[Hei istri tua, pinter juga kamu bawa semua perhiasan. Padahal aku udah lama loh ngincer itu, tapi gapapa lah, nanti juga suami aku beliin lagi yang lebih bagus, dia kan cinta mati sama aku sampe ceraikan kamu demi aku.] Tulis Riana pada sebuah pesan.
Melani menenangkan diri terlebih dahulu, baru kemudian membalas pesan dari wanita yang merebut Candra darinya.[Perempuan pelakor kaya kamu gak pantes pake perhiasan mahal, kasian kulitmu yang miskin bakal gatel nanti. Biaya ke dokter kulit mahal, loh. Oh iya, asal kamu tau semua perhiasan ini hasil dari kerja keras dengan usaha yang halal, bukan usaha jual diri loh ini,] balas Melani sambil mencemooh.Tampak pesan tersebut sudah dibaca oleh Riana dan sedang mengetik untuk membalas. Melani malas melayani pesan tersebut langsung memblokir nomor ponsel tersebut dari kontaknya.“Cih, dasar pelakor sinting. Enak aja dia mau pake perhiasan aku, mimpi aja sana,” cibir Melani.Entah mengapa hatinya merasa sangat puas saat membalas pesan dari perebut suami orang tersebut. Jika Melani merasa puas, berbeda dengan Riana yang uring-uringan dan membanting ponselnya ke atas kasur empuk tersebut.“Kamu kenapa, Sayang? Apa yang buat bidadari kesayanganku ini marah?” tanya Candra.“Istri kamu tuh dia ngehina aku. Masa katanya aku pelakor trus aku disumpahin mati masuk neraka, aku kan takut sayang. Kamu mau gak belain aku,” rengek Riana manja meminta pembelaan.Candra diam, hatinya merasa sedikit janggal dengan keterangan yang diberikan Riana baru saja. Sepanjang dia tahu Melani bukanlah wanita kasar. Sikap elegan sebagai keturunan orang kaya memang selalu mengiringi, mustahil dia akan melakukan hal tidak berkelas tersebut.“Apa kamu yakin dia bilang gitu? Melani itu elegan loh dan dia gak pernah kasar. Mana coba liat isi pesannya,” cakap Candra.Riana marah karena Candra tidak percaya. Dia tampak sangat gugup saat sang suami meraih ponselnya untuk melihat percakapan antara dia dan Melani. Sebagai wanita licik pantang bagi Riana untuk kalah. Jurus andalan pun segera dikeluarkan yaitu menangis.Lelaki mana yang tega melihat wanitanya menangis tersedu, begitu pula dengan Candra kini yang sibuk menenangkan istri muda yang sudah menangis selama sepuluh menit.“Sayang, maaf. Kamu jangan nangis lagi ya, besok di kantor aku kasih dia pelajaran karena udah hina istri aku. Kamu liat aja nanti dia pasti nyesel,” lontar Candra.“Bener ya besok marahin dia, Mas. Kalo perlu tendang dia dari perusahaan biar aku yang gantiin,” cetus Riana.Candra terdiam. Bagaimana bisa membuang Melani begitu saja? Perusahaan itu didirikan menggunakan uang Melani, nasib baik baginya sang istri yang sebentar lagi menjadi mantan memberikan jabatan tertinggi serta separuh dari perusahaan itu.“Hmm ..., kalo itu gak bisa, Sayang. Harus rapat Direksi lagian, dia juga pemilik perusahaan statusnya sama alias setara sama aku,” terang Candra, “daripada kamu marah-marah gitu, kita ‘main’ kuda lumping kesurupan, yuk,” lanjutnya kemudian.Sudah bisa ditebak apa yang mereka lakukan setelahnya. Hal yang sangat disukai Candra dari Riana adalah dia pandai menyenangkan lelaki di atas ranjang dengan gaya yang sangat liar, berbeda dengan Melani yang hanya sesekali saja menunjukkan sisi liarnya. Satu jam berlalu, keduanya kini sudah berpeluh setelah bertukar kehangatan. Mereka kini berpelukan di atas ranjang di balik selimut.“Mas, besok aku boleh ya ikut ke kantor, boleh ya, ya,” rengek Riana.“Ngapain kamu ke kantor, Sayang? Di sana itu tempat kerja buat cari duit. Kalo kamu di sana aku bisa gak fokus. Lagian mana ada atasan bawa istri kerja,” tolak Candra dengan halus.“Halah, bilang aja Mas mau mesra-mesraan sama dia,” rajuk Riana.Candra tertawa. Rasanya konyol sekali perkataan sang istri, bagaimana mungkin dia akan bermesraan dengan wanita yang akan di ceraikan.“Kalo aku masih cinta, ngapain aku ceraikan dia? Udah deh, kamu diem di rumah aja atau belanja kek, ke salon terserah deh kemana. Nanti aku kasih kartu buat kamu,” tawar Candra.‘Pucuk dicinta, ulam pun tiba, emang belanja yang aku mau. Pengen beli perhiasan mahal kaya punya si tua itu,’ batin Riana.Riana akhirnya setuju setelah beradu argumen beberapa saat guna melengkapi sandiwara. Candra bangga karena bisa membahagiakan sang istri.“Bener kan aku bisa bahagiain kamu. Makanya setia biar kamu tetap idup enak,” pukas Candra sombong.“Siapa dulu suami aku, Candra gitu loh,” puji Riana.Mereka berdua tertawa dan merasa sangat bahagia, berbeda dengan keadaan Melani yang kini sedang terpuruk serta berkubang dalam kesedihan. Sudah berulang kali Melani menyemangati diri, tetap saja bayangan Candra dan masa indah dulu melintas di pelupuk mata seolah menggodanya.Melani tersenyum pahit, berusaha memaki dan menertawakan diri sendiri yang masih saja bodoh memikirkan lelaki yang berkhianat akan janji pernikahan.Wajahnya kini tampak sangat menyedihkan, hal yang dia lakukan hanya meratapi nasib pernikahan serta kisah asmara yang harus dia relakan kandas.Pukul empat subuh Melani masih terjaga. Matanya enggan terpejam karena pikiran yang mengembara kemana-mana. “Duh ... kok malah gak bisa tidur? Orang yang aku pikirin aja enak-enakan di sana. Ngapain sih aku jadi perempuan kok jadi bodoh begini?” keluh Melani.Merasa kesal dengan diri sendiri, Melani menuju dapur dan menyeduh teh guna menenangkan pikirannya yang kacau balau. Tampak istri Pak Usep yang sedang sibuk di dapur terkejut melihat penampilan sang majikan.“Loh, Nyonya? Kok kusut banget? Ga tidur ya?” tanya Surti.“Iya, Bi. Aku lagi ada masalah,” jawabnya sedih.“Saya pijitin yah, Nyonya. Insya allah bisa tidur,” tawar Surti.Melani setuju, tubuh dan pikirannya butuh istirahat. Surti mengambil minyak zaitun dan mengikuti majikannya ke kamar.Sesampainya di kamar Surti segera melaksanakan tugasnya. Tidak sampai satu jam, Melani sudah terlelap. Istri Pak Usep segera keluar dengan perlahan.Azan subuh berkumandang, Surti salat di dalam kamar sebelum kembali melakukan aktifitasnya. “Bu, sarapan Nyonya udah siap? Nanti dia turun loh,” tanya Pak Usep.“Paling juga pas makan siang turunnya, Pak. Dia baru aku pijitin langsung tidur. Kasian Nyonya, berat banget pasti masalahnya,” ucap Surti prihatin.“Kita doakan aja yang terbaik, semoga segera selesai masalah yang menimpanya. Nyonya orang baik,” tukas Pak Usep.Mereka kemudian menyudahi perbincangan karena Saodah mendekati mereka. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu gemar bergunjing, hampir semua tak luput dari dari bahan gosip. Itu lah sebabnya Pak Usep dan Bi Surti menghentikan obrolan.“Loh, kok pas aku dateng kalian malah diam? Ngomongin apa sih?” Tanya Saodah penasaran.“Emang kamu mau dengar obrolan ranjang suami istri? Kalo kamu pengen gimana?” Sahut Bi Surti berbohong.Saodah memutar matanya dan pergi berlalu dari mereka berdua dan ke luar rumah untuk membersihkan halaman dan teras.“Belagu banget sih mentang-mentang punya pasangan,” gerundel Saodah.Melani sudah merasa sudah cukup memberi waktu tiga hari kepada tubuh dan pikirannya. Hari ini dia kembali ke kantor seperti biasa.“Selamat pagi, Bu,” sapa Lisa sekretarisnya.“Pagi, Lisa. Tolong kamu panggilkan manajer keuangan,ya,” kata Melani.Melani masuk ke ruangannya, tampak kursi Candra masih kosong. Dia tidak peduli lagi akan kehadiran lelaki yang pernah mengisi hati dan mengarungi bahtera rumah tangga bersama.Tak lama manajer keuangan tiba. Melani mulai menginstruksikan beberapa kebijakan terkait keuangan perusahaan.“Pak Ramli, setiap transaksi yang mencurigakan dalam nominal besar laporkan ke saya. Trus satu lagi, tolong lantai tujuh buat kantor untuk saya yang besar dan nyaman untuk tamu serta pemegang saham. Besok harus sudah selesai,” perintah Melani.“Baik, Bu. Saya laksanakan segera, permisi.” Manager Keuangan yang bernama Ramli itu ke luar dari ruangan Melani.Tiga puluh menit berselang, Candra masuk ke dalam ruangan. Tidak ada tegur sapa atau saling melempar senyum.
“Andre, ngapain di situ? Sini bantuin aku buang sampah,” kata seorang petugas kebersihan.Andre segera mengikuti petugas tersebut, sebenarnya banyak kejanggalan pada penampilan lelaki yang bernama Andre tersebut, entah mengapa kepala bagian kebersihan meminta untuk tidak terlalu peduli akan hal tersebut.Melani merasa sangat senang karena sudah memamerkan kantornya kepada Candra tanpa dia harus bersusah payah. Dia juga puas karena sudah menghina lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suami.Kesibukan kembali menenggelamkan Melani, banyaknya berkas membuat dia lupa waktu, hingga Dewa Juanda sang asisten mengingatkan untuk makan siang.“Masih banyak berkas yang harus aku periksa, Juan. Beliin makanan dong yang enak,” pungkas Melani.“Siap, Bos. Mau makan apa nih? Jangan bilang terserah, pusing aku,” kelakar Juan.Dewa Juanda atau biasa disapa dengan Juan adalah sahabat Melani sedari bangku SMA, hingga bisa berbicara santai jika tidak ada tamu dan mereka hanya berdua atau bertiga
[Kamu di mana? Kok jam segini belom pulang sih?] tulis Candra dalam sebuah pesan.[Bukan urusanmu,] balas Riana sengit.Candra kesal dan membanting ponselnya ke atas kasur. Bagaimana bisa Riana tidak pulang sudah larut malam seperti ini. [Awas aja kalo berani macem-macem. Kamu itu bukan apa-apa kalo gak ada aku, Cuma seonggok daging yang jual diri demi gaya hidup,] cemooh Candra dalam pesannya.Riana merasa sangat marah dengan balasan pesan tersebut. Kilat mata benci pun tampak dari sorot mata wanita tersebut.“Sabar, Riana. Kamu itu kan emang pelakor, sebelum dapet hartanya kamu harus sabar,” gumam Riana.Akhirnya dia memilih pulang daripada kehilangan sumber uang. Tiba di rumah dia melihat sang suami sedang berbaring sambil menatap serius ponselnya. Dia sengaja membanting tas di meja rias agar Candra menyadari keberadaannya.“Udah pulang kamu? Kirain lupa jalan pulang,” sapa Candra dengan ketus.“Ya ingetlah, masa lupa. Emang aku hilang ingatan apa,” cibir Riana.“Kamu kenapa sih?
“Ngapain sih ondel-ondel kesiangan ke sini? Ganggu aja,” gerutu Juan.“Heh, apa kamu bilang? Ondel-ondel kesiangan? Jangan kurang ajar ya, kamu!” bentak Riana.“Yang kurang ajar itu kamu, seenaknya masuk ruangan orang gak permisi. Pergi sana,” usir Melani.Riana mendengus kesal, kemudian dia menatap Alex dengan tatapan tidak suka.“Alex, kamu udah bilang belum pesan Candra, suamiku,” ulang Riana.Alex mengabaikan Riana seolah tidak ada wanita itu di sana. Mereka berbicara tentang bisnis yang membuat kepala istri Candra itu berdenyut.Lima belas menit tidak ada jawaban, Riana ke luar sambil membanting pintu.“Dasar gak punya sopan santun. Udah miskin harta miskin etika lagi,” cibir Alex.“Kamu jangan menghina gitu Lex. Dia itu pelakor yang gak tau malu kesayangan si Candra,” timpal Juan.Melani diam dan menatap kedu
[Pantesan kamu minta cerai, ternyata main belakang sama Juan selama ini.] Candra menulis pesan kepada Melani.Melani melipat dahinya usai membaca pesan tersebut.‘Apa-apaan ini? Ngapain kirim pesan begini,’ pikir Melani.Melani memilih tidak membalas pesan dari Candra. Baginya tidak perlu membicarakan hal yang tidak penting meskipun lewat pesan.Dia berencana akan menutup semua jalur komunikasi dari Candra jika pemisahan harta selesai. Bagaimanapun rasa itu masih ada dan sesekali hinggap, dia tidak mau merusak hidupnya dengam terjebak di masa lalu.Di rumahnya Candra tampak sangat kesal, apa saja yang dilakukan oleh Riana terasa salah dalam pandangannya. Sang istri memilih diam dan meninggalkan Candra sendiri.‘Aneh banget suamiku hari ini. Biasanya suka kalo mesra-mesraan ini kok malah mengelak? Apa dia sebenarnya masih cinta sama mantannya itu? Toh udah cerai ini ngapa
“Mau ngapain kamu ke sini?” tanya Riana dengan ketus.“Bukan urusanmu orang-orangan sawah. Kamu diem deh, aku gak ada urusan sama kamu,” jawab Alex.“Ini surat pemisahan harta kalian, kamu periksa dulu.” Alex menyodorkan sebuah map kepada Candra.Alex segera pamit dan menuju ruangan Melani. Riana yang mendengar pemisahan harta, seketika raut wajah menjadi berbinar dan tampak berseri.Candra tersenyum tipis, entah mengapa sisi hatinya terasa sangat sakit saat membaca surat tersebut. Riana duduk di pangkuan sang suami dan melingkarkan tangan di lehernya.“Wah, banyak juga jumlahnya, Sayang. Eh tapi kok itu rumah kita ikut dijual? Trus kita tinggal di mana dong?” celetuk Riana.“Rumah itu kan ada karena hasil kerja kami berdua, maka itu juga dijual biar bisa dibagi. Masalah tinggal di mana ya beli rumah baru lah, atau apartemen gitu,” cakap Candra.Riana
Sepanjang jalan Melani memikirkan keputusannya yang menurutnya terburu-buru, karena memikirkan terlalu serius hampir saja dia menabrak pembatas jalan.Melani terkejut kemudian dia memilih untuk menepi sejenak, guna menguasai pikirannya yang sedang kacau.“Apa kata orang nanti? Masa baru cerai udah nerima pinangan laki-laki lain? Gimana kalo mereka malah berpikir macam-macam dan nuduh aku selingkuh? Jaman sekarang jari orang mudah untuk menghakimi tanpa tau kisah yang sebenarnya,” gumam Melani.Akan tetapi sisi terdalam hatinya mengatakan kalau keputusannya itu sudah benar. Juan menunggunya sedemikian lama untuk menggapai cinta darinya.Melani cukup keras kepala, dia memaksa hati dan pikirannya untuk menolak lamaran Juan saat dilamar nanti.“Ah udah gila aku ini bahkan bener-bener gila. Masa aku terima Juan? Apa iya aku suka sama Juan? Apa bukan pelampiasan? Masa pernikahan berjalan bukan atas dasar cinta? Dulu aku pernah menikah atas dasar cinta malah berakhir cerai, apalagi ini tanpa
“Mama sampe lupa ngasih tau kamu. Itu si Juan malem-malem dateng ke rumah melamar kamu sama Papa. Tentu lamaran itu direstui sama Papa, dia kemudian menitipkan cincin tunangan biar kamu pake.” Liliana menyerahkan kotak berisi cincin kepada Melani.Mata Melani membulat sempurna, ternyata Juan tidak menunggu minggu depan untuk melamarnya.“Sudahlah, kamu jangan ragu lagi nerima Juan sebagai calon suami. Dia itu anak yang baik, ayo Mama antar kamu ke kantor,” ajak Liliana.Melani bersiap-siap, memoles wajahnya tipis kemudian menggandeng sang ibu.Tiba di kantor, beberapa karyawan tersenyum dan mengucapkan selamat atas pertunangannya. Melani mengucapkan terima kasih atas ucapan mereka. Pintu lift terbuka Liliana dan Melani masuk kemudian menekan tombol di mana kantor Melani berada.“Tuh kamu liat sendiri kan, gak ada tuh yang memandang rendah kamu,” cetus Liliana.Melani ter