Dari sana ia dapat merasakan kasih sayang yang besar dari wanita yang mengaku sebagai ibunya itu. Dia dapat melihat betapa ia terpaksa meninggalkannya demi kebaikan dirinya.Seketika tubuhnya luruh ke lantai bagai tidak bertulang. Ia tak tahu harus bagaimana. Apa ia harus mengakui orang yang sudah meninggalkannya sebagai ibunya atau mengusirnya dari kehidupannya.Ia menengadah ke atas langit-langit kamarnya, “Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Aku tidak ingin durhaka kepada orang yang telah melahirkanku, tapi aku juga kecewa dengannya, karena dia telah meninggalkanku selama bertahun-tahun.”Dia menyapu air matanya. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia menangis sejadi-jadinya.Tiba-tiba kepalanya di sentuh dengan belaian yang lembut. Dia mendongak, ternyata di sana sudah ada Dokter Dana. Dia memeluk erat Dokter Dana dan melepaskan tangisnya.“Tenanglah Silvia. Semua akan baik-baik saja. Kamu masih ingat apa yang aku bilang dulu kan?”Silvia terdiam, lalu Dokter Dana melanjutkan k
“Jelaskan, Bu. Apa maksudnya itu?” “S_sebenarnya Ibu sakit kanker stadium akhir. Dokter sudah menyerah. Sekarang umur Ibu tidak lama lagi, dan Ibu tidak mau menyia-nyiakannya. Ibu ingin menghabiskan sisa umur Ibu bersamamu Nak.” Tangan yang tadinya menggenggam erat tangan Silvia di lepas oleh Silvia sendiri.Tapi tak lama kemudian dia pun memeluk ibunya seraya berurai air mata. Pertemuan ini sudah membuatnya bahagia, tapi dia harus menerima kenyataan bahwa dia harus kehilangan Ibu yang baru saja mengisi sebuah tempat istimewa di hatinya.Iyes juga merasa sangat haru melihat kedua insan yang baru saja di pertemukan itu harus bersiap dengan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. “Kalau begitu, tinggallah di sini, setidaknya sampai Bu Desi sembuh.” Iyes berharap orang tua kandung dari Silvia itu bersedia tinggal bersamanya agar dia tidak kehilangan Silvia.“Ha.... Ha.... Sampai sembuh? Itu tidak mungkin terjadi Bu Iyes. Yang aku ingin sekarang hanya menghabiskan waktuku bersama Silvia
Semua mata tertuju padanya. Dokter Pazel kembali melanjutkan ucapannya. “ Kenapa tidak Minggu depan saja?” Semua orang tertawa mendengar Dokter Dana protes.“Satu bulan itu bukan waktu yang lama kok Dan,” terang Efendi kepada putra sulungnya.“Iya, Nak. Segala sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik, Nak?” Ibunya juga ikut memberi pengertian.“Iya nih Kakak ngebet banget sih pingin nikah cepat-cepat,” seloroh Lily adik bungsunya yang sukses membuat Dokter Dana menjadi malu.“Hus.... Kamu ini apa-apaan sih,” ucap Ibunya sambil mencubit manja telinga anaknya itu.“Adu_duh, sakit Ibu.”“Syukurin,” ejek Dokter Dana kepada adiknya sambil tersenyum. Dia memang sangat menyayangi adiknya itu. Tapi dia juga sering menjahilinya.“week...,” cibir Lily dengan menjulurkan lidahnya. Mereka tertawa melihat kelakuan kakak adik itu.Setelah keputusan tanggal dan bulan pernikahan mereka dipastikan, keluarga besar Dokter Dana berpamitan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.Dokter Dana menemui S
Silvia dapat mendengar dengan jelas semua percakapan mereka.Saat mereka pingsan Silvia bangun. “Kenapa kalian langsung memukulnya? Padahal kita belum mendapatkan rekaman pembicaraan mereka.”“Buatku keselamatanmu jauh lebih penting, Sayang.” Dokter Dana menuju ke tempat tidur dan membantu Silvia untuk berdiri.“Tapi kita sudah melangkah sejauh ini, Mas. Tinggal sedikit lagi,” ujarnya dengan lembut.“Kita masih punya kesempatan kok,” ujar Kanaya. Seketika Dokter Dana dan Silvia menoleh ke arah Kanaya.“Ya. Kalian tidak salah dengar. Kita masih punya kesempatan.” Kanaya mengambil alat perekam suara dari punggung Silvia. “Kita tidak lagi membutuhkan ini. Yang kita butuhkan adalah sebuah rekaman gambar dan suara,” lanjutnya seraya memperlihatkan sebuah benda kecil berbentuk sebuah pulpen.“Apa itu CCTV mini?” tanya Silvia.“Tepat sekali. Ini adalah CCTV mini. Kita akan pasang di ruangan ini. Mudah-mudahan saja kita bisa mendapatkan bukti kejahatannya dengan ini,” ucap Kanaya dengan peras
“Kurang ajar kamu Pazel! Sialan kamu! Beraninya kamu menyentuhku, Bajingan! Bahkan kau berani memukul kepalaku! Akan aku balas kamu brengsek!” Rani syok dengan apa yang sedang terjadi. Bagaimana bisa dia berada dalam satu selimut dengan laki-laki yang dia anggap rendahan dan sudah beristri pula. Dan yang lebih menyakitkan dia dipukul dengan keras lalu dihempaskannya.“Aduh. Maaf, saya benar-benar minta maaf. Lagian kamu juga yang salah! Kenapa kamu menggigitku! Apa kamu kira aku ini daging masak? Hah! Aku ini daging mentah! Aduh... Sakit banget. Dasar kanibal!”“Aku tidak bisa bernapas, Tolol!” Hardiknya. Rani tidak tahu harus meluapkan emosinya pakai apa lagi agar hatinya puas. Mukanya memerah karena marah. “Saya menyuruh kamu untuk menodai Silvia! Bukan menodai saya Tolol...!” sambungnya lagi. Air matanya sedikit menggenang.“Tadi bukannya kita membawa..., aduh.... Kepalaku sakit banget,” ucapnya meringis menahan sakit bekas pukulan di kepala belakangnya.Lengkap sudah penderitaan
Rani syok. Dia tidak dapat menerima kenyataan bahwa semua orang sudah melihat tubuhnya dari layar yang ia siapkan untuk mempertontonkan tubuh Silvia.“Tidak. Ini tidak nyata. Ini pasti cuma mimpi buruk!” Dia pun menampar kedua pipinya sehingga dia mengaduh kesakitan.“Aww. Ini nyata?” Dia menoleh ke sekelilingnya. Di belakangnya sudah ada Silvia bersama Dokter Dana, Kanaya dan tiga orang Polisi.Silvia mengulangi kalimat yang sudah menghentikan langkah Pazel mengajak Rani untuk melarikan diri.“Kalian berdua tidak akan ke mana-mana. Karena kami sudah mempunyai bukti kejahatan kalian,” ucapnya dengan senyuman yang manis.Beberapa orang polisi datang untuk membantu penangkapan anak buah Rani. Sedangkan yang tiga orang tadi mengamankan Rani dan Pazel. Mereka tidak memberikan perlawanan yang berarti. Sehingga Polisi dapat menangkap mereka dengan mudah.Di kantor polisi, Pazel ditanyai tentang keterlibatannya atas rencana kejahatan Rani. Pazel bingung bukan kepalang. “Pak. Rencana apa yan
“Siapa dia?” batin Silvia. Matanya berkerut memperhatikan langkah orang tersebut.“Halo, Cantik. Ini untukmu,” ucap laki-laki tampan yang ada di hadapannya.“Untuk saya?” tanya Silvia heran. Karena dia tidak mengenal laki-laki yang ada di hadapannya. Tapi dia tetap mengambilnya karena dia merasa segan untuk menolak pemberian seseorang. Dia berpikir mungkin saja orang itu adalah Bos perusahaan tempatnya bekerja. Karena dia memang belum pernah bertemu dengan pemilik perusahaan itu.Dia memberanikan diri untuk bertanya, “ Maaf, Pak. Apa saya mengenal Bapak?”“Kenalkan, saya Permadi, Presiden Direktur Perusahaan ini.” Dia menjulurkan tangannya untuk bersalaman.Silvia menjabat tangannya dengan sopan. “Saya Silvia, Pak. Saya baru bekerja satu minggu di perusahaan ini.”“Selamat bergabung di Perusahaan ini. Saya senang dengan kinerja kamu dalam seminggu ini. Maka dari itu saya secara pribadi mengucapkan selamat bergabung di Perusahaan ini.”“Terima kasih, Pak. Saya sangat bangga dan berter
“ Pak presiden Direktur,” ucap wanita cantik yang tadinya segarang singa, namun sekarang ciut seperti seekor kucing yang mengeong kepada tuannya.“Apa Anda mempunyai kewenangan untuk mengurangi gaji karyawan saya?”“Ma_maaf, Pak. Ta_tapi dua orang ini sudah berani memfitnah dan menyindir saya dengan kata-kata yang tidak sopan, Pak.” Pandangan matanya yang tadi nyalang kini berubah menjadi sayu.“Tidak mungkin dia akan melakukan hal itu, karena saya sangat paham dengan karakternya.”“ Pak. Dia itu orang baru, Pak. Dia baru seminggu bekerja di bagian kantor, tadinya dia hanya tukang bersih-bersih seperti temannya itu, Pak. Makanya dia merasa sangat sombong dan songong. Saya tidak berbohong, Pak.”“Dia tidak mungkin seperti itu. Karena dia adalah tunangan saya. Jika kamu masih berani berbuat kasar kepadanya maka saya tidak akan segan-segan untuk memecat kamu dan kamu juga tidak akan diterima di perusahaan mana pun.” Laki-laki itu mendominasi keadaan dengan kata-kata yang sangat meyakink
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami