pasha… Nak, dengar dulu,” suara Ana sedikit gemetar, mencoba menyentuh lengan putranya.Tapi Pasha menepis tangannya, menghindar. Ana merasa tersentak mendapat perlakuan Pasha seperti itu. Pasha putranya yang manja