Pagi ini tepat pukul empat dini hari, Dara terbangun. Dia mencari keberadaan Raka. Ranjangnya telah kosong dan sprei di sampingnya juga masih rapi. Dara turun dari ranjang, mencari Raka di dalam kamar mandi. Namun pintu itu terbuka dan tidak ada siapapun di sana. Dara bingung ke mana Raka pergi saat itu. Dalam kecemasan yang melanda tiba-tiba tidak lama pintu kamar terbuka dan Raka menampakkan batang hidungnya di ambang pintu.
“Mas? Kamu dari mana?” tanya Dara. Gadis itu mendekati Raka dan meraih lengan pria itu.
Raka tersenyum dengan tipis, kemudian menghempaskan tubuhnya pada ranjang. Rasa lelah membuat dia segera tertidur bahkan belum sempat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Dara untuknya.
“Mas kamu mabuk, ya?” tanya Dara lagi. Namun, pria itu sudah tergulung dalam pesona alam bawah sadarnya.
Gadis itu hanya mengerutkan dahi sembari menggedikkan bahu. Dia tidak pernah berprasangka buruk pada Raka. Dia memang sangat tahu
Semua laki-laki memuji dirinya karena namanya, selain paras nama memang sangat membuat orang lain berekspetasi tinggi, bukan? Ia lantas mengembalikan secarik kertas itu pada tempatnya lagi. “Heh— munafik,” gerutunya.Raka mengerutkan dahi, dia baru saja dari kamar mandi dan begitu keluar sudah mendapati Vela yang menggerutu.“Kenapa, Ve?” Pria itu mendekati Vela yang mengulurkan kertas itu padanya. Raka duduk di samping Ravela dan gadis itu merebahkan kepalanya pada paha Raka. Sedangkan pria itu membaca apa yang ada di permukaan kertas. Tinta hitam yang memang benar-benar rapi.Jika untuk urusan pendidikan Dara memang jauh lebih unggul dari Vela, bahkan gadis itu ketika SMA hanya memikirkan penampilan, dia juga tidak tahu bagaimana kehidupan saat kuliah, baginya kerja jauh lebih menguntungkan. Dia bisa mendapatkan uang dan membeli apa yang dia inginkan dengan bebas tanpa ada yang melarangnya. Terlebih apa yang dia kerjakan adalah sa
“Apakah aku harus membatalkan rencanaku?” Vela tersenyum miring, dia mulai memainkan tangannya pada apa yang ada di hadapannya saat ini. Ketegangan bisa Vela rasakan, sekalipun obrolan mereka tidak terlalu menjurus pada sebuah seksualitas. Namun, hampir mengarah ke sana, sebuah hubungan memang tidak melulu tentang berhubungan badan, tetapi berhubungan dan melakukan penyatuan adalah obat dari segala kemarahan. Bukankah betul begitu?Sekalipun dalam sebuah rumah tangga, jika keinginan diri sudah tiba, walaupun marah sampai meledak-ledak, mereka akan kembali akur setelah di ranjang. Maka untuk itu dianjurkan agar menyelesaikan setiap masalah dengan kepala yang dingin dan berada di dalam kamar jangan sampai masalah itu keluar dari ruangan priabadi milik keduanya.“Kenapa harus membatalkan? Apakah kamu memiliki wanita lain yang jauh lebih baik darinya?”Raka tentu saja menggeleng, tidak ada wanita sebaik dan secerdas Dara, dalam hal pendidikan
“Inilah Aku, inilah wanita yang katanya kamu menyukainya. Aku siap jika memang kamu hanya menginginkan tubuhku saja, Raka. Tanpa status sebagai istrimu, karena aku tahu semua pria akan mudah bosan,” ungkap Vela.Raka sedikit ternganga mendengar cerita itu. Bagaimana mungkin seorang ayah dan kakak bisa melakukan hal itu? Bagaimana bisa laki-laki yang seharusnya mengayomi justru merusak masa depan Vela? Kali ini mana mungkin Raka menjadi bagian dari mereka.Dia berniat akan menikahi gadis itu. “Aku akan menikahimu, Vela. Aku akan tinggalkan Dara,” ungkap Raka.“Aku tidak setuju! Aku mau kamu ikuti apa yang aku katakan. Percaya padaku, kamu akan dicap sebagai laki-laki yang buruk dan reputasimu akan hancur jika mereka tahu kamu mempuanyai wanita sepertiku.”“Kamu harus menikahi Dara! Walau hanya di atas kertas, kamu juga boleh bertindak layaknya suami padanya. Tapi, kamu juga bisa kembali padaku,” tutur Vela. &
Dia hendak menjelaskan bahwa Raka bisa memiliki Dara seutuhnya, bahkan apa pun yang diinginkan oleh Raka akan Dara berikan. Karena, hanya status lah yang menghalangi saat ini.Mereka bergandengan tangan dan masuk ke dalam mobil. Raka adalah laki-laki yang benar-benar mahir mengubah ekspresi wajahnya. Dia berpura-pura tetapi sikapnya bagikan keseriusan yang nyata. Siapa yang tidak bahagia mendapatkan kepastian akan sebuah hubungan yang telah terjalin selama tiga tahun? Siapa yang tidak senang jika kekasih yang begitu dia cintai menjadi suaminya? Sungguh, banyak sekali mimpi dan harapan Dara.*Malam ini tepat pukul enam, Raka masih berada di rumah kekasihnya, tetapi tangannya tidak jauh dari ponsel, pria itu sibuk bertukar kabar dengan Vela. Bahkan, gadis itu mengirimkan pose tubuhnya yang tanpa balutan busana. Bukankah itu membuat mata pria menjadi panas? Kesenangan dan mampu berimajinasi bagaimana jika— bagaimana rasanya— bagaimana kalau—
“Siapa dia?” tanya sang ayah dengan dingin. Tanpa ekspersi dan tatapan yang menakutkan untuk Dara.“Dia pacar, Raka. Kemarin Raka sudah melamarnya, Pa. Sekarang Raka harap mama dan papa merestui hubungan kami,” tutur Raka.“Apa?! Melamar? Kamu bahkan tidak bilang apa pun sama kita, Raka?!” teriak sang ibu, dia tidak perlu bertanya karena hanya dengan melihat penampilan Dara saja dia bisa tahu kalau dia adalah wanita kere.“Sejak kapan kamu mengambil keputusan sendri? Sejak kapan kamu berani melakukan hal sembrono?!” imbuh Sasongko dengan tidak kalah galak.“Kamu bebas memilih wanita manapun, asalkan kamu harus tahu bibit, bebet, dan bobotnya! Jangan sampai salah pilih! Lihat, dia! Penampilannya saja kampungan, apa pekerjaan orang tuanya?” tanya sang ibu.Dara menundukkan kepalanya tidak tahu harus berbicara apa saat ini. Raka menatap wajah Dara, “Dara yatim piatu, Ma. Awalnya dia tin
Begitu bebas dan berhasil keluar, Dara hanya bisa melangkah dengan gontai dan tangisan pun pecah. Menggigit bibir bawah untuk meredam suara isaknya. Dia malu jika sampai ada yang melihat bersedih, dia malu jika sampai terlihat kacau sendirian dan berjalan di trotoar.Harapannya musnah dan tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. Tidak sesuai dengan mimpinya selama ini. Dia tidak tahu jika cinta ternyata sesakit ini.Bencikah Dara pada Raka saat ini? Tidak! Dia hanya butuh waktu untuk sendiri beberapa saat sampai dia bisa kembali tenang dan dia akan tetap mencintai Raka, walau sakit yang dirasa.Tidak mudah bagi Dara melupakan semuanya, tiga tahun kebersamaan mana mungkin dia bisa melenyapkan begitu saja.Banyak hal yang dilalui, banyak hal yang terlewat dan menjadi kenangan kisah mereka. Dara tidak habis pikir jika kedua orang tua Raka seperti itu.*Menyedihkan dan pada akhirnya itulah yang terbongkar. Raka seolah bangga menyebutkan
Raka mendelik dengan kasar. "Jika itu keterlaluan, lalu bagaimana dengan kamu yang sampai punya anak, Mas? Apakah itu wajar menurutmu?"Raka kembali mencengkeram rahang Dara. Sakit dan bertambah sakit. Butiran air mata itu luruh membasahi pipi Dara. darah di punggungnya sudah membuat jaket Dara basah tanpa diketahui olehnya juga pria tidak berperasaan itu.Perasaa Raka telah tertutup oleh kebencian tetapi tidak mau melepaskan Dara, entah kenapa hatinya tidak suka jika Dara dekat dengan pria lain. Dia tidak terima jika perempuan itu bahagia bersama dengan laki-laki lain.“Aku jauh lebih baik ketimbang kau, Dara! aku berhubungan dengannya setelah kau menolakku bukan? Artinya kau memang tidak butuh aku! jangan pernah bandingkan kau denganku! Jelas-jelas kita berbeda, wanita busuk!” Raka menampar wajah Dara.Pukulan sebelumnya sudah menimbulkan memar di wajah dara. akan tetapi, pria itu masih terus menambah luka fisik Dara tanpa henti. Tidak adaka
“Paket! Atas nama Sofi!” teriak kang kurir dengan perasaan geram melihat ke arah kerumunan yang ada di hadapannya.“Itu saya, Mas!” serunya seraya melangkah kaki mendekati pria muda yang tampangnya sangar. Sama sekali tidak pantas berprofesi sebagai kurir tersebut.“Maaf, ya, Mas. Lagi ngegosip,” paparnya dengan tawa cekikikan menutup mulut dowernya.“Memangnya ada apa, Bu?” tanya pria itu kepo.“Itu, Mas. Kayanya ada yang ketahuan selingkuh terus dihajar habis-habisan sama suami,” jelas Sofi.“Kenapa nggak ditolong, Bu?”“Ya ngapain? Orang kaya gitu nggak perlu dibantu. Asal, Mas tahu, ya. Dia itu Cuma guru TK aja tapi angkuh banget, nggak pernah keluar rumah. Nggak pernah sosialisasi dengan para tetangga. Biar aja dia kesakitan,” dengusnya dengan wajah yang menyebalkan.Laki-laki dengan jaket hitam itu memicingkan mata. Dia tidak asing dengan kalimat seorang guru Tk.“Siapa namanya?” Pria itu mengorek informasi kian dalam. Dia hanya sangat penasaran.“Dara. dia wanita aneh, Mas. Ber
"Siapa aku? Siapa aku yang kalian kenal?" Setelah sekian lama.membisu, bahkan daftar menu yang sebelumnya tersentuh pun kini teronggok tidak dihiraukan. Mereka kalut dengan pemikiran mereka masing-masing. Mereka sibuk meminta maaf dan menantikan jawaban yang diberikan oleh anaknya."Prilly. Dara, bahkan namamu sekarang atau dulu, mommy tidak peduli. Siapa pun nama yang kamu sukai, kamu berhak memakainya. Bu Larasita sudah memberikan nama yang begitu baik, begitu indah dan bagus. Mommy hanya ingin kamu memaafkan kamu, Nak. Mommy telah kehilangan segalanya, penyesalan mommy tidak pernah bisa berhenti setelah mengetahui berita hilangnya, kamu. Mommy minta maaf, Dara." Veily mencoba meraih tangan anaknya.Anak yang tidak pernah dia asuh, tidak pernah dia susui. Tidak pernah berhenti dia rindukan, tetapi tidak pernah ada aksi yang dia lakukan hingga dua puluh enam tahun berlalu. Sebegitu pentingkah Cloe sampai harus melupakan anak mereka yang lainnya?"Ibu," gumam Dara. Air mata yang menet
Sebuah mobil putih berhenti di halaman sempit milik Dara, tepat di bahu jalan mungkin lebih lama. Karena pekarangan rumah itu bahkan tidak muat untuk di masuki motor."Siapa, ya?" tukas Dara dengan tatapan yang lurus ke depan meniti siapa gerangan orang yang menakutkan mobilnya di depan gubuk reyot miliknya."Aku kenal mobil itu," jawab Abby, tetapi dia tidak berniat memberitahukan siapa pemiliknya ke pada Dara. Begitu keduanya tiba dan keluar dari mobil. Dara melihat dua orang berdiri di depan rumahnya dan barang-barang miliknya yang sudah berada di luar rumah.Dara melongo tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Bahkan wanita paruh baya dengan gayanya yang khas dan tubuh yang masih sangat kokoh dan fit itu terlihat berseteru dengan sang pemilik rumah."Tante Veily? Ada apa ini? Ibu Luri, kenapa barang-barang saya di luar?" Dara yang telah berhasil mendekati mereka, langsung bertanya alasan kenapa barang-barang miliknya seolah terbuang."Masih tanya kenapa! Kamu jelas-jelas tidak bi
Dalam ruangan yang tidak terlalu besar, mungkin hanya tujuh kali delapan meter, di sana hanya ada ranjang yang memiliki tiang besi dengan ukiran lawas di bagian atas kepala, dua nakas di samping kanan dan kiri tempat meletakkan lampu tidur dan satu sofa serba guna, atau sofa seribu gaya. Ranjang itu sendiri tidak terlalu besar, dengan ukuran besar. Sempit dan memang itu yang diinginkan oleh pemiliknya. Tidak ada almari di dalam ruangan itu, karena bukan difungsikan untuk serba bisa.Almari dan ruang ganti berada di sebelah kamar utama dengan satu pintu penghubung yang hanya ditutup dengan tirai transparan. Di depan kamar sedikit ke kiri adalah ruang baca yang menyuguhkan pemandangan gunung di depannya. Di ruangan paling ujung adalah kamar mandi dan dapur. Ada satu pintu yang menuju ke kebun sayur dan beberapa buah yang bisa hidup di kaki gunung.Di samping ruang tamu, jendela besar yang terpasang kaca itu, tempat bersantai, membaca buku tentunya yang sudah pasti sungai adalah pemandan
Lain rasa bahagia yang dirasakan oleh Dara bersama dengan keluarga barunya. Lain pula apa yang dirasakan Ravella pada keluarganya. Semuanya berubah 180° atau mungkin putaran penuh? 360° atau bagaikan dijungkir balikkan sebuah fakta yang mengejutkan nuraninya? Intinya kehidupannya sudah tidak lagi sama dengan kehidupan yang pernah dia rasa sempurna. Dari kubangan dipungut tercuci bersih dan menyombongkan diri, lupa bahwa dia telah merebut kehidupan bahagia seseorang. Kini, semuanya dikembalikan! Dia tetap akan mengingat bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa, yang justru kini harus menanggung beban tetapi orang lain menyebutnya anugerah.Anak— ya! Ravella harus mengurus anaknya seorang diri. Di mana sang ayah mertua meninggal dunia tidak lama setelah dilarikan ke rumah sakit. Sang ibu mertuanya harus syok berat menghadapi kenyataan bahwa dia seorang diri saat ini. Ia juga tidak akan menerima kehadiran Ravella tanpa Raka. Membiarkan wanita itu terkatung-katung tidak jelas bersama cucunya. A
Dalam perjalanan pulang mengantar Dara pulang dengan hati yang diliputi rasa malu, Abby bungkam. tidak ada sepatah kata yang keluar kecuali ungkapan maaf."Maafkan aku, Dara. sungguh, kukira Mommy akan luluh saat melihatmu. tapi, dia justru bersikap layaknya manusia paling suci.""Aku sama sekali tidak mempermasalahkan semua ini, Bee. Tidak mudah menerimaku di tengah musibah yang telah terjadi. Kamu tidak seharusnya marah sama ibumu. Kamu tahu bagaimana aku begitu merindukan sosok ibu kan? Maukah kamu kembali ke rumah dan lebih baik kita meminta maaf padanya.""Tidak! dia sudah merendahkanmu, Sayang." Dara menggeleng."Direndahkan tidak selalu rendah kan? Aku punya kamu, aku tidak merasa di rendahkan saat seorang pria membelaku mati-matian. Aku hanya tidak mau hubunganmu dengan Ibu semakin hancur gara-gara aku. Kita kembali, ya?"Menanti beberapa menit untuk menimbang keputusan hingga mobil itu berputar arah kembali ke rumah. Saat kembali membuka pintu yang sempat dua tinggalkan Abby
"Tidak! Aku tidak mau mereka kemari! Kalau pun tetap memaksakan ke sini, ya sudah kamu saja yang layani mereka, Pa!" ketusnya setelah Abrisam menyampaikan jika Abby dan Dara akan ke sini untuk makan malam bersama."Ma! Kenapa kamu sangat membenci Abby? Apa salah dia padamu?" Abrisam duduk di sofa, kemudian menatap tajam istrinya yang masih saja terlihat ketus.Sebetulnya Dayyana juga bingung, jawaban apa yang harus dia lontarkan untuk suaminya. Abby memang anaknya yang cukup baik dan tidak senakal itu sehingga dia tak menyukainya. Hanya saja, mungkin karena dia terlalu menyayangi Aaron membuat dia menomor duakan anaknya yang lain, yakni Abby."Kamu itu ibunya! Kenapa kamu bisa-bisanya bersikap seperti itu pada Abby? Ma, Abby itu anak kita satu-satunya sekarang! Abby satu-satunya penerus keturunan kita! Dia darah daging kita! Abby—""Sejak kecil, Abby selalu kamu bedakan. Padahal dia anak yang baik, Ma. Kenapa bisa-bisanya kamu membeda-bedakan kasih sayang antara Aaron dan Abby? Keduan
Rasanya aura rumah mewah ini terasa mencekam bagi Dara. Dia semakin kedinginan, bukan karena suhu di sini, melainkan karena cemas dan takut hingga suhu yang hangat berubah menjadi dingin bagaikan di kutub selatan.Dayyana duduk di atas sofa ruang tamu, wajahnya tetap terlihat tidak bersahabat. Hanya Abrisam yang menampakkan wajah humble-nya. Bahkan, dia sampai menyambut anak dan calon menantunya itu dengan pelukan hangatnya. Membuat ketakutan serta kecemasan Abby dan Dara berkurang beberapa persen."Akhirnya kalian sampai, Papa sejak tadi menunggu. Bagaimana perjalanan ke sini, Abby menjalankan mobil dengan santai? Tidak ngebut?" tanya Abrisam, terdengar sangat perhatian, bukan basa-basi semata.Dara mengangguk pelan, bingung harus menjawab apa karena takut salah bicara, terlebih Dayyana masih terlihat dingin."Kamu cantik sekali, Anakku. Pantas saja Abby sangat tergila-gila padamu?" Abrisam tak mau berhenti menggoda calon mantunya itu, niat dia sebetulnya baik, karena ingin membuat D
Selama di perjalanan, Dara tak henti-hentinya berpikir keras. Jika sekarang dirinya dan Abby akan bertemu dengan Dayyana, apakah tidak akan terjadi hal yang buruk? Mengingat kejadian waktu itu tidak begitu menyenangkan. Perjalanan yang tadinya dia pikir akan terasa menyenangkan karena bisa berdua, mengobrol, serta semakin dekat dengan kekasihnya kini berubah menjadi menegangkan. Dara benar-benar takut jika Dayyana akan melakukan tindakan yang tidak diinginkan. Saat ini rasanya kepala wanita bernama Dara ini pening sekali. Tak mau rasanya jika nanti ketika bertemu Dayyana terjadi hal yang tidak menyenangkan. Dara mencinta Abby, sangat mencintainya, terlebih Abby mampu membuatnya bisa berdamai dengan masa lalu yang begitu pahit. Dara tak mau kehilangan Abby, pria ini terasa sudah sempurna baginya jika dibandingkan dengan mendiang mantan suami yang memiliki perangai tidak baik. "Kamu kenapa, Baby?" Abby memecah keheningan perjalanan, segera Dara meresponsnya dengan senyuman disertai ge
Selama ini dia hidup serba ada, serba bisa tetapi, siapa yang sangka bahwa anaknya berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan. Berjuang menemukan sebuah kebahagiaan."Bisakah kita membuat janji dengannya? Aku tidak sabar bertemu dengan Prilly, Wisnu," lirih Veily."Bersabarlah, Sayang. Panggil dia Dara sampai kita berhasil meyakinkan kenyataan ini. Sepertinya kita butuh bantuan Abby untuk ini, aku yakin saat ini mereka bersama," tutur Wisnu."Sebaiknya jangan beritahu Abby sebelum kalian memberitahukannya pada Dara. Kalian bisa bayangkan kalau Dara tahu lebih lama ketimbang Abby? Ayolah, kalian pasti bisa merasakannya," sela Faiz. Apa yang dikatakannya bukankah benar, memang seharusnya mereka memberitahu Dara baru Abby, bukan terbalik, jika tidak ingin Dara kian kecewa.Entah bagaimana tanggapan wanita itu nanti, Wisnu dan Veily hanya berharap bahwa Dara menerima juga memaafkan keduanya.**Sebuah mobil silver ber