Nur, Faisal, dan Rahma sedang makan malam bersama di ruang makan. Suasana malam itu awalnya tenang, namun ketegangan segera terasa setelah makan malam selesai.
“Aku udah selesai, aku ke kamar dulu, ya,” kata Rahma sambil menggeser kursinya ke belakang, bersiap untuk bangkit.
Faisal segera mencegah, “Tunggu dong, ibu kan lagi gak enak badan dari tadi pagi. Seenggaknya kamu beresin dulu piring sama gelas kotornya.”
Rahma menatap Faisal dengan kening berkerut. “Aku tadi udah masak, terus nyetrika seragam kamu, itu capek loh, Mas. Kamu aja yang nyuci piringnya,” pinta Rahma dengan.
Nur yang duduk di ujung meja, tampak keberatan dengan percakapan tersebut. “Laki-laki harusnya gak ngelakuin itu, Rahma. Semua kerjaan rumah itu tugas kamu sebagai istri.”
Rahma menghela napas dalam-dalam, menahan emosinya yang sudah mendidih. “Tugas? Gak ada kewajiban seperti itu, Bu. Cuma pemikiran orang-orang kuno aja
Faisal mendekati Rahma dengan langkah pelan. “Rahma, kamu jangan kayak gini dong,” ucapnya dengan suara lembut, mencoba membujuk wanita itu. “Aku gak mau pisah sama kamu.”Rahma berhenti sejenak, menatap Faisal dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku juga gak mau hidup sama laki-laki yang nggak ngehargain aku,” katanya dengan suara yang penuh emosi. “Selama ini kamu cuma minta diperlakukan seperti raja! Tapi kamu gak bisa memperlakukan aku sebagai ratu. Aku gak mau terus-terusan jadi babu!”Kata-kata Rahma menusuk hati Faisal. Dia tercekat, bingung harus mengatakan apa. Dalam hatinya, dia tahu Rahma punya alasan kuat untuk marah. Namun, dia juga merasa terpojok dan tak berdaya. Faisal hanya bisa menatap Rahma dengan wajah yang penuh penyesalan, sadar bahwa kata-katanya tidak akan mudah merubah keputusan Rahma.Rahma selesai mengemasi pakaiannya, memasukkan baju-baju terakhir ke dalam tasnya lalu menyeret tasnya. Matany
Alisha baru menyelesaikan sholat shubuh di kamarnya. Saat baru berniat berdzikir, ketenangannya terputus saat Haqi terbangun dari tidurnya dengan rengekan kecil.“Anak ibu bangun?” gumam Alisha, mendekati tempat tidurnya, di mana bayi itu terbaring di bagian tengahnya.Haqi menangis terlihat gelisah, dan Alisha segera menyadari bahwa bayinya itu sedang merasa kehausan. Alisha melepas mukena yang masih menempel di tubuhnya setelah sholat, lalu melipatnya dengan cepat.Setelahnya, Alisha segera mengangkat bayinya dengan lembut. Haqi merengek makin kencang saat Alisha sudah mendekapnya, bayi mungil itu sudah kelaparan.“Gak sabar ya, Nak?” ucap Alisha dengan lembut, segera menawarkan payudaranya untuk memberikan asi kepada Haqi.Bayi itu segera merespons, menempelkan bibirnya pada puting ibunya, seolah laparnya sudah tidak tertahankan. Alisha hanya tersenyum melihat antusiasme Haqi.“Anak ibu laper ya?” goda
Pagi itu, Alisha bersiap untuk berangkat bekerja. Dia menggendong Haqi menuju ke ruang tamu di mana Rona—pemilik kos yang juga sudah seperti ibu baginya, sedang menunggu.“Saya titip Haqi ya, Bu,” kata Alisha.“Iya, kamu percayain aja sama ibu,” jawab Rona sambil tersenyum lembut dan meraih bayi enam bulan itu.Alisha membungkuk di hadapan Haqi, yang sekarang berada dalam pelukan Rona. “Haqi, anteng sama Uti Rona, ya? Jangan rewel.” Dia mencium kedua pipi bulat putih itu dengan penuh kasih sayang. “Ibu berangkat, sayang.”Haqi mengulurkan tangannya ke arah Alisha, seolah ingin ikut bersamanya. Rona dengan cepat mengalihkan perhatian bayi itu. “Eh, ayo main sama Uti, yuk main di kamar,” ajak Rona dengan suara ceria, menggendong Haqi dan mengayunkannya sedikit.Dengan hati berat, Alisha berlari keluar menuju halaman sebelum Haqi sempat menangis karena merasa ditinggal. Dia menoleh bebe
“Maaf, Mas Dion,” kata Alisha dengan suara lirih. “Aku benar-benar menghargai niat baik kamu. Kamu orang baik dan perhatian, tapi aku juga gak bisa maksain perasaan, aku harap kamu ngerti.” Dion menarik napas panjang, berusaha menahan rasa kecewanya. Dia menatap Alisha sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke jalan di depan mereka. “Nggak apa-apa, Alisha,” jawabnya dengan suara yang terdengar lemah. “Aku cuma pengen yang terbaik buat kamu dan Haqi. Kalau itu bukan aku, ya aku harus terima.” Alisha merasa hatinya semakin berat mendengar ketulusan dalam suara Dion. “Maafkan aku, Mas. Aku tahu kamu pasti kecewa. Tapi, aku nggak mau kita jadi nggak enak satu sama lain.” Dion mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya. “Iya, aku ngerti. Aku nggak mau maksa kamu, Alisha. Yang penting kamu dan Haqi bahagia. Itu sudah cukup buat aku.” Alisha tersenyum kecil, meski dalam hatinya terasa getir. “Makasih, Mas Dion. Kamu selalu baik sama aku dan H
Farida mengemasi barang-barangnya dengan cepat, air matanya masih berlinang. Tomi, berusaha mencegahnya.“Farida, kamu nggak perlu pulang ke rumah orangtua kamu,” kata Tomi, suaranya penuh permohonan.“Kenapa aku nggak boleh pulang? Sementara kamu lebih milih lanjut S2 ke luar negeri, daripada nemenin aku yang bentar lagi lahiran,” balas Farida dengan suara gemetar karena emosi.“Ini permintaan orangtua aku, aku nggak bisa nolak,” kata Tomi, mencoba membela dirinya.“Terserah kamu kalau gitu,” jawab Farida dengan nada putus asa. Dia merasa sendirian dalam menghadapi kehamilan ini, dan keputusan Tomi untuk pergi ke luar negeri membuatnya merasa ditinggalkan.Farida mengangkat tasnya yang terasa berat, apalagi karena perutnya yang kini membesar. Dengan usaha keras, dia membawa tas itu keluar kamar, sambil menahan rasa sakit dan kelelahan yang menyertai kehamilannya. Tomi terus mengejarnya, berusaha memb
Sore itu, Alisha membereskan barang-barangnya di butik. Dia memasukkan buku catatan dan sketsa ke dalam tas, lalu mencangklong tasnya di bahu. Sebelum pergi, dia melirik meja Farhan yang kosong. Kekhawatirannya meningkat karena Farhan tidak masuk kerja hari ini, padahal pagi tadi Alisha sempat melihatnya di depan kosan. Alisha merasa gelisah, takut Farhan salah paham dengan kehadiran Dion pagi tadi.Alisha menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. Dia meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada Farhan, bertanya kenapa dia tidak masuk kerja. Tak lama, ponselnya bergetar tanda pesan balasan masuk.FARHANAda urusan mendadak, mbak. Kamu udah pulang kerja, kah?Alisha segera membalas,ALISHABaru mau pulang.Ponselnya bergetar lagi, kali ini dengan pesan yang membuatnya heran.FARHAN
Farhan dan Alisha duduk berdua di meja cafe setelah Farida memutuskan untuk pulang lebih awal. Suasana jadi sedikit canggung karena mereka tidak pernah berduaan di tempat seperti ini.“Katanya mau tinggal di rumah mas?” tanya Farhan pada Farida sebelum adiknya itu pergi.“Ibu nyuruh pulang, Mas. Lagian aku juga kangen sama ibu,” jawab Farida sambil merapikan tasnya.“Kalo gitu biar mas anter,” kata Farhan menawarkan diri.“Gak usah, aku naik taksi aja, masa mas mau ninggalin mbak Alisha? Padahal kita yang ngajak ketemu,” kata Farida sambil tersenyum kecil.Alisha menimpali, “Gak apa-apa kok, setelah makan aku juga langsung pulang.”“Gak usah buru-buru, mbak. Santai aja,” kata Farida mencoba menenangkan suasana.Farida lalu menoleh pada Farhan, “Mas, tolong angkatin tas yang masih di mobil kamu ke taksi aja ya?”Farhan mengangguk dan bangkit dari
“Alisha, tolong. Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin jadi ayah yang baik buat anak kita,” kata Faisal dengan suara penuh penyesalan.“Kamu sudah punya istri, Mas. Aku gak mau lagi berurusan sama kamu. Lupain masa lalu kita,” kata Alisha.Rona yang melihat emosi Alisha saat bertelepon jadi kaget, namun dia hanya diam sambil memperhatikan.“Iya, aku sekarang memang sudah punya istri lagi, tapi itu tidak mengugurkan kewajibanku pada anak kita. Alisha, aku mohon, selama ini aku merasa tersiksa karena rasa bersalah ini,” kata Faisal.“Kenapa baru sekarang kamu teringat tanggung jawab kamu sebagai ayah? Aku gak butuh tanggung jawab kamu pada anak aku. Aku bisa merawat dan membesarkannya sendiri.”“Tapi aku ayah kandung bayi itu, Alisha. Aku berhak atas dia juga,” kata Faisal.“Kamu gak berhak!” bentak Alisha.“Seenggaknya, biarin aku menebus kesa
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis