“Kamu tidak boleh pergi ke sana lagi, Mas. Bahaya. Lagian berapa, sih uang yang mereka pinjam?”“Banyak, Dara. Lima juta. Bisa untuk bayar kontrakan kita selama lima bulan, kan?”Dara mengerutkan dahinya. "Lima juta? Dapat dari mana kamu uang sebanyak itu, Mas? Selama ini gaji kamu nggak sebanyak itu. Atau emang kamu nggak pernah ngasih ke aku karena kamu lebih mentingin teman gilamu itu?”Entah berapa sebenarnya gaji Raka yang jelas Dara selalu menerima uang dengan jumlah yang sama beberapa bulan terakhir. Lima ratus ribu. Sebelumnya dia bahkan tidak pernah mencicipi uang Raka."Aku— aku menang taruhan kapan hari. Aku pikir aku bisa percaya sama dia. Ternyata tidak," lirih Raka.Haruskah kali ini Dara percaya? Sungguh, dia tidak tahu. Dara menatap manik mata suaminya. Memilih untuk percaya agar tidak merusak suasana bahagia yang baru saja dia dapatkan setelah pertengkaran hebat yang terjadi."Baiklah, hati-hati. Aku akan memasak untukmu, jangan pulang terlambat, jangan makan di luar.
Setelah pulang dari mengajar, Dara menyempatkan diri untuk mampir ke minimarket yang selalu dia lewati. Memarkir sepeda, berjalan mendekati pintu kaca lantas mendorongnya ke dalam.“Dara?” gadis bermata besar dengan bola mata hitam besar itu menoleh.“Aaron? Kamu di sini? Di mana Lea?” dara celingukan mencari keberadaan bocah cilik yang tadi tampak loyo di sekolah.“Di rumah. Dia istirahat, katanya tidak mood keluar rumah.” Dara tergelak.“Ya, itu terlihat sekali tadi pagi,” jawab dara.Mereka melangkah beriringan menyusuri lorong demi lorong di minimarket mencari barang yng diperlukan. Aaron terus saja membuntuti langkah Dara.“Kenapa banyak sekali beli mie?” tanya Aaron.“Jga-jaga pas lagi malas masak.”“Bolehaku bawakan keranjangmu?”“Ah— tidak perlu. Aku bisa lakukan sendiri. Kenapa— kenapa kamu mengikutiku?”“Ehm— tidak. kebetulan aku juga mau beli mie. Ibu Lea titip mie tadi,” jelas Aaron yang disambut anggukan kepala oleh Dara.Lagi, gadis itu berjalan ke arah rak-rak buah dan
Setibanya di rumah, Dara mencoba untuk tetap bersikap dengan tenang. Ia memasak apa yang ingin dia sajikan pada suaminya. Mencoba abai dengan ingkarnya janji pra itu. Jarum jam masih menunjukkan pukul tiga sore. Setidaknya ada waktu tiga jam sampai Raka pulang jika dia tidak terlambat dan memenuhi apa yang dia ucapkan sebelumnya— lagi. Semoga saja, Dara ingin bertanya dengan tenang.Di tengah aktivitasnya justru dia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari area kewanitaannya. Gadis itu segera pergi ke kamar mandi, benar saja— Dara mendapatkan tamu yang tidak diundang untuk bulan ini.“Sial! Akh! Kenapa datang saat seperti ini sih? Gila! Lama-lama aku jadi perawan tua!” gerutunya. Siapa yang tidak kesal dia sudah menantikan hari ini, bahkan ia juga sudah mengatakan ‘ya’ pada suaminya. Tadinya dia sudah siap jika daranya akan dibobol oleh sang suami. Nyatanya, gagal total semuanya.Beberapa waktu berlalu. Semua makanan telah siap berjejer rapi di atas meja. Aroma yang lezat menyeruak me
“Ha— hai,” balas Dara terbata-bata. Bagaimana tidak, ini adalah kali pertama dirinya menelepon laki-laki selain suaminya sendiri.“Dara? Akhirnya kamu telfon juga, kamu baik-baik saja ‘kan?” Aaron terdengar cemas. Pasalnya pria itu tahu, terakhir kali mereka bertemu gadis itu tampak lesu dan sama sekali tidak bersemangat.“Ba— baik. Aku— aku ingin mengundangmu makan malam, bisa?” ucap Dara, ia masih sangat kaku. Sangat berbeda saat dia harus berbicara dengan Aaron ketika bertatap muka.“Tentu saja bisa. Aku akan datang ke rumahmu. Suamimu ada ‘kan?”“Tidak! Bukan di rumah, tapi di taman Kencana Wangi. Kalau kamu tidak tahu sebaiknya aku batalkan saja,” kata Dara.“Aku tahu! Tenang saja, aku tahu kok. Tunggu, di sana, ya. Sepuluh menit lagi aku sampai,” sergah Aaron. Dia akan datang meski dia harus mencari di mana taman itu berada.“Terima kasih.” Setelah itu Dara mematikan panggilannya dan tersenyum tipis, bukan senyum karena senang. Lagi-lagi dia mentertawakan dirinya sendiri. Dia me
Aaron menatap Dara yang menunjukkan perubahan wajahnya. Dari kesal ke sedih dan mungkin merasa bersalah, entahlah mimik wajah gadis itu tidak bisa ditebak. Dara terlihat sangat menyedihkan. Nasibnya benar-benar tidak mujur."Dara? Kamu baik-baik saja?" Aaron mencekal bahu Dara. Membuat wanita itu tersadar dari lamunannya. Dara menatap muka Aaron dan mengangguk. Dia kembali menjadi wanita yang pendiam."Kita cari tempat lain atau mau tetap di sini?"Dara hanya mengangguk, dia menurut saja. Akhirnya Aaron hanya mengajaknya kembali duduk pada kursi yang sebelumnya Dara tempati. Menarik pergelangan tangan Dara dengan perlahan."Maaf, aku menghubungimu. Aaron, aku minta maaf. Kamu boleh pergi. Tidak seharusnya aku meneleponmu," sesal Dara. Suaranya lirih dan sangat lemah. Kali ini, Dara merasa kehidupannya memang tidak memberikan dia teman walau hanya satu.Sekian banyak penghuni penjuru dunia, kenapa ketika Dara mendapatkan seseorang yang bisa dijadikan teman justru seolah tidak ada yang
“Kalau begitu— Leanor?” sorot mata Dara terlihat jelas menampilkan kebingungan.Aaron tersenyum tipis dengan tertunduk, lalu mengangkat wajah lagi menatap Dara. “Aku sudahduga, pasti banyak yang menduga kalau bocah itu anakku. Tapi— dia keponakanku, Dara. ibunya adalah saudara kandungku,” tutur Aaron.Ah— aku tahu sekarang. Pantas saja mereka terlihat aneh saat berbincang, batin Dara.Sungguh, dia kira makhluk paling menyedihkan adalah dirinya. Akan tetapi, masih ada orang yang jauh memiliki luka yang menyakitkan. Dara masih ada harapan untuk menikmati hidup sekalipun itu pahit. Dia masih bisa mengobati rindu pada suaminya. Dia juga masih bisa melihat ketampanan Raka yang selalu terlihat setelah mandi. Namun, Aaron? Sampai kapanpun dia tidak akan bisa mengobati rindu pada sang istri yang telah pergi.Dara merasakan sakit dan perih yang dialami oleh Aaron. Dia juga merindukan sosok yang tidak pernah dia temui. Kedua orang tuanya, Dara tidak pernah tahu apakah dirinya masih memiliki oran
"Hei! Pelan-pelan!" Dara panik, dia tidak membawa air minum. Dara berlarian mencari penjual air mineral. Beruntung di balik pagar yang tidak jauh darinya masih ada yang berjualan. Ia minta air tetapi tidak membayarnya. Segera, gadis itu kembali pada Aaron dan memberikan air dalam kemasan itu pada Aaron. Si penjual Dara yang sudah bersikap layaknya maling."Woy, mbak! Bayar dulu! Main pergi aja, dikira itu dagangan mbahmu!" marahnya.Dara hanya diam dan kembali menundukkan wajahnya. Dia malu, karena dia benar-benar tidak membawa apa pun kecuali ponsel dan rantang susun.Setelah Aaron usai meminum setengah dari isi botol itu. Ia pun merogoh saku celana dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan."Ini uangnya. Maafkan teman saya. Dia hanya ingin bantu saya. Ambil saya kembaliannya sebagai permintaan maaf kami," ungkap Aaron."Hu!" Laki-laki asongan itu menyahut uangnya setelah mencibir kelakuan Dara. Kemudian dia pergi dari hadapan keduanya."Aku lupa bawa dompet," lirih Dara."Tidak apa-ap
Sejak pesan dan panggilan Raka kemarin, tidak ada lagi pesan atau panggilan dari laki-laki itu. Jangan salahkan Dara jika dia tidak menghubunginya lagi. Dara pernah mengemis dan merendahkan dirinya serendah-rendahnya bukan? Kini gadis itu benar-benar sudah tidak peduli lagi dengan semua tingkah laku Raka.Dia pulang, Dara akan sambut, jika tidak mungkin memikirkan orang lain jauh lebih membuat dirinya merasakan sensasi menyenangkan. Memikirkan suami orang. Namun, bukankah Aaron duda?. Menjadi temannya bisa membuat senam jantung."Miss jatuh cinta dengan siapa?" celetuk salah satu muridnya. Siapa lagi jika bukan, Leanor. Dari sekian banyaknya murid yang ia ajar hanya Leanor yang paling aktif. Sering bertanya hal-hal random dan sangat ingin tahu tentang semua hal. Tidak semua anak didiknya bisa bicara dengan lancar, masih banyak dari mereka yang cadel.Dara terperanjat dan menatap gadis cilik ayu tersebut. Dia berjongkok dengan tersenyum manis. "Dari mana Princess Lea tahu jatuh cinta?"