Alisha merasakan kepala yang berputar dan tubuh yang lemas. “Aku tiba-tiba pusing, Bu,” ucapnya dengan suara yang lemah.
Rona menyentuh kening Alisha dan merasakan panas yang tidak wajar. “Panas banget, kamu demam. Mending sekarang ibu anter kamu ke kamar dulu, biar kamu bisa istirahat.”Alisha mengangguk. Rona pun membantu memapah Alisha berjalan ke kamarnya. Setibanya di sana, Rona segera membimbing Alisha berbaring di atas tempat tidur. “Kamu istirahat dulu, ibu akan hubungin temen ibu yang dokter.”Alisha hanya mengangguk lemah. Rona pun segera meraih ponsel di sakunya untuk menelepon teman dokternya. Setelah beberapa saat, panggilan akhirnya dijawab. “Halo, Herman? Kamu bisa datang ke kosan?” Rona agak melipir untuk bicara dengan teman dokternya itu, wajahnya terlihat kecewa. “Jadi kamu lagi di luar kota? Ya sudah tidak apa-apa, makasih ya.”Rona menutup sambungan telepon, kemudian kembali menoleh pada Alisha yang berbaring di ranjang denMobil Dion berhenti di depan kosan Alisha. Dion melangkah keluar dari mobil, dan segera disambut oleh sosok wanita tambun berkulit putih yang tampak cemas. “Dion ya?” Tanya wanita itu. Dion mengangguk, menebak wanita itu sebagai ibu kos Alisha. “Bu Rona?” Rona mengangguk. “Ayo, saya antar ke kamar Alisha, dia masih tidur—badannya makin panas. Padahal semalem sudah saya kompres.” Dion segera mengikuti langkah cepat Rona menuju kamar Alisha. Saat pintu kamar terbuka, Dion langsung terperangah melihat Alisha yang terbaring di atas ranjang dengan wajah pucat pasi. Dion bisa merasakan denyut jantungnya berdegup kencang karena khawatir dengan keadaan Alisha. Dion mendekat perlahan pada Alisha yang terbaring, mengusap lembut bahunya. “Alisha.” Alisha membuka matanya perlahan, sedikit terkejut melihat kehadiran Dion dan Rona di kamarnya. “Mas Dion, kok di sini?” katanya, berusaha bangkit dengan bantuan Rona. “Aku denger k
Farhan melangkah di lorong rumah sakit sembari memegang erat sekeranjang buah yang dia bawa. Ketika dia sampai di depan ruangan rawat Alisha yang pintunya agak terbuka, Farhan bisa melihat Dion duduk di kursi dekat ranjang rawat Alisha. Hatinya berdesir, merasa tidak nyaman melihat Dion di sana, namun dia juga sadar jika tidak berhak melarangnya. Dia berdiri di ambang pintu, berniat untuk pergi tanpa menyapa. Namun sebelum dia sempat melangkah, Alisha yang terbaring di tempat tidur lebih dulu melihatnya. “Farhan?” panggilnya, membuat Farhan terdiam. Farhan menelan ludah, tidak berharap untuk bertemu dengan Dion di sini. Namun dia tidak bisa pergi begitu saja setelah Alisha melihatnya. Farhan pun terpaksa masuk ke ruang rawat Alisha, lalu menyapanya dengan canggung. “Mbak, gimana keadaannya sekarang?” Alisha tersenyum lemah. “Udah mendingan,” jawabnya. Dion yang melihat Farhan, hanya memberikan ekspresi sinis. Farhan memilih untuk mengabaikanny
Alisha terbangun saat mendengar suara adzan subuh yang menenangkan memecah keheningan. Dia merasa hangat di hatinya saat melihat Rona tertidur lelap di sofa tunggu, dan Dion yang masih terlelap di kursi sebelahnya. Ia bersyukur, menyadari bahwa masih banyak orang yang peduli padanya di saat-saat sulit seperti ini. Alisha mencoba bangkit perlahan dari tempat tidurnya, berusaha agar tidak mengganggu tidur nyenyak Dion dan Rona. Namun, langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja dia menyenggol gelas di meja hingga membuatnya jatuh dan pecah. Suara pecahan gelas sontak membuat Dion dan Rona terbangun kaget dari tidurnya. Mereka langsung bangkit dengan ekspresi khawatir di wajah mereka. “Kamu mau kemana? Kok turun dari tempat tidur? Kenapa gak bangunin sih?” tanya Dion, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Rona yang juga terbangun, menambahkan, “Ada apa, Alisha?” Alisha merasa canggung dan menyesal karena telah membuat kehebohan. “Maaf, jadi bikin kali
“Oh, ternyata dia adik mantan suami kamu. Pasti sama busuknya kayak kakanya…” ungkap Dion dengan nada meremehkan, “udah keliatan sih, selama ini dia suka nyari perkara gitu,” lanjutnya.Alisha yang mendengar ungkapan Dion yang menjelekkan Farhan jadi tidak terima, “Farhan gak seperti itu, Mas. Dia gak sama kayak mantan suami aku atau keluarganya. Dia baik, sejak aku masih tinggal di rumah mertua, cuma Farhan yang selalu menghargai aku. Dia gak pernah semena-mena kayak yang lain. Gak tau aja dia kenapa jadi ngeselin kalo ketemu kamu,” belanya.Dion merasa kesal karena Alisha membelanya. “Justru kamu hati-hati, dia baik pasti ada maunya.”“Kamu juga baik, Mas. Berarti baiknya ada maunya dong?” balas Alisha.Dion tersedak ludah sendiri karena disudutkan oleh pertanyaan Alisha, dia buru-buru membela diri. “Gak bisa disamain dong.”“Sama ah,” sahut Alisha sambil t
Dalam perjalanan pulang di angkot, Alisha duduk di kursi penumpang— yang hari ini tumben cukup senggang hingga Alisha bisa duduk dengan nyaman. Kedua matanya memperhatikan pemandangan di luar jendela, jalanan sore terlihat padat dengan kendaraan yang berjalan lambat.Tiba-tiba, matanya tertuju pada sosok yang sangat dikenalnya tengah duduk sendirian di halte bus. Alisha memicingkan mata, mencoba memastikan bahwa yang dia lihat benar-benar Farhan.“Farhan?” gumam Alisha dalam hati, rasa penasaran memenuhi pikirannya. Alisha mencoba mengingat kapan terakhir kali dia bertemu dengan Farhan. Ya, itu sudah beberapa hari yang lalu— ketika Farhan menjenguknya di rumah sakit.Tanpa berpikir panjang, Alisha memberi tahu sopir bahwa dia akan turun di halte tersebut. Setelah menyelesaikan pembayaran, dia turun dari angkot dengan langkah pelan. Perutnya yang semakin membesar membuatnya merasa kurang nyaman saat bergerak.Setelah turun, Alisha b
Pesanan Farhan dan Alisha pun tiba. Ibu warteg mengantarkannya dengan ramah ke meja mereka.“Terima kasih, Bu,” ucap mereka hampir bersamaan saat ibu warteg baru selesai meletakkan makanan mereka.“Sama-sama, permisi,” kata ibu warteg sebelum meninggalkan meja mereka. Alisha dan Farhan pun mulai makan. Suasana terasa canggung bagi Alisha setelah obrolan sebelumnya. Farhan sesekali melirik ke arah Alisha, menyadari kegugupan perempuan itu.“Mbak, kok salting? Gugup ya?” goda Farhan dengan senyum penuh arti.“Farhan, bisa gak sih kamu gak godain aku terus? Gak lucu tau,” protes Alisha dengan wajah sedikit kesal.“Aku emang gak ngelucu tau,” jawab Farhan tulus. “Kalo itu bagian dari usahaku, emang gak boleh?”Alisha terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Farhan. “Usaha apa?” tanyanya akhirnya.“Usaha deket sama kamu,” jawab Farhan. Alisha
Beberapa saat kemudian, angkot berhenti di tepi jalan yang tak jauh dari kosan. Alisha menyodorkan uang pas kepada sopir angkot. “Terima kasih,” ucapnya sopan sebelum turun.Dengan hati-hati menahan beban perutnya yang semakin besar, Alisha melangkah menuju gerbang kosan. Matahari yang mulai tenggelam memberikan sentuhan keemasan di langit senja.Tiba di kosan, Alisha melihat sosok Dion yang tegap berdiri di dekat mobilnya yang diparkir di halaman rumah kos, menunggu dengan sabar. Alisha segera menghampiri Dion.“Mas Dion, udah lama nunggu? Ada ada perlu apa emangnya?” sapa Alisha ketika sampai di depan Dion.“Kamu dari mana aja? Bukannya jam pulang kerja udah dari tadi?” Dion bertanya, ekspresinya tampak agak khawatir.“Aku tadi makan di warteg dulu,” jawab Alisha.“Sama siapa aja?”Alisha merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Dion. “Sama... teman,” jawabnya pela
Nur menatap Faisal sebentar, sebelum akhirnya menggeleng dengan tegas. “Nggak perlu! Ibu nggak mau denger alasan-alasan nggak masuk akal dari Farhan lagi.”Farhan merasa tertekan, Farhan menyadari jika dia bersalah— tapi dia tidak menyangka jika Nur sampai semarah itu. Nur merasa semakin kesal karena Farhan hanya diam tanpa memberikan penjelasan yang memadai. “Kenapa kamu Melisah diem, Farhan? Melisas kamu nanggepin ibu? Selama ini kamu dibesarkan dengan cara apa sih? Kenapa kamu jadi gak punya kepedulian sama sodara kamu? Ibu jadi nyesel karena dulu biarin Ningsih ngerawat kamu!”DEG! Mendengar nama bibi yang selama ini telah mengasuhnya, membuat Farhan merasa agak sakit hati dengan ucapan Nur.“Kamu benar-benar egois! Hanya memikirkan dirimu sendiri tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Kamu sudah dewasa, tapi perilakumu masih seperti anak kecil yang tidak bertanggung jawab!” maki Nur dengan nada menyalahkan.
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis