“Aku tidak ada masalah, kok. Hanya merindukan mami-papi.” Elak Erina.
Aruna merasa bersalah pada sang kakak. Karena ulahnya, Erina harus jadi ikut kena getah. Padahal, ia tahu kakak sepupunya itu tidak pernah betah lama-lama jauh dari orangtua. “Maaf ya, Kak! Karena ak—”“Sst ... Pikiran kamu terlalu jauh, aku baik-baik saja.” Erina dengan cepat memotong ucapan Aruna.Aruna tidak percaya seratus persen pada ucapan Erina. Meskipun benar, tapi ia merasa ada hal lain yang disembunyikan sang kakak darinya. Aruna ingin menanyakan hal itu, tapi anak dari omnya itu seperti enggan untuk berbagi. Ia juga tidak bisa memaksa Erina bercerita, lebih baik menunggu saat sang kakak siap untuk mengatakannya.
Dua hari berlalu ...
“Runa, bangun! Kamu janji kita pulang sekarang bukan?” Hampir setengah jam Erina membangunkan Aruna, tapi ia tetap bergeming. Erina yang mulai jengah dengan adik sepupunya itu, menyiram Aruna dengan segelas air.“Banjir ... banjir ... banjir,” Aruna bangkit dan berteriak-teriak, sedangkan Erina sampai mengeluarkan air mata karena tertawa.Aruna ternganga melihat sang kakak. Ia sudah seperti orang gila, tapi tanpa merasa salah Erina menertawakannya. Jika bukan saudara, mungkin Aruna sudah melemparkan Erina ke laut yang terlihat dari penthouse mereka. Dengan wajah masam, Aruna menyapu mukanya yang basah.
“Kakak mengerjaiku?” tanya Aruna bertolak pinggang.
“Siapa suruh kamu susah dibangunin? Cepat mandi! Aku tidak sabar bertemu dengan papi dan mami, yang pasti aku tidak terkurung lagi di sini.”“Iya!” jawab Aruana pasrah.Tidak butuh waktu lama bagi Aruna untuk bersiap-siap. Ia mengubah penampilan menjadi wanita tomboi. Menggunakan jaket levis, jeans panjang dan topi. Erina yang melihat penampilan sang adik memerhatikannya dari atas sambai ke bawah.
“Kamu serius akan berpenampilan seperti ini?” tanya Aruna.
“Kenapa? Jelek ya, Kak?”“Bukan jelek, tapi aneh saja.” Aruna memajukan bibirnya mendengar pernyataan sang kakak.“Biarin! Yuk ah, pulang!” Aruna berjalan mendahului Erina dan duduk di bangku penumpang.“Aku bukan supir, Aruna. Duduk di depan!”“Aku masih ngantuk, Kak. Jadi mau lanjut tidur, lagian siapa suruh kakak menganggu tidurku,” sungut Aruna.Erina hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sang adik. Saat Erina sudah menghidupkan mesin mobil, Aruna menyuruhnya mematikan. Kemudian, ia bergegas keluar.
“Kenapa lagi sih, Run?” Erina mulai kesal dengan tingkah sang adik.“Kak, kalau kita pulang dengan mobil ini otomatis Marvin akan mengenalinya. Lebih baik kita pulang naik taksi saja, Kak.”“Terserah kamu lah!”Taksi yang mereka tumpangi sudah memasuki kawasan rumah Aruna, ketika mobil akan berhenti Aruna malah menyuruhnya lanjut. Ia juga menarik tangan Erina agar duduk di bawah, seperti bersembunyi dari seseorang. Saat Erina akan bertanya, Aruna lebih dulu membekap mulutnya. Setelah merasa aman, baru Aruna melepaskan tangannya.
“Selamat!” gumam Aruna.
“Kamu apa-apaan sih, Run? Aku udah kayak tawanan tau nggak,” Erina merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan.“Kakak tidak lihat, Marvin lagi mantau rumah aku. Aku belum siap bertemu dengan dia, Kak.” Erina dapat menangkap nada kesedihan dari suara Aruna.“Kalau kamu masih mencintainya, kenapa memilih berpisah?” “Karena cinta sepihak tidak mungkin untuk bertahan, Kak. aku hanya butuh lebih banyak waktu agar bisa melupakan seutuhnya.”“Taksi siapa itu?” tanya Marvin pada diri sendiri.
“Kenapa tidak jadi berhenti?”Ia berencana mengikuti taksi tersebut, tapi hatinya kembali menyadarkan. Jika ia pergi dan Aruna kembali, maka ia tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan sang kekasih.Setiap hari Marvin memantau kediaman Aruna, ia selalu berharap kekasihnya kembali dan mau memberi kesempatan lagi. Segala usaha telah Marvin lakukan untuk mencari Aruna, tapi tak ada yang membuahkan hasil. Kini, Marvin hanya bisa menunggu takdir untuk mempertemukan mereka kembali.
“Berhenti di perempatan ya, Pak!” pinta Aruna pada supir taksi.
“Loh, Run! Kita mau ngapain berhenti di sana?”“Kakakku tersayang ... kita tidak mungkin lewat depan, jadi lebih baik kita masuk di pintu belakang saja.”“Jauh loh, Run!” protes Erina.Aruna tidak menanggapi, ia raih tangan sang kakak dan membawanya turun. Sepanjang jalan Erina terus saja merengut, tapi Aruna tidak peduli. Bagi Aruna yang terpenting adalah menghindar dari Marvin.Prank!
Bunyi nyaring terdengar jelas ke telinga Luna dan Aditya yang tengah bersantai. Mendengar sesuatu terjatuh, mereka sontak berlari memeriksa sumber suara. Luna dan Aditya melihat dua orang wanita muda tengah berjalan mundur dengan mengendap-endap.“Siapa kalian?” tanya Aditya.
Erina dan Aruna berhenti saat mendengar suara Aditya. Mereka berbalik dan menampilkan deretan gigi putih mereka.“Papa-mama/Om-tante,” sapa Erina dan Aruna serempak.“Kalian?” Luna kontan menghambur memeluk Aruna, ia sangat merindukan sang putri. Aditya pun tidak mau kalah, ia turut memeluk dua wanita yang sangat berharga di dalam hidupnya itu.
Erina tersenyum bahagia, ia senang Aruna mau kembali ke rumah. Lari dari masalah tidak akan pernah menyelesaikannya, tapi akan memunculkan konflik baru.
“Aku tidak dianggap ceritanya, nih!” sindir Erina pura-pura kesal.“Maafkan tante, Sayang!” Luna beralih memeluk Erina.“Terima kasih, Rin! Kamu sudah menjaga Aruna,” ujar Luna lagi sembari merenggangkan pelukannya.“Sudah menjadi tugasku, tante.”
“Kita makan siang di sini dulu ya, Rin!” ajak Aditya.“Maaf! Om, tante. Aku harus pulang, mami dan papi pasti menungguku.”Mereka mengizinkan Erina pulang dengan syarat harus diantar supir pribadi. Luna tidak ingin terjadi sesuatu dengan putri kakaknya itu, apalagi Erina telah berbaik hati menemani Aruna selama menghilang.Keesokan pagi, Aruna kembali beraktivitas. Namun, ia membatasi orang-orang yang ingin berinteraksi dengannya. Hanya Lea—sekretaris sekaligus teman baiknya yang diizinkan masuk ke ruangan Aruna.
Saat memasuki ruangan, Lea menangkap jelas jejak kesedihan di wajah Aruna. Ia sudah mendengar insiden yang terjadi pada hari pernikahan sang sahabat. Lea sangat menyayangkan sikap calon suami Aruna yang tega meninggalkannya, hanya demi bayangan masa lalu.
“Run?” sapa Lea.
“Lo udah denger kan kisah gue?” tanya Aruna, Lea hanya mengangguk ragu.“Yang sabar, ya. Gue yakin lo kuat. Apa lo akan tetap melanjutkan pernikahan?”“Menurut lo apa aku masih sanggup?”Lea mendekat, ia peluk sang sahabat dengan erat. Seolah ia memberitahu Aruna, bahwa ia tidak sendiri.“Gue yakin lo udah ngambil keputusan yang tepat,” ujar Lea melepaskan rangkulan.
“Thank’s Le! Karena selalu mendukung gue,”“Yah! Oh iya, gue ke sini mau mengantarkan laporan pembangunan hotel cabang kita.”Aruna menerimanya dan Lea pamit undur diri.Berselang setengah jam, Lea kembali ke ruangan Aruna.
“Kenapa, Le? Ada yang kurang berkasnya?”“Bukan, Run. Aku cuma mau kasih tau, Marvin menunggu kamu di luar.”Bersambung ...
Aruna tidak kaget sama sekali, ia yakin mantan calon suaminya itu akan segera tahu dia kembali.“Katakan padanya, aku sibuk dan tidak ingin bertemu dengan siapapun,” tegas Aruna.Lea tidak beranjak, ia masih memandangi wajah Aruna dengan perasaan bertanya-tanya.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Aruna.“Tidak! Saranku, lebih baik kamu temui dia! Marvin sepertinya sangat terpukul sejak kamu tinggalkan,” imbuh Lea.Aruna tidak menanggapi ucapan Lea, ia fokus dengan laptop dan rancangan strategi yang akan ia gunakan untuk menambah daya tarik hotelnya. Lea pun bergeming, ia ingin Aruna menyelesaikan persoalan yang menghinggapi kehidupannya, bukan selalu menghindari.Hampir 15 menit Aruna dan Lea bertanding diam. Akhirnya Aruna mengalah, ia tidak bisa mengabaikan orang yang selalu hadir saat ia butuh.“Sampai kapan kamu akan berdiri, Le? Jangan menyiksa dirimu demi orang lain,” seru Aruna.
Keraguan tidak hanya terbesit dalam kepala Aruna, tapi bersarang. Ia takut untuk mengambil resiko ini. Namun, apa yang dikatakan sang mama ada benarnya. Mungkin pilihan Aruna kemaren kurang tepat dan pilihan orangtua lebih baik untuknya. 1 Minggu berlaluHari ini Aruna akan menikah denga pria pilihan orangtuanya, tapi sampai detik ini sang kakak—Erina belum jua menampakkan diri. Dihubungi pun tidak bisa, padahal ia berharap bisa berbagi kesedihan dengan sang kakak. “Kamu di mana sih, Kak?” ucap Aruna dalam hati. Saat akan menikah dengan Marvin, Aruna berharap tidak ada kendala sama sekali. Ia sudah membayangkan bagaimana bahagianya bisa hidup dengan pria yang dicintai. Namun, kali ini ia berdoa agar ada permasalahan yang terjadi dan pernikahan batal. Terdengar konyol memang, tapi pikiran itulah yang melintas di benak Aruna. “Run! Kamu udah siap, Sayang?” Luna menghampiri sang anak yang masih di rias.“Ya, sepertinya,” jawab Aruna lesu.Luna mengerti dengan perasaan sang anak, tapi h
Aruna yang mendengar teriakan Keen dan suara tabrakan menoleh ke belakang, ternyata suaminya menjadi korban tabrak lari. Keen yang terus mengejar Aruna tidak memerhatikan jalan sama sekali, sehingga ia tidak menyadari jika ada mobil yang melaju kencang dari arah kiri.“Keen...” desis Runa.Wanita yang baru saja menikah itu bimbang, harus menolong sang suami atau tetap berlari. Ia takut jika mendekat ternyata luka Keen tidak separah itu dan laki-laki itu pasti menangkap dan tidak akan melepasnya lagi.‘Tapi.. jika tidak kutolong, kejam sekali diriku,’ bisik hati Aruna.Akhirnya Aruna memutuskan mundur ke belakang untuk memeriksa keadaan sang suami. Meskipun ia ditipu oleh Keen, paling tidak Aruna masih memiliki rasa simpati pada orang yang sedang butuh pertolongan.“Permisi, Pak..” ucap Aruna pada bapak-bapak yang sedang mengelilingi tubuh Keen. Ternyata luka pengacara itu cukup parah, tapi untungnya dia masih sadar meski meringis kesakitan.“Pak, tolong panggilkan ambulan. Saya mengen
Sesampainya di rumah sakit, Aluna langsung menuju ruangan Keen. Ia melihat Mela tengah tersedu-sedu di bangku tunggu. Sedangkan suami Mela, Luna tidak melihatnya. "Mel?" Aluna menepuk bahu sang besan. "Aluna, " tanpa basa basi, Mela menghambur dalam pelukan mertua anaknya itu. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, rasa bersalah seolah menggerogoti perasaannya. Aruna kabur dan Keen terbaring di rumah sakit, Mela merasa mendapat kutukan atas semua yang terjadi."Maafin aku, Lun," ucap Mela penuh penyesalan. Aluna hanya mengangguk, ia tidak bisa menyalahkan Mela sepenuhnya. Karena yang paling bersalah dalam situasi ini adalah ia dan suaminya--Aditya. Awalnya Erina yang akan menikah dengan Keen, tapi bercermin pada kisah percintaan sang adik, Erina menjadi ragu untuk melanjutkan pernikahan. Apalagi ia tidak mengenal Keen sama sekali. Karena merasa tersudut dengan permintaan orangtuanya untuk menikah, Erina melakukan hal yang sama seperti Aruna yaitu kabur. Namun, yang tak pernah ada d
“Apa yang sedang kamu pikirkan, hem?”“Banyak... Sangat banyak, bahkan kepalaku rasanya tidak sanggup lagi menampungnya.” Gadis dengan piyama polkadot itu mendekati sang adik dengan membawa secangkir teh hangat. Ia tidak tahu masalah apa yang membawa saudara sepupunya tiba di sana, tapi wanita 24 tahun itu juga segan untuk bertanya.Yah... Mereka adalah Aruna dan Erina yang sedang melarikan diri dari rumah. Aruna tidak tahu jika sang kakak berada di panthouse itu, tapi ia juga tidak terkejut. Karena setelah apa yang ia alami, Aruna yakin Erina memang sengaja menghindari pernikahan dan sekarang berimbas pada dirinya.“Terimakasih,” ucap Aruna seadanya.Erina merasa ada yang janggal dengan sikap sang adik. Karena sejak awal datang, Aruna tidak pernah sekalipun menggunakan embel-embel kakak.Cukup lama Erina dan Aruna diam-diaman karena tidak ada yang membuka percakapan. Erina sibuk dengan pikirannya, begitupun dengan Aruna.“Apa tidak ada yang ingin diceritakan padaku?” ujar Aruna tiba-
Lama Aruna menimbang-nimbang untuk mengatakan pada sang kakak tentang rencananya. Ia takut Erina tidak setuju dan membocorkan pada kedua orangtuanya. Aruna hanya ingin menenangkan diri untuk sementara, jika waktu tiba ia juga akan kembali ke kehidupan semula. “Kenapa malah diem?” “Hemm... Apa kakak mau berjanji dulu padaku? Bahwa hal ini hanya antara kita, tidak siapapun termasuk mama-papa ataupun om Kevin dan tante Key.” Aruna menceritakan rencana untuk pindah dari kota yang sekarang dan berhenti bekerja di perusahaan keluarga. Namun, ia tidak ingin siapapun mengetahui kepergiannya. Aruna butuh waktu untuk memulihkan cedera perasaan yang ia alami. “Tapi kenapa tante dan om tidak boleh tahu? Jika mereka bertanya aku harus jawab apa? Emang kamu yakin mau pindah? Kemana?” tanya Erina beruntut. “Begini, Kak. Aku tidak percaya pada siapapun sekarang. Jika mama dan papa tahu, mereka pasti akan memberitahu keluarga pengacara itu. Dan aku akan kembali menjadi buronan.” Aruna menjeda ucap
“Kemana lagi kita harus mencari mereka, Bang?” ucap Aluna dengan penuh kekhawatiran. Jika sebelumnya mereka bersama, bagaimana sekarang? Mereka pergi terpisah dengan alasan yang berbeda. Aluna sangat takut hal buruk terjadi pada puteri dan keponakannya.“Aku tidak tahu, Lun. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa agar anak-anak kita segera ditemukan.”“Bagaimana jika mereka tidak ditemukan?” timpal Keyla.“Kak Key... Kita berdoa saja, semoga mereka lekas kembali.” Bukan Aluna yang menjawab, melainkan Aditya. Ia masih setia memeluk sang isteri yang tak henti-hentinya menangis. Aditya juga sangat khawatir dengan Aruna dan Erina, tapi ia harus lebih tegar agar terus bisa menjadi sandaran bagi Aluna.“Ini semua salahku, Pi..” tukas Keyla lagi.Ia merasa sangat bersalah pada anak dan keponakannnya. Karena terus mendesak Erina menikah dengan Keen, akhirnya sang anak kabur. Sedangkan Aluna kecewa dengan ide yang Keyla cetuskan, juga memilih untuk pergi.“Sudahlah, Mi. Tidak baik menyalahkan dir
“Uugghhh.. Selamat pagi, Jakarta. Sepertinya, tidurku cukup nyenyak semalam,” oceh seorang wanita muda. Ia berjalan mendekati jendela dan membuka tirai. Pemandangan Jakarta cukup berbeda dan udara pagi yang sangat menenangkan perasaan. Bukan berarti udara di sana lebih bersih dibandingkan Bali, tapi pagi ini merupakan hari pertama baginya menjalani kehidupan yang jauh lebih mudah.“Aruna... Mari pikirkan hal apa yang bisa kamu lakukan di kota metropolitan ini,” dialog Runa pada diri sendiri.Sebelum memulai aktivitas, Aruna berpikir untuk mengganti identitasnya lebih dulu. Karena dengan begitu ia lebih leluasa melakukan apa yang diinginkan. Aruna mengubah namanya dari Aruna Batari Deolinda menjadi Atari Deolin. Ia tidak menukar namanya secara utuh sebab itu merupakan pemberian orangtua yang berarti doa baginya, jadi Aruna hanya menyingkat.Ting ...Ponsel Runa berbunyi menandakan pesan masuk,[Bagaimana kehidupanmu sekarang?] teks yang tertera di layar ponsel Aruna.Ia tersenyum, [Ten
“Uugghhh.. Selamat pagi, Jakarta. Sepertinya, tidurku cukup nyenyak semalam,” oceh seorang wanita muda. Ia berjalan mendekati jendela dan membuka tirai. Pemandangan Jakarta cukup berbeda dan udara pagi yang sangat menenangkan perasaan. Bukan berarti udara di sana lebih bersih dibandingkan Bali, tapi pagi ini merupakan hari pertama baginya menjalani kehidupan yang jauh lebih mudah.“Aruna... Mari pikirkan hal apa yang bisa kamu lakukan di kota metropolitan ini,” dialog Runa pada diri sendiri.Sebelum memulai aktivitas, Aruna berpikir untuk mengganti identitasnya lebih dulu. Karena dengan begitu ia lebih leluasa melakukan apa yang diinginkan. Aruna mengubah namanya dari Aruna Batari Deolinda menjadi Atari Deolin. Ia tidak menukar namanya secara utuh sebab itu merupakan pemberian orangtua yang berarti doa baginya, jadi Aruna hanya menyingkat.Ting ...Ponsel Runa berbunyi menandakan pesan masuk,[Bagaimana kehidupanmu sekarang?] teks yang tertera di layar ponsel Aruna.Ia tersenyum, [Ten
“Kemana lagi kita harus mencari mereka, Bang?” ucap Aluna dengan penuh kekhawatiran. Jika sebelumnya mereka bersama, bagaimana sekarang? Mereka pergi terpisah dengan alasan yang berbeda. Aluna sangat takut hal buruk terjadi pada puteri dan keponakannya.“Aku tidak tahu, Lun. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa agar anak-anak kita segera ditemukan.”“Bagaimana jika mereka tidak ditemukan?” timpal Keyla.“Kak Key... Kita berdoa saja, semoga mereka lekas kembali.” Bukan Aluna yang menjawab, melainkan Aditya. Ia masih setia memeluk sang isteri yang tak henti-hentinya menangis. Aditya juga sangat khawatir dengan Aruna dan Erina, tapi ia harus lebih tegar agar terus bisa menjadi sandaran bagi Aluna.“Ini semua salahku, Pi..” tukas Keyla lagi.Ia merasa sangat bersalah pada anak dan keponakannnya. Karena terus mendesak Erina menikah dengan Keen, akhirnya sang anak kabur. Sedangkan Aluna kecewa dengan ide yang Keyla cetuskan, juga memilih untuk pergi.“Sudahlah, Mi. Tidak baik menyalahkan dir
Lama Aruna menimbang-nimbang untuk mengatakan pada sang kakak tentang rencananya. Ia takut Erina tidak setuju dan membocorkan pada kedua orangtuanya. Aruna hanya ingin menenangkan diri untuk sementara, jika waktu tiba ia juga akan kembali ke kehidupan semula. “Kenapa malah diem?” “Hemm... Apa kakak mau berjanji dulu padaku? Bahwa hal ini hanya antara kita, tidak siapapun termasuk mama-papa ataupun om Kevin dan tante Key.” Aruna menceritakan rencana untuk pindah dari kota yang sekarang dan berhenti bekerja di perusahaan keluarga. Namun, ia tidak ingin siapapun mengetahui kepergiannya. Aruna butuh waktu untuk memulihkan cedera perasaan yang ia alami. “Tapi kenapa tante dan om tidak boleh tahu? Jika mereka bertanya aku harus jawab apa? Emang kamu yakin mau pindah? Kemana?” tanya Erina beruntut. “Begini, Kak. Aku tidak percaya pada siapapun sekarang. Jika mama dan papa tahu, mereka pasti akan memberitahu keluarga pengacara itu. Dan aku akan kembali menjadi buronan.” Aruna menjeda ucap
“Apa yang sedang kamu pikirkan, hem?”“Banyak... Sangat banyak, bahkan kepalaku rasanya tidak sanggup lagi menampungnya.” Gadis dengan piyama polkadot itu mendekati sang adik dengan membawa secangkir teh hangat. Ia tidak tahu masalah apa yang membawa saudara sepupunya tiba di sana, tapi wanita 24 tahun itu juga segan untuk bertanya.Yah... Mereka adalah Aruna dan Erina yang sedang melarikan diri dari rumah. Aruna tidak tahu jika sang kakak berada di panthouse itu, tapi ia juga tidak terkejut. Karena setelah apa yang ia alami, Aruna yakin Erina memang sengaja menghindari pernikahan dan sekarang berimbas pada dirinya.“Terimakasih,” ucap Aruna seadanya.Erina merasa ada yang janggal dengan sikap sang adik. Karena sejak awal datang, Aruna tidak pernah sekalipun menggunakan embel-embel kakak.Cukup lama Erina dan Aruna diam-diaman karena tidak ada yang membuka percakapan. Erina sibuk dengan pikirannya, begitupun dengan Aruna.“Apa tidak ada yang ingin diceritakan padaku?” ujar Aruna tiba-
Sesampainya di rumah sakit, Aluna langsung menuju ruangan Keen. Ia melihat Mela tengah tersedu-sedu di bangku tunggu. Sedangkan suami Mela, Luna tidak melihatnya. "Mel?" Aluna menepuk bahu sang besan. "Aluna, " tanpa basa basi, Mela menghambur dalam pelukan mertua anaknya itu. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, rasa bersalah seolah menggerogoti perasaannya. Aruna kabur dan Keen terbaring di rumah sakit, Mela merasa mendapat kutukan atas semua yang terjadi."Maafin aku, Lun," ucap Mela penuh penyesalan. Aluna hanya mengangguk, ia tidak bisa menyalahkan Mela sepenuhnya. Karena yang paling bersalah dalam situasi ini adalah ia dan suaminya--Aditya. Awalnya Erina yang akan menikah dengan Keen, tapi bercermin pada kisah percintaan sang adik, Erina menjadi ragu untuk melanjutkan pernikahan. Apalagi ia tidak mengenal Keen sama sekali. Karena merasa tersudut dengan permintaan orangtuanya untuk menikah, Erina melakukan hal yang sama seperti Aruna yaitu kabur. Namun, yang tak pernah ada d
Aruna yang mendengar teriakan Keen dan suara tabrakan menoleh ke belakang, ternyata suaminya menjadi korban tabrak lari. Keen yang terus mengejar Aruna tidak memerhatikan jalan sama sekali, sehingga ia tidak menyadari jika ada mobil yang melaju kencang dari arah kiri.“Keen...” desis Runa.Wanita yang baru saja menikah itu bimbang, harus menolong sang suami atau tetap berlari. Ia takut jika mendekat ternyata luka Keen tidak separah itu dan laki-laki itu pasti menangkap dan tidak akan melepasnya lagi.‘Tapi.. jika tidak kutolong, kejam sekali diriku,’ bisik hati Aruna.Akhirnya Aruna memutuskan mundur ke belakang untuk memeriksa keadaan sang suami. Meskipun ia ditipu oleh Keen, paling tidak Aruna masih memiliki rasa simpati pada orang yang sedang butuh pertolongan.“Permisi, Pak..” ucap Aruna pada bapak-bapak yang sedang mengelilingi tubuh Keen. Ternyata luka pengacara itu cukup parah, tapi untungnya dia masih sadar meski meringis kesakitan.“Pak, tolong panggilkan ambulan. Saya mengen
Keraguan tidak hanya terbesit dalam kepala Aruna, tapi bersarang. Ia takut untuk mengambil resiko ini. Namun, apa yang dikatakan sang mama ada benarnya. Mungkin pilihan Aruna kemaren kurang tepat dan pilihan orangtua lebih baik untuknya. 1 Minggu berlaluHari ini Aruna akan menikah denga pria pilihan orangtuanya, tapi sampai detik ini sang kakak—Erina belum jua menampakkan diri. Dihubungi pun tidak bisa, padahal ia berharap bisa berbagi kesedihan dengan sang kakak. “Kamu di mana sih, Kak?” ucap Aruna dalam hati. Saat akan menikah dengan Marvin, Aruna berharap tidak ada kendala sama sekali. Ia sudah membayangkan bagaimana bahagianya bisa hidup dengan pria yang dicintai. Namun, kali ini ia berdoa agar ada permasalahan yang terjadi dan pernikahan batal. Terdengar konyol memang, tapi pikiran itulah yang melintas di benak Aruna. “Run! Kamu udah siap, Sayang?” Luna menghampiri sang anak yang masih di rias.“Ya, sepertinya,” jawab Aruna lesu.Luna mengerti dengan perasaan sang anak, tapi h
Aruna tidak kaget sama sekali, ia yakin mantan calon suaminya itu akan segera tahu dia kembali.“Katakan padanya, aku sibuk dan tidak ingin bertemu dengan siapapun,” tegas Aruna.Lea tidak beranjak, ia masih memandangi wajah Aruna dengan perasaan bertanya-tanya.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Aruna.“Tidak! Saranku, lebih baik kamu temui dia! Marvin sepertinya sangat terpukul sejak kamu tinggalkan,” imbuh Lea.Aruna tidak menanggapi ucapan Lea, ia fokus dengan laptop dan rancangan strategi yang akan ia gunakan untuk menambah daya tarik hotelnya. Lea pun bergeming, ia ingin Aruna menyelesaikan persoalan yang menghinggapi kehidupannya, bukan selalu menghindari.Hampir 15 menit Aruna dan Lea bertanding diam. Akhirnya Aruna mengalah, ia tidak bisa mengabaikan orang yang selalu hadir saat ia butuh.“Sampai kapan kamu akan berdiri, Le? Jangan menyiksa dirimu demi orang lain,” seru Aruna.
“Aku tidak ada masalah, kok. Hanya merindukan mami-papi.” Elak Erina.Aruna merasa bersalah pada sang kakak. Karena ulahnya, Erina harus jadi ikut kena getah. Padahal, ia tahu kakak sepupunya itu tidak pernah betah lama-lama jauh dari orangtua.“Maaf ya, Kak! Karena ak—”“Sst ... Pikiran kamu terlalu jauh, aku baik-baik saja.” Erina dengan cepat memotong ucapan Aruna.Aruna tidak percaya seratus persen pada ucapan Erina. Meskipun benar, tapi ia merasa ada hal lain yang disembunyikan sang kakak darinya. Aruna ingin menanyakan hal itu, tapi anak dari omnya itu seperti enggan untuk berbagi. Ia juga tidak bisa memaksa Erina bercerita, lebih baik menunggu saat sang kakak siap untuk mengatakannya.Dua hari berlalu ...“Runa, bangun! Kamu janji kita pulang sekarang bukan?” Hampir setengah jam Erina membangunkan Aruna, tapi ia tetap bergeming. Erina yang mulai jengah dengan adik sepupunya itu, meny