Di kediaman Dokter Dana*Silvia ,Dokter Dana dan Kanaya sedang duduk sambil menyusun rencana selanjutnya yang akan mereka jalankan.“Jadi apa rencana kita selanjutnya setelah Rani yakin kalau aku dan Mas sudah di ambang keretakan?” tanya Silvia kepada Dokter Dana.Bukannya dijawab Dokter Dana, pertanyaan itu malah disambut oleh Kanaya yang begitu senang karena dia berhasil meyakinkan Rani kalau Silvia dan Dokter Dana sudah di ambang kehancuran.“Rencana selanjutnya, kita akan pergi ke pesta ulang tahun Rani. Aku pergi dengan Dana, sedangkan kamu pergi sendiri. Nanti di sana akan ada yang memberikan minuman untukmu Sil. Kamu harus mengganti minuman itu tanpa sepengetahuan Rani,” terang Kania.“Jadi, aku harus menjauh dari Mas Dana dulu dong.”“Sabar, Sayang. Cuma sampai kasus ini selesai.” Dokter Dana memeluk tunangannya. Rasanya mereka akan berpisah untuk waktu yang lama. “Setelah itu kita akan selalu bersama, tidak akan ada lagi yang akan memisahkan kita,” lanjutnya.Kanaya memandan
“Oo, jadi Kanaya tinggal di sini? Kalau begitu sekalian aku juga mengundang Kanaya. Datanglah nanti bersama Dokter Dana,” ucapnya dengan ramah.“Iya. Terima kasih atas undangannya Ran.” Kanaya pun bersikap ramah seperti halnya Rani yang ramah tapi hanya untuk menutupi kebusukannya.Kebenciannya yang memuncak sebenarnya mendorong dirinya untuk menyiramkan minuman hangat yang dibawa oleh pembantu Dokter Dana ke wajah Rani. Tapi logikanya melarang. Karena belum saatnya dia untuk membalas perempuan berhati batu itu.“Silakan diminum Rani, minumannya,” ucap Dokter Dana kepada Rani.“Iya terima kasih Dana.” Rani memaksakan senyum manisnya melihat Kanaya yang masih menempel di samping Dokter Dana.Dia meyakinkan dirinya kalau sebentar lagi Dokter Dana akan menjadi imamnya. Dan dia akan segera mendepak perempuan satu ini dari kehidupan Dokter Dana.“Puas-puaskanlah untuk berdekatan dengan calon suamiku sekarang ini. Karena nanti, kalau tugasmu sudah berakhir di sini. Tak akan aku biarkan baya
Seketika jantungnya berpacu lebih cepat. “Mau ke mana kamu?” tanya Dokter Dana yang sudah bangun dari tidurnya saat Darwin memarkir kendaraannya. Dia mengelus dadanya dan berkata, “Bos, kenapa gak bilang-bilang sih kalau sudah bangun? Bikin orang jantungan saja.”“Baru segitu saja sudah kaget. Pecal ayamnya seporsi jangan lupa tahu tempe, sambalnya sambal kacang.”“Siap Bos.” Darwin segera keluar dan masuk ke dalam tenda pecal ayam untuk membeli dua porsi pecal ayam kesukaannya yang ternyata juga kesukaan Dokter Dana.“Mbak. Pecel ayamnya dua porsi, di bungkus aja ya. Sambalnya sambal kacang.”“Siap, Mas. Ditunggu ya? Ini masih pesanan yang lain dulu.”Sambil menunggu pesanannya disiapkan dia berselancar di dunia Maya. Dia mengacak-acak sebuah aplikasi sosial media.Di sana lagi-lagi dia melihat Kanaya yang sedang berlenggak lenggok sebagai model sebuah brand.“Kamu memang cantik, Kanaya. Sepertinya aku tergila-gila padamu,” gumamnya dalam hati.Dia senyum-senyum sendiri, sampai dia
Sampai terlihatlah isi dari kotak tersebut. Sebuah foto anak kecil dengan seorang wanita. Ditangan kanan anak keci itu, ada sebuah tanda bekas luka bakar. Anak itu berumur sekitar dua tahun lebih kurang.“Siapa anak kecil ini? Kenapa orang itu mengirimkannya kepadaku? Dan siapa perempuan yang menggendongnya ini? Dasar aneh si pengirim paket ini.”Dan ternyata, kedua paket itu isinya sama. “Mungkin ada baiknya aku simpan foto ini dulu.”Setelah menyimpan foto itu di laci, dia pun merebahkan badannya di tempat tidur. Rasa ngantuk mulai menyerang, hingga ia tertidur pulas sampai suara azan subuh berkumandang, baru ia terbangun.Ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan sekalian berwudu. Setelah selesai menunaikan salat subuh, dia segera mengadukan semua yang dialaminya hari ini, Kepada Allah Subhanahu wata’ala.Dia memang tidak pernah absen untuk mengadu kepada Allah. Dan terakhir dia selalu memanjatkan do’a untuk keselamatan kedua orang tuanya, baik didunia maupun di akhirat
Wanita itu hampir sebaya dengan ibu tirinya. Tapi dia terlihat lebih cantik, dan ada kemiripan wajahnya dengan Silvia.Seperti ada kekuatan yang datang membantunya, wanita itu bisa lepas dari kedua bodyguard yang sudah terlatih dengan sangat baik itu.Setelah kedua tangannya lepas dari kedua bodyguard, wanita itu berlari memeluk Silvia.Silvia tak bergeming sedikit pun. Dia ingin melepaskan diri dari wanita itu. Tapi entah kenapa dia merasa mendapatkan pelukan hangat dari seorang ibu.Wanita itu terus menangis tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Saat itu Iyes segera menarik tangan wanita itu dan gantian dia yang memeluk Silvia dengan erat.“Lepaskan dia. Dia anakku. Tidak boleh ada orang lain yang mengaku sebagai ibunya selain aku.” Ratapan Iyes membuat Silvia yang diam tak bergeming melebarkan matanya.“Maksud Ibu?” kata-kata itu keluar dari mulutnya begitu saja. Iyes terdiam, dia menyesal telah mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang mengarahkan dia untuk mengetahui ken
Dari sana ia dapat merasakan kasih sayang yang besar dari wanita yang mengaku sebagai ibunya itu. Dia dapat melihat betapa ia terpaksa meninggalkannya demi kebaikan dirinya.Seketika tubuhnya luruh ke lantai bagai tidak bertulang. Ia tak tahu harus bagaimana. Apa ia harus mengakui orang yang sudah meninggalkannya sebagai ibunya atau mengusirnya dari kehidupannya.Ia menengadah ke atas langit-langit kamarnya, “Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Aku tidak ingin durhaka kepada orang yang telah melahirkanku, tapi aku juga kecewa dengannya, karena dia telah meninggalkanku selama bertahun-tahun.”Dia menyapu air matanya. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia menangis sejadi-jadinya.Tiba-tiba kepalanya di sentuh dengan belaian yang lembut. Dia mendongak, ternyata di sana sudah ada Dokter Dana. Dia memeluk erat Dokter Dana dan melepaskan tangisnya.“Tenanglah Silvia. Semua akan baik-baik saja. Kamu masih ingat apa yang aku bilang dulu kan?”Silvia terdiam, lalu Dokter Dana melanjutkan k
“Jelaskan, Bu. Apa maksudnya itu?” “S_sebenarnya Ibu sakit kanker stadium akhir. Dokter sudah menyerah. Sekarang umur Ibu tidak lama lagi, dan Ibu tidak mau menyia-nyiakannya. Ibu ingin menghabiskan sisa umur Ibu bersamamu Nak.” Tangan yang tadinya menggenggam erat tangan Silvia di lepas oleh Silvia sendiri.Tapi tak lama kemudian dia pun memeluk ibunya seraya berurai air mata. Pertemuan ini sudah membuatnya bahagia, tapi dia harus menerima kenyataan bahwa dia harus kehilangan Ibu yang baru saja mengisi sebuah tempat istimewa di hatinya.Iyes juga merasa sangat haru melihat kedua insan yang baru saja di pertemukan itu harus bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. “Kalau begitu, tinggallah di sini, setidaknya sampai Bu Desi sembuh.” Iyes berharap orang tua kandung dari Silvia itu bersedia tinggal bersamanya agar dia tidak kehilangan Silvia.“Ha.... Ha.... Sampai sembuh? Itu tidak mungkin terjadi Bu Iyes. Yang aku ingin sekarang hanya menghabiskan waktuku bersama Silvia
Semua mata tertuju padanya. Dokter Pazel kembali melanjutkan ucapannya. “ Kenapa tidak Minggu depan saja?” Semua orang tertawa mendengar Dokter Dana protes.“Satu bulan itu bukan waktu yang lama kok Dan,” terang Efendi kepada putra sulungnya.“Iya, Nak. Segala sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik, Nak?” Ibunya juga ikut memberi pengertian.“Iya nih Kakak ngebet banget sih pingin nikah cepat-cepat,” seloroh Lily adik bungsunya yang sukses membuat Dokter Dana menjadi malu.“Hus.... Kamu ini apa-apaan sih,” ucap Ibunya sambil mencubit manja telinga anaknya itu.“Adu_duh, sakit Ibu.”“Syukurin,” ejek Dokter Dana kepada adiknya sambil tersenyum. Dia memang sangat menyayangi adiknya itu. Tapi dia juga sering menjahilinya.“week...,” cibir Lily dengan menjulurkan lidahnya. Mereka tertawa melihat kelakuan kakak adik itu.Setelah keputusan tanggal dan bulan pernikahan mereka dipastikan, keluarga besar Dokter Dana berpamitan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.Dokter Dana menemui S
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami