Farhan menoleh pada Nur dengan ekspresi datar, sedikit kecewa dengan sikap ibunya yang seolah-olah menyalahkan dirinya di depan Cantika dan yang lain, meski sebenarnya Nur sendiri yang meminta Farhan melakukan pekerjaan itu.
Farhan yang sebenarnya berencana menggantung cucian di halaman, akhirnya menaruh ember berisi cucian basah itu ke belakang, lalu kembali menghampiri yang lain. “Kalian kok ke sini?” tanyanya heran.
“Jengukin kamu, dong,” jawab Cantika. Wanita stylish berambut panjang itu meletakkan keranjang penuh buah-buahan dan kue di atas meja.
“Aduh, repot-repot segala. Terima kasih ya, sudah peduli sama Farhan.” Nur kemudian mempersilakan mereka semua duduk. Farhan pun bergabung dengan yang lain, sedangkan Nur jalan ke belakang untuk membuatkan minuman.
Farhan memerhatikan dua anak kecil yang duduk diapit oleh Maya dan Cantika. Anak laki-laki yang tampan yang dibalut dengan pakaian trendi berusia sekit
Farhan dan Alisha berjalan bersama menuju halaman parkir, di mana mobil Dion baru saja tiba. Dion turun dari mobil dengan senyuman lebar. “Hai, Lis. Mau pulang, ya?” sapa Dion sambil melangkah menghampiri Alisha. Alisha pun menimpali sapaan itu dengan ramah.“Iya. Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?” tanya Alisha. Mereka berdua pun mengobrol ringan sesaat, Alisha berbasa-basi menanyakan keadaan Dion setelah beberapa hari diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Sebaliknya, Dion pun bertanya bagaimana keadaan kandungan Alisha.Farhan mengamati interaksi antara Alisha dan Dion dengan hati yang berdebar. Meski dia enggan mengakui, tapi sepertinya Farhan memang cemburu. Farhan meremas jemarinya, mencoba menekan perasaan tak seharusnya itu. Namun gelombang ketidaknyamanan itu terus menyusup dalam dadanya, membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Hal itu karena Farhan menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dengan tatapan Dion pada Alisha. Farhan bisa melih
Suara ceria burung-burung pagi memecah keheningan udara saat Alisha melangkah ke halaman kosannya dengan ember kecil berisi pakaian basah. Terik matahari pagi sudah mulai terasa menyengat, Alisha tersenyum menyadari jika pakaiannya hari ini akan cepat kering. Saat Alisha baru menggantung pakaiannya di atas jemuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak biasa menarik perhatiannya. “Kiu kiu!” Alisha menoleh mendengar suara usil tersebut, dan melihat sosok Farhan yang sudah nongkrong di atas motornya di sudut kosan. Farhan tersenyum lebar saat Alisha melihat ke arahnya. “Cukurukuk.” Alisha tak bisa menahan tawanya saat mendengar celetukan Farhan, “Farhan? Kamu ngapain ke sini?” Farhan turun dari motornya, lalu melangkah menghampiri Alisha. “Jemput kamu.” Alisha bingung. “Jemput kemana? Bukannya ini hari Minggu? Kan libur kerja?” “Iya, karena hari Minggu, aku mau jemput kamu buat ke bidan, Mbak. Waktunya periksa kan?”
Alisha termenung bingung. Di satu sisi, dia menyadari jika Farhan adalah sosok yang begitu perhatian dan baik padanya. Setiap kali Alisha membutuhkan bantuan atau dukungan, Farhan selalu ada di sana untuknya. Ia merasa nyaman dan aman berada di dekatnya, seolah-olah dunianya menjadi lebih baik ketika bersama Farhan. Namun, di sisi lain, kehadiran Farhan juga membawa konsekuensi yang menyulitkan. Dalam hubungan mereka yang semakin dekat, Alisha mulai menyadari bahwa ada banyak masalah dan perdebatan yang muncul, terutama dari pandangan orang lain di sekitarnya. Tuduhan-tuduhan dan gosip-gosip yang tersebar membuat Alisha merasa terjebak di tengah pertarungan antara keinginannya untuk terus dekat dengan Farhan dan keinginannya untuk menghindari konflik dan celaan orang lain. Sementara itu, di parkiran Farhan merasakan darahnya mendidih ketika mendengar makian Surti yang terus berlanjut. Dia merasa seperti sebuah bom waktu yang siap meledak setiap saat. Dalam hati,
“Kalo syukuran ultah Cio, berarti kita harus siapin hadiah, kan?” tanya Alisha. Farhan mengangguk. “Kita pergi ke toko perlengkapan bayi dulu. Sekalian nanti minta dibungkusin, gimana?” Alisha setuju dan segera mereka berdua naik ke motor. Tak lama kemudian, Farhan dan Alisha tiba di depan toko perlengkapan bayi. Mereka berdua masuk ke dalam toko, siap memilih hadiah untuk ulang tahun Cio. “Kamu mau kasih hadiah apa buat Cio, Mbak?” tanya Farhan pada Alisha sambil melihat sekitar. “Bingung nih— tapi yang jelas, aku gak akan kasih hadiah baju bayi,” jawab Alisha. Farhan tertawa karena teringat selama ini Cio selalu mengenakan baju-baju lucu dan stylish hasil karya mamanya. “Kalo soal baju bayi, Cio gak pernah kekurangan, keknya mending kita pilih mainan bayi aja deh,” kata Farhan. “Setuju!” Alisha mengangguk. Mereka berdua mulai mencari di antara berbagai macam mainan bayi yang tersedia di rak-rak toko. Mereka memilih beberapa barang
Faisal baru saja keluar dari kamarnya. Hari Minggu merupakan hari libur mengajarnya, jadi dia merasa nyaman untuk tidur lebih lama. Sementara Nur yang melihatnya langsung protes, “Jam segini kenapa baru bangun, sih?” Faisal tersenyum kecil, “Libur kan cuma sehari dalam seminggu, Bu. Aku pengen santai-santai.” Nur menggeleng, “Harusnya kamu bantuin beres-beres. Adik-adik kamu pada gak ada di rumah, tapi piring kotor numpuk di belakang. Ibu udah risi liatnya. Tolong kamu cuciin ya.” Faisal menghela napas. “Iya, Bu,” katanya sambil bergerak menuju dapur. Faisal melihat begitu banyak tumpukan piring dan juga perabot lain yang ada di wastafel dapur. Meski enggan, Faisal tetap mencucinya. Nur menghampiri Faisal yang sibuk mencuci piring. “Maaf ya, ibu cuma bisa mengandalin anak-anak ibu sekarang. Ibu kan ada darah tinggi, ibu pusing kalo terlalu capek.” Faisal menoleh dengan wajah penuh pengertian, “Gapapa, Bu. Ibu istirahat aja,
Langkah Alisha terasa berat ketika dia memasuki kamar kosnya setelah pelaksanaan putusan perceraian. Suasana di dalam kamar terasa terlalu sunyi, seolah mencerminkan kekosongan yang kini mengisi hatinya. Sebelumnya Alisha merasa akan baik-baik saja meski berpisah dengan Faisal, toh lelaki itu sudah sangat menyakitinya— terlebih perlakuan keluarganya yang selama ini selalu semena-mena. Namun nyatanya? Setelah resmi bercerai, Alisha merasa ada lubang yang menganga di balik dadanya. Dia tak pernah menyangka jika kehidupan pernikahannya berakhir begitu cepat, bahkan sebelum bayinya lahir. Alisha duduk di tepi ranjangnya, memandang ke arah dinding yang kosong. Di antara bayang-bayang kenangan masa lalu, dia berusaha mencari ketenangan. Namun, hatinya masih terluka dan penuh dengan kekecewaan akan nasib yang menimpanya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang semakin membesar, merasakan gerakan lembut sang bayi di dalam sana. “Maafin ibu, Nak… ibu gak bisa mempertahank
Alisha berniat kembali ke kamarnya, namun dia terkejut karena tiba-tiba dia papasan dengan Rona—ibu kosnya, di lorong menuju kamar. Alisha yang masih terisak-isak, buru-buru mengusap airmatanya, berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Rona. Rona melihat keadaannya dengan iba. Dia pun segera mendekat dan merangkul Alisha. Tangannya mengusap punggung Alisha dengan lembut, berusaha memberikan sedikit kehangatan dan ketenangan. Alisha terdiam dalam rangkulan itu, tetapi airmatanya makin mengalir deras. Rona merasa prihatin dan terus menepuk punggung Alisha. “Gapapa, nangis aja sepuas kamu, kalo itu bisa bikin kamu lebih lega,” desis Rona pelan, sambil terus memeluk Alisha. Dalam dekapan Rona, Alisha merasakan kehangatan kehangatan yang perlahan sedikit meredakan kesedihannya. *** Alisha duduk di meja makan di dapur kosan, wajahnya kini terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Tak lama kemudian, Rona yang baru selesai memasak
Alisha merasakan kepala yang berputar dan tubuh yang lemas. “Aku tiba-tiba pusing, Bu,” ucapnya dengan suara yang lemah. Rona menyentuh kening Alisha dan merasakan panas yang tidak wajar. “Panas banget, kamu demam. Mending sekarang ibu anter kamu ke kamar dulu, biar kamu bisa istirahat.” Alisha mengangguk. Rona pun membantu memapah Alisha berjalan ke kamarnya. Setibanya di sana, Rona segera membimbing Alisha berbaring di atas tempat tidur. “Kamu istirahat dulu, ibu akan hubungin temen ibu yang dokter.” Alisha hanya mengangguk lemah. Rona pun segera meraih ponsel di sakunya untuk menelepon teman dokternya. Setelah beberapa saat, panggilan akhirnya dijawab. “Halo, Herman? Kamu bisa datang ke kosan?” Rona agak melipir untuk bicara dengan teman dokternya itu, wajahnya terlihat kecewa. “Jadi kamu lagi di luar kota? Ya sudah tidak apa-apa, makasih ya.” Rona menutup sambungan telepon, kemudian kembali menoleh pada Alisha yang berbaring di ranjang den
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis