Hari pernikahan Faisal telah tiba, dan suasana di rumah dipenuhi dengan kesibukan yang tak terelakkan. Farhan keluar dari kamarnya, memperhatikan persiapan acara syukuran dan ijab kabul tidak akan lama lagi berlangsung di ruang tengah. Beberapa ibu tetangga tampak sibuk membantu, menyusun hidangan untuk tamu yang akan datang.
Di antara keramaian, terdengar candaan dari ibu-ibu tetangga. “Farhan, kapan kamu nikah? Kakak kamu aja udah mau dua kali!” celetuk salah satu dari mereka, disambut dengan tawa riang yang memenuhi ruangan.
Farhan hanya mengangkat bahu sambil tersenyum simpul. “Apa yang perlu dibanggain dengan kawin cerai, kawin lagi, Bu?” sindirnya dengan nada santai.
Nur yang sedang sibuk di antara ibu-ibu tersebut, mendengar candaan itu dan segera menegur Farhan, “Farhan, kamu kok ngomong gitu?”
Farhan hanya diam, merasa tidak ada yang salah dengan jawabannya barusan. Namun dia juga tidak ingin berdebat dengan ib
Alisha sudah berbaring di ranjang klinik Bidan Rose, mencoba menenangkan diri meskipun rasa gugup dan sakit semakin nyata dirasakannya. Cahaya matahari pagi yang lembut menyinari ruangan melalui jendela besar, menciptakan suasana hangat namun tetap tidak mampu mengusir kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya. “Saya periksa bukaannya dulu, ya,” ujar Bidan Rose dengan suara lembut. Alisha mengangguk, menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang akan segera datang. Begitu tangan Bidan Rose melakukan pemeriksaan, Alisha meringis kesakitan. Dia menggenggam erat seprai ranjang, mengeluarkan desahan tertahan. “Aaahh…” ringis Alisha sambil memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. Bidan Rose tersenyum simpul, mencoba memberikan semangat pada Alisha. “Pembukaan lima, Alisha. Masih agak lama kamu melahirkan, sabar ya.” Alisha hanya bisa mengangguk, napasnya terengah-engah. Bidan Rose kemudian melanjutkan pemeriksaan tanda-tanda vital pada Alisha. Mulai dari meme
“Kamu laper gak, Mbak?” tanya Farhan penuh perhatian. “Aku beliin makan ya? Kamu butuh banyak tenaga.” Tawarannya membuat Alisha tersenyum tipis, mengangguk setuju atas tawaran tersebut.Farhan pun keluar untuk membeli makan. Tak lama kemudian Farhan kembali dengan bubur ayam, aroma harumnya memenuhi ruangan kecil klinik. Alisha yang terbaring di atas ranjang, memandang dengan mata lelah saat Farhan menyuguhkan makanannya.Farhan duduk di sampingnya, matanya penuh perhatian saat menyuapi Alisha. Dia berbicara dengan lembut, mencoba mengalihkan pikiran Alisha dari rasa sakitnya.“Ayo, makan dulu,” ucap Farhan lembut sambil menyodorkan sendok berisi bubur ayam.Alisha mengangguk lemah, dia membuka mulutnya perlahan, menerima setiap suapan makanan yang disuguhkan Farhan.Tatapan mereka bertemu, penuh dengan makna yang tak terucapkan. Di dalam hati, Alisha merasa bersyukur karena ada seseorang yang begitu perhatian padanya— meski dia sadar ta
Di lorong depan ruang bersalin, Farhan tampak duduk dengan kedua mata berkaca-kaca. Ekspresinya berubah menjadi lega ketika mendengar suara tangis bayi. Suara itu menghentikan belitan waktu yang panjang dan melelahkan, menggantikannya dengan kebahagiaan. Selama berjam-jam sebelumnya, dia mendengar jeritan penderitaan Alisha, dan sekarang suara bayi itu memberinya penghiburan.Bidan Rose dan asistennya keluar dari ruangan. Farhan segera bangkit dari kursi, menghampiri pintu. “Terima kasih, Bu Bidan,” ucapnya.“Sama-sama,” jawab Bidan Rose ramah. “Silakan masuk kalau mau lihat ponakannya. Sekalian diadzanin.”Farhan mengangguk dengan senyum tulus. “Baik, Bu. Terima kasih banyak.”Setelah Bidan Rose dan asistennya pergi, Farhan kembali masuk ke dalam ruangan. Ruangan itu penuh dengan suasana kebahagiaan meskipun masih terasa tegang. Farhan melihat Alisha terbaring lemah, namun senyum bahagia terukir di wajahnya
Tak sampai lima belas menit duduk, Farhan sudah ketiduran di sofa, wajahnya damai dan napasnya tenang. Alisha terdiam, memandang wajah pemuda itu yang entah kenapa terlihat makin tampan saat dia tertidur. Wajah teduh, hidung mancung, kulit kuning langsat, rahang tegas namun terkesan lembut, rambutnya agak mulai panjang tapi masih teratur—kombinasi yang seolah menyihir untuk terus menatapnya.“Gitu banget ngeliatin Farhan?” tiba-tiba Rona menyela, membuat Alisha kaget.“Ibu, bikin kaget deh,” ucap Alisha, agak salah tingkah.“Ganteng ya?” goda Rona dengan setengah berbisik.“Ssstt,” Alisha memberi kode agar Rona tidak berisik, sambil memandang Farhan yang tertidur pulas.“Malu ya kalo sampe ketahuan Farhan?” goda Rona lagi, lalu meletakkan mangkok sop di meja dengan senyum usil. Alisha tak menjawab karena malu.Rona duduk di samping Alisha, meraih bayi Alisha, dan menggendongny
Farhan menghela nafas, “Maaf, Bu.”“Maaf terus, tapi kamu gak nyesel sama kelakuan kamu kan?!”Farhan menatap lurus pada ibunya, “Iya, gak nyesel,” jawabnya tegas.Nur semakin geram, “Ibu udah gak tahan lagi sama kamu, Farhan. Mending kamu gak usah nunjukin muka kamu lagi di depan ibu, mending kamu pergi dari sini,” ucap Nur dengan suara penuh amarah.DEG! Farhan terkejut dengan pernyataan itu, dia tak menyangka akan mendapat reaksi sekeras itu dari ibunya.“Kenapa ibu gak tanya dulu aku kemana?” tanya Farhan, mencoba membela diri. “Kemarin aku nungguin ponakanku lahir, Bu.”Nur, Faisal, dan Rahma terdiam mendengar penjelasan itu, tak menyangka bahwa Farhan memiliki alasan yang kuat untuk absen dari acara keluarga tersebut.“Bertepatan dengan mas Faisal yang nikah lagi, Mbak Alisha lagi kesakitan, melahirkan, tanpa seorang pun datang nemenin dia, coba bayangin gimana posisi Mbak Alisha,” ucap Farhan dengan nada serius, mencoba menyamp
Faisal menggeleng pelan. “Aku gak kepikiran Alisha lagi, tapi mau gimana, anaknya Alisha itu anak aku,” jelasnya.“Dulu kamu pernah curhat sama aku, katanya kamu gak yakin sama anak mantan istri kamu itu,” ujar Rahma, mencoba mengingatkan Faisal.Faisal mengangguk mengingat masa lalu yang rumit. “Itu karena aku lagi kesel aja sama Alisha, soalnya dia mentingin kenalan lamanya, tapi setelah aku pikir lagi, Alisha gak seburuk itu,” ungkapnya dengan nada yang lebih bijak.“Terus kenapa? Kamu nyesel cerai sama Alisha?” tanya Rahma.Faisal menggeleng cepat. “Kamu kok ngomong gitu? Ya gak lah, kan aku udah nikah sama kamu,” ujarnya. Rahma masih cemberut.Faisal merasakan tekanan semakin meningkat ketika Rahma mengajukan pertanyaan yang kritis. “Kalo anak Alisha itu emang anak kamu, terus kamu mau apa mas? Kamu mau nafkahin dia?” tanyanya tajam.Faisal terdiam sejenak, mencoba
Waktu terus berlalu sejak kelahiran Haqi, dan Farhan menjadi sosok yang sering muncul di kosan Alisha. Setiap kesempatan, ia menyempatkan waktu untuk menemani bayi itu. Baginya, Haqi bukan sekadar keponakan, melainkan lebih dari itu; ia bahkan biasa menyebut dirinya sebagai ayah untuk membiasakan bayi itu. Meski pada awalnya Alisha protes, namun Farhan tak pernah menghiraukannya.“Aku memang pengen jadi ayahnya,” ujar Farhan serius.Alisha masih bimbang. Meskipun dia memiliki perasaan pada Farhan, terlebih pria itu menunjukkan kasih sayang yang tulus untuk putranya yang bahkan melebihi ayah kandung Haqi. Namun Alisha masih takut memiliki hubungan serius dengan Farhan— tak ada lain kecuali karena dia enggan terlibat kembali dengan keluarganya.Meski demikian, Alisha pun tak pernah keberatan dengan kehadiran Farhan di sisi Haqi. Bahkan, ia tampak senang melihat kedekatan antara Farhan dan bayinya. Setiap kali Farhan hadir, Haqi selalu tersenyum c
Nur, Faisal, dan Rahma sedang makan malam bersama di ruang makan. Suasana malam itu awalnya tenang, namun ketegangan segera terasa setelah makan malam selesai.“Aku udah selesai, aku ke kamar dulu, ya,” kata Rahma sambil menggeser kursinya ke belakang, bersiap untuk bangkit.Faisal segera mencegah, “Tunggu dong, ibu kan lagi gak enak badan dari tadi pagi. Seenggaknya kamu beresin dulu piring sama gelas kotornya.”Rahma menatap Faisal dengan kening berkerut. “Aku tadi udah masak, terus nyetrika seragam kamu, itu capek loh, Mas. Kamu aja yang nyuci piringnya,” pinta Rahma dengan.Nur yang duduk di ujung meja, tampak keberatan dengan percakapan tersebut. “Laki-laki harusnya gak ngelakuin itu, Rahma. Semua kerjaan rumah itu tugas kamu sebagai istri.”Rahma menghela napas dalam-dalam, menahan emosinya yang sudah mendidih. “Tugas? Gak ada kewajiban seperti itu, Bu. Cuma pemikiran orang-orang kuno aja
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis