Night, night everyone
“Mas, apa kamu setuju?” tanya Putri Melati pada pria tampan di sampingnya. Jujur, dalam lubuk hati terdalam, ia takut mendengar jawaban suaminya yang tak diharapkan. Ia hanya ingin putranya mendapatkan cintanya. Kebahagiaan Manggala adalah segalanya.Saat istri tercinta menyentuh lengannya dengan lembut, Aldino menoleh ke arah istrinya dengan tatapan yang sukar diartikan. Seperti sebuah tatapan yang mengandung emosi. Aldino terlihat menyelami hatinya melalui tatapan itu.Semua orang yang berada di sana sangat penasaran menunggu detik demi detik Aldino mengiyakan permintàan Manggala dan Jeena. Detik-detik yang sangat berharga. Siapapun orang tahu jika pria itu memiliki sifat yang keras kepala dan temperamen. Sekali ia mengambil keputusan, maka ia tidak akan mengubah lagi keputusannya.Aldino hanya menatap wajah istrinya dengan perasaan yang campur aduk. Wanita yang dinikahinya itu begitu berhati lembut dan baik. Bagaimana bisa ia memaafkan Ana yang sudah menyakitinya. Karena Ana patah
“Tidak Ayah! Kita tidak boleh menyerah.”Danar merespon ayahnya dengan penuh amarah. Sang ayah tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa mengabarinya terlebih dahulu.Begitupula dengan Diajeng yang menatap tajam suaminya. “Tidak Mas! Yang benar saja! Kita tidak akan pernah menjual perusahaan yang sudah lama kita rintis. Pasti ada jalan keluar lain!” “Bu, semua sudah terlambat. Coba tanyakan pada anakmu? Pengusaha mana yang mau membeli perusahaan yang nyaris kolaps. Kita pulang saja ke Jogja. Di sana kita masih punya aset. Daripada perusahaan kita jatuh pada Miguel Eduardo. Perusahaan Waluyo masih memberikan harga yang masuk akal.”Adi Yudistira menjelaskan dengan apa adanya. Tentu saja, seperti anaknya, ia juga merasakan sebuah kekecewaan yang berat. Namun setidaknya mereka masih memiliki aset. Bagaimanapun, mereka juga sudah berbuat semaksimal mungkin untuk mempertahankan perusahaan. Ada banyak faktor yang menyebabkan perusahaan Yudistira gulung tikar. Posisi Danar yang bermasalah dalam se
Setelah pertemuan makan malam di restoran western akhirnya keluarga Manggala dan keluarga Jeena berdamai untuk kemudian berembuk, memutuskan hari bahagia bagi anak mereka. Akhirnya pihak keluarga sepakat jika acara lamaran akan diadakan seminggu kemudian. Jeena terpaksa menunda kepergiannya ke luar negeri demi acara penting tersebut. Sore itu, Manggala melamar Jeena di kediamannya dengan dihadiri oleh keluarga inti baik dari pihak keluarga lelaki maupun perempuan serta sahabat terdekat yang diundang secara khusus.Suasana kediaman Ana yang luas menjadi sebuah tempat yang tepat untuk mengadakan acara lamaran secara outdoor. Halaman rumah itu kini sudah didekorasi menjadi tempat acara yang bernuansa alam dan didominasi oleh warna putih berasal dari bebungaan mawar putih.Ana menarik nafas dalam saat melihat suasana rumahnya yang sudah disulap itu menjadi sebuah venue lamaran. Pemandangan yang menakjubkan itu adalah mimpinya saat ia benar-benar mengharapkan Aldino sebagai calon suaminya.
Di luar kediaman Jeena, dua orang gadis bersitatap dengan wajah kaget. Ke duanya dipertemukan di sana karena sebuah undangan. “Serina!” seru gadis bercadar saat tatapannya bertemu dengan sosok gadis dalam balutan pashmina berwarna merah muda. Gadis berjilbab merah muda pun sedikit terkesiap melihat temannya. “Laila!” Ke duanya tampak terkejut. Hanya saja, Laila terkejut bahagia karena bisa bertemu dengan Serina yang dianggap temannya. Sementara itu, Serina terkejut dan kesal karena Laila bisa datang ke acara Jeena. Apa hubungan Laila dengan Jeena atau keluarga Basalamah?“Kamu ngapain di sini?” tanya Serina spontan. Mana boleh Laila hadir ke acara itu. Pasti kebohongannya akan terungkap jika Laila menghadiri acara pertunangan Jeena dan Manggala.“Kamu juga?” tanya Laila dengan kekehan pelan. “Ya Allah, takdir ya! Kita ketemu terus. Padahal aku tidak menyimpan nomormu,”“Aku diundang oleh Mas Beryl,” jawab Serina dengan raut wajah yang cemas. Mendadak ia merasa gugup. Ia harus bisa m
“Makasih, Mbak,” imbuh Laila pada seorang wanita bertubuh jangkung yang mempersilakannya masuk. Kebetulan saat itu Rosa sedang mendapat giliran patroli, memantau tamu siapa saja yang masuk ke dalam kediaman majikannya.Bertepatan Rosa keluar, Laila berada di sana sehingga Laila akhirnya bisa dipersilakan masuk. Rosa sudah mengenal Laila sebelumnya, karena Jeena juga sudah menceritakan tentang gadis itu padanya.“Sama-sama,” jawab Rosa dengan tersenyum tipis. Wanita cantik yang kini terlihat manglingi, karena memakai kebaya yang membalut tubuh rampingnya menuntun Laila masuk ke dalam hunian mewah tersebut.Laila sampai menganga melihat rumah besar nan mewah yang telah disulap menjadi sebuah venue lamaran. Hingga tanpa sàdar, ia menganga karena takjub. Terlihat kampungan memang, namun ia memang cukup ekspresif sehingga dengan begitu mudah mengekspresikan perasaannya. Beruntung ia memakai cadar sehingga tidak ada orang yang tahu raut dan wajah aslinya yang cantik.“Oalah, aku menghadiri a
“Gue gak butuh uang lo!” tukas Laila kemudian menegakkan tubuhnya dan menatap nyalang pemuda di hadapannya. “What? Kok malah nyolot sih,” jawab Beryl merasa tak terima dengan respon Laila.“Pikir aja sendiri,” imbuhnya dengan menghentakkan kakinya kesal. Ia kemudian pergi meninggalkan Beryl dan langsung menghampiri Jeena—yang kebetulan sudah turun dari panggung itu.“Selamat!” ucap Laila memeluk Jeena dengan penuh haru. Kemudian ia melirik ke arah Manggala–yang terlihat heran melihat kedatangannya.“Aku yang undang, Laila, Mas,” seru Jeena saat melihat raut tampan tunangannya.Manggala manggut-manggut dan tersenyum ke arah Laila. “Jadi kalian udah akrab nih,”Laila menatap Jeena yang juga menatapnya. Kemudian Jeena tertawa. “Iya, kami berteman sekarang. Laila seperti adikku, Mas,”Jeena tidak mengatakan pada siapapun kalau Laila adalah tutor online bahasa Inggris.“Betul, Mas Gala. Sekarang kami berteman,” jawab Laila terdengar ceria.“Kamu dengan siapa ke sini? Jauh-jauh dari Bogor,”
Beberapa hari setelah acara pertunangan adalah waktu keberangkatan Jeena menuju Manhattan. Sang ibu sudah mempersiapkan segalanya untuk putrinya. Ia sudah membeli sebuah unit apartemen yang akan ditinggali oleh Jeena selama berada di sana.Bulan pertama, ia juga akan ikut tinggal memboyong serta merta Sagara di sana. Ia mengambil liburan lebih awal dari jadwal manggungnya di beberapa tempat konser yang berkolaborasi dengan penyanyi tanah air demi membersamai putrinya.Ana seorang ibu yang pengertian. Mungkin bagi Jeena tak mudah tinggal di luar negeri berbeda dengannya yang sudah pernah tinggal lama di sana. Itulah alasan mengapa wanita berhidung bangir itu akan menemaninya untuk sementara waktu.Sayang, Manggala tidak bisa ikut mengantar keberangkatan kekasihnya itu. Ia sedang berada di Salatiga menemani sang ayah bertemu dengan investor. Manggala berusaha gencar meluluhkan hati sang ayah yang masih belum sepenuhnya memberikan restunya pada hubungannya dengan Jeena.Kata-kata restu it
“Kamu membunuh sembarang orang! Kamu penjahat! Kamu memang iblis! Kamu membunuh orang hanya karena kesalahan kecil!” pekik Yasmin dengan suara yang bergetar hebat.Miguel tidak bisa terima perkataan Yasmin. Ia menggeram pelan lalu berkata dengan penuh penekanan padanya. “Kamu bilang kesalahan kecil? Dia mencoba mendekati wanitaku, kamu bilang kesalahan kecil?”Tangisan Yasmin tumpah ruah. Ia benar-benar ketakutan. Ia merasa syok karena melihat dengan mata kepala sendiri Miguel menembak salah satu anak buahnya karena berusaha mendekati Yasmin.Saat itu Yasmin hanya mengajak mengobrol pria itu, berusaha bernegosiasi dengannya, ingin melarikan diri dari situasi itu. Naasnya, pria itu tidak bersedia menolongnya. Alih-alih berniat membantunya keluar dari apartemen atasannya, ia justru mencoba menggoda Yasmin.Miguel yang melihat kedekatan mereka langsung murka. Ia menodongkan pistol dan langsung menghabisi nyawa bawahannya dengan begitu mudahnya.“Yasmin! Ayo!”Miguel berkata dengan nada g
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan g
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s
Pukul lima pagi keesokan harinya, Serina dibangunkan oleh suara gong. Bukan alarm lembut di ponselnya, tetapi gong sungguhan yang dipukul oleh salah satu pelayan rumah. GONG! GONG! GONG!Serina terlonjak dari tempat tidur. “APAAN NIH? GEMPA?!”Nadia, sepupunya yang tinggal di rumah itu, menyeringai dari ambang pintu. “Bukan gempa, Sayang. Itu tanda bahwa kita harus bangun dan bersiap.”Serina mengusap wajahnya yang masih mengantuk. “Ini masih subuh! Aku butuh lima jam tidur lagi!”Nadia tertawa. “Selamat datang di rumah Tante Rosalinda!” Serina menggerutu sepanjang jalan menuju halaman belakang, tempat olahraga pagi dilakukan. Di sana, Rosalinda sudah menunggu dengan setelan olahraga yang sangat rapi. Beberapa pelayan rumah tangga juga ikut serta. “Baiklah, kita mulai dengan lari keliling halaman sepuluh putaran,” perintah Rosalinda. Serina terkejut. “Sepuluh?!” “Kalau protes, aku tambah jadi lima belas.”Serina langsung tutup mulut dan mulai berlari, meskipun rasanya seperti
Setelah berbincang lama dengan Laila dengan mengangkat topik yang berbeda-beda, Beryl mengambil jeda. Sudah cukup! Laila sudah terlihat lebih baik. Sudah saatnya ia mengungkapkan maksud inti kedatangannya ke sana. Sebagai seorang pria, ia akan memberanikan diri mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. Perkara Laila menolaknya terserah nanti. Namun ia sudah tak bisa lagi memanjangkan sumbu kesabaran untuk menahannya. Nanti bisa-bisa kepalanya meledak.“Laila,” panggil Beryl menatap Laila lurus, terdengar serius.Laila pun mengangkat mata setelah mengecek ponselnya. Ayahnya mengirim pesan padanya, ia masih berada di jalan. Laila mengabari ayahnya soal tamu yang datang. Tak mungkin ia membiarkan tamunya begitu saja. Sang ayah harus tahu siapa tamu yang datang untuk putrinya.“Apa, Pak?” tanya Laila dengan tenang.Beryl menekuk wajahnya saat Laila memanggilnya dengan Bapak.Laila—yang peka terhadap perubahan ekspresi wajahnya itu langsung meralat panggilnya. “Ada apa Kak Bery
Beryl turun dari mobil dengan hati berdebar. Sudah sekian lama ia menunggu saat ini—bertemu Laila lagi, setelah semua kejadian yang menimpa mereka. Sengaja, ia tidak memberikan kabar padanya. Ia ingin memberikan kejutan.Meninggalkan Alby yang masih berada di luar, Beryl melangkah masuk ke rumah mewah itu dengan napas yang sedikit tertahan, seperti anak kecil yang hendak membuka hadiah ulang tahun.Pintu rumah mewah itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang begitu dirindukannya. Laila, dalam balutan gamis berwarna merah muda sedang berjuang berdiri tegak di ruang tamu yang luas. Perawat Febi dengan sabar menopangnya, sementara Laila berkali-kali menggerutu, “Aku bisa sendiri! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!”Laila kembali cerewet, pertanda ia mulai sembuh. Namun, belum sampai tiga detik, tubuhnya oleng ke samping.“Ya Allah, Nona! Jangan maksa!” pekik Febi panik, buru-buru menangkapnya agar tidak jatuh.Namun Laila yang gigih tidak akan menyerah begitu saja. Ia