Alisha terbangun saat mendengar suara adzan subuh yang menenangkan memecah keheningan. Dia merasa hangat di hatinya saat melihat Rona tertidur lelap di sofa tunggu, dan Dion yang masih terlelap di kursi sebelahnya.
Ia bersyukur, menyadari bahwa masih banyak orang yang peduli padanya di saat-saat sulit seperti ini. Alisha mencoba bangkit perlahan dari tempat tidurnya, berusaha agar tidak mengganggu tidur nyenyak Dion dan Rona. Namun, langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja dia menyenggol gelas di meja hingga membuatnya jatuh dan pecah.Suara pecahan gelas sontak membuat Dion dan Rona terbangun kaget dari tidurnya. Mereka langsung bangkit dengan ekspresi khawatir di wajah mereka.“Kamu mau kemana? Kok turun dari tempat tidur? Kenapa gak bangunin sih?” tanya Dion, suaranya penuh dengan kekhawatiran. Rona yang juga terbangun, menambahkan, “Ada apa, Alisha?”Alisha merasa canggung dan menyesal karena telah membuat kehebohan. “Maaf, jadi bikin kali“Oh, ternyata dia adik mantan suami kamu. Pasti sama busuknya kayak kakanya…” ungkap Dion dengan nada meremehkan, “udah keliatan sih, selama ini dia suka nyari perkara gitu,” lanjutnya.Alisha yang mendengar ungkapan Dion yang menjelekkan Farhan jadi tidak terima, “Farhan gak seperti itu, Mas. Dia gak sama kayak mantan suami aku atau keluarganya. Dia baik, sejak aku masih tinggal di rumah mertua, cuma Farhan yang selalu menghargai aku. Dia gak pernah semena-mena kayak yang lain. Gak tau aja dia kenapa jadi ngeselin kalo ketemu kamu,” belanya.Dion merasa kesal karena Alisha membelanya. “Justru kamu hati-hati, dia baik pasti ada maunya.”“Kamu juga baik, Mas. Berarti baiknya ada maunya dong?” balas Alisha.Dion tersedak ludah sendiri karena disudutkan oleh pertanyaan Alisha, dia buru-buru membela diri. “Gak bisa disamain dong.”“Sama ah,” sahut Alisha sambil t
Dalam perjalanan pulang di angkot, Alisha duduk di kursi penumpang— yang hari ini tumben cukup senggang hingga Alisha bisa duduk dengan nyaman. Kedua matanya memperhatikan pemandangan di luar jendela, jalanan sore terlihat padat dengan kendaraan yang berjalan lambat.Tiba-tiba, matanya tertuju pada sosok yang sangat dikenalnya tengah duduk sendirian di halte bus. Alisha memicingkan mata, mencoba memastikan bahwa yang dia lihat benar-benar Farhan.“Farhan?” gumam Alisha dalam hati, rasa penasaran memenuhi pikirannya. Alisha mencoba mengingat kapan terakhir kali dia bertemu dengan Farhan. Ya, itu sudah beberapa hari yang lalu— ketika Farhan menjenguknya di rumah sakit.Tanpa berpikir panjang, Alisha memberi tahu sopir bahwa dia akan turun di halte tersebut. Setelah menyelesaikan pembayaran, dia turun dari angkot dengan langkah pelan. Perutnya yang semakin membesar membuatnya merasa kurang nyaman saat bergerak.Setelah turun, Alisha b
Pesanan Farhan dan Alisha pun tiba. Ibu warteg mengantarkannya dengan ramah ke meja mereka.“Terima kasih, Bu,” ucap mereka hampir bersamaan saat ibu warteg baru selesai meletakkan makanan mereka.“Sama-sama, permisi,” kata ibu warteg sebelum meninggalkan meja mereka. Alisha dan Farhan pun mulai makan. Suasana terasa canggung bagi Alisha setelah obrolan sebelumnya. Farhan sesekali melirik ke arah Alisha, menyadari kegugupan perempuan itu.“Mbak, kok salting? Gugup ya?” goda Farhan dengan senyum penuh arti.“Farhan, bisa gak sih kamu gak godain aku terus? Gak lucu tau,” protes Alisha dengan wajah sedikit kesal.“Aku emang gak ngelucu tau,” jawab Farhan tulus. “Kalo itu bagian dari usahaku, emang gak boleh?”Alisha terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Farhan. “Usaha apa?” tanyanya akhirnya.“Usaha deket sama kamu,” jawab Farhan. Alisha
Beberapa saat kemudian, angkot berhenti di tepi jalan yang tak jauh dari kosan. Alisha menyodorkan uang pas kepada sopir angkot. “Terima kasih,” ucapnya sopan sebelum turun.Dengan hati-hati menahan beban perutnya yang semakin besar, Alisha melangkah menuju gerbang kosan. Matahari yang mulai tenggelam memberikan sentuhan keemasan di langit senja.Tiba di kosan, Alisha melihat sosok Dion yang tegap berdiri di dekat mobilnya yang diparkir di halaman rumah kos, menunggu dengan sabar. Alisha segera menghampiri Dion.“Mas Dion, udah lama nunggu? Ada ada perlu apa emangnya?” sapa Alisha ketika sampai di depan Dion.“Kamu dari mana aja? Bukannya jam pulang kerja udah dari tadi?” Dion bertanya, ekspresinya tampak agak khawatir.“Aku tadi makan di warteg dulu,” jawab Alisha.“Sama siapa aja?”Alisha merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Dion. “Sama... teman,” jawabnya pela
Nur menatap Faisal sebentar, sebelum akhirnya menggeleng dengan tegas. “Nggak perlu! Ibu nggak mau denger alasan-alasan nggak masuk akal dari Farhan lagi.”Farhan merasa tertekan, Farhan menyadari jika dia bersalah— tapi dia tidak menyangka jika Nur sampai semarah itu. Nur merasa semakin kesal karena Farhan hanya diam tanpa memberikan penjelasan yang memadai. “Kenapa kamu Melisah diem, Farhan? Melisas kamu nanggepin ibu? Selama ini kamu dibesarkan dengan cara apa sih? Kenapa kamu jadi gak punya kepedulian sama sodara kamu? Ibu jadi nyesel karena dulu biarin Ningsih ngerawat kamu!”DEG! Mendengar nama bibi yang selama ini telah mengasuhnya, membuat Farhan merasa agak sakit hati dengan ucapan Nur.“Kamu benar-benar egois! Hanya memikirkan dirimu sendiri tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Kamu sudah dewasa, tapi perilakumu masih seperti anak kecil yang tidak bertanggung jawab!” maki Nur dengan nada menyalahkan.
“Dari awal Tomi pacaran sama kamu, kami udah gak setuju! Buktinya, kamu sengaja jebak Tomi biar tidur sama kamu kan, sampe kamu hamil? Kamu pake trik murahan itu biar Tomi gak ada pilihan lain kecuali nikahin kamu,” tuding Melisa.Farida menelan ludahnya, mencoba menahan air mata yang ingin tumpah. Tuduhan itu menyakitkan. Ia merasa terjepit di antara rasa malu dan keputusasaan. Apa yang bisa dia katakan dalam situasi seperti ini?Farida menatap kedua orang tua Tomi dengan penuh harap. “Ma, Pa, aku sama sekali gak pernah ada niat jebak Tomi. Aku sama dia saling mencintai,” ujarnya.Namun, Bondan menepis kata-kata Farida dengan sinis. “Perempuan seperti kamu itu banyak di luaran sana, emang dari awal ngincer anak orang kaya.”Farida menggeleng keras. “Itu gak benar, Pa,” ia bersikeras membela diri.“Buktinya apa?” sergah Melisa dengan nada tajam. “Selama ini Tomi selalu kasih uang bua
Mobil SUV merah meluncur lembut ke sisi jalan yang kurang ramai, sebelum berhenti di depan toko kain. Farhan melangkah keluar dari mobil, ekspresinya cerah meskipun hari sudah mulai mendung.Dia bergerak ke pintu penumpang dan dengan cepat membukanya. Alisha yang masih duduk di dalam mobil, terkejut oleh tindakan Farhan. Namun akhirnya dia tersenyum. “Makasih, padahal aku bisa buka sendiri.”“Aku tahu kamu nggak leluasa bergerak, Mbak. Makanya aku bantu kamu,” jawab Farhan.Alisha turun dari mobil dengan rasa haru yang tersembunyi di matanya, berpikir seandainya Faisal dulu sebegitu pengertian dan perhatian seperti Farhan, mungkin rumah tangganya tidak akan berantakan.Mereka berjalan bersama menuju pintu masuk toko, langkah Farhan disesuaikan dengan Alisha, dengan sengaja dia berjalan pelan untuk menyamakan langkah perempuan itu.Farhan memperhatikan Alisha yang belakangan semakin lambat dalam berjalan. Perempuan itu menump
Alisha memasuki ruangannya dengan langkah berat, dibuntuti oleh Farhan yang membawa kantong-kantong belanjaan mereka dari toko kain sebelumnya. Dia segera duduk di balik mejanya, wajahnya terlihat sayu.Farhan melihat ekspresi Alisha yang muram, merasa tidak tega melihatnya seperti itu. Pikirannya menerka-nerka, apa yang membuat Alisha terluka? Apakah mendengar kabar tentang rencana pernikahan Faisal yang akan datang?Ingatan Farhan kembali melayang pada beberapa saat lalu, di mana dia juga pernah memberitahu Alisha tentang Faisal yang sudah menemukan wanita lain. Niatnya saat itu hanya ingin meyakinkan Alisha untuk tidak terus-menerus memikirkan kakaknya yang bahkan tak pernah memikirkan dirinya. Namun, tanpa disadari, kata-katanya itu justru melukai perasaan Alisha. Farhan menyadari bahwa mungkin dia kurang peka terhadap perasaan wanita itu.Dengan hati yang terbebani oleh penyesalan, Farhan meletakkan barang-barang belanjaannya di sudut lantai ruangan. Dia ke
Senja mulai merayap di tepi danau yang tenang, memancarkan warna jingga keemasan yang memukau. Tenda-tenda berwarna-warni berdiri kokoh di antara pepohonan pinus, sementara suara riang tawa dan canda para karyawan Cantika memenuhi udara. Mereka menikmati camping bersama sebagai bonus atas pencapaian kerja tim selama ini. Suasana penuh keakraban dan kegembiraan terasa hangat di tengah sejuknya angin sore.Cantika, dengan senyum ceria, sibuk mengatur segala sesuatu. “Ayo, teman-teman! Kita siapkan untuk bakar-bakar malam ini!” serunya sambil menggulung lengan bajunya. Anak-anak karyawan berlarian dengan riang, bermain kejar-kejaran di sekitar perkemahan.Di sudut lain, Alisha duduk di dekat tenda sambil memperhatikan Haqi yang tertidur pulas di kereta bayinya. Matanya kemudian tertuju pada sosok Farhan yang berdiri sendiri di tepi danau. Pemuda itu tampak termenung, menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan cahaya matahari terbenam. Wajahnya menggambarkan kesedihan yang sulit diung
Hari Minggu pagi yang cerah. Alisha dengan telaten memandikan Haqi dan memakaikannya baju lucu bergambar hewan. Bayi itu tertawa riang, menikmati perhatian dari ibunya. Setelah selesai, Alisha menyematkan topi rajut kecil di kepala Haqi, membuat bayi itu semakin menggemaskan.“Siapa yang mau jalan-jalan?” tanya Alisha dengan suara ceria, menciumi pipi Haqi yang lembut, menikmati aroma segar minyak telon yang dipakai bayi itu.Haqi tertawa riang dan membalas ciuman ibunya dengan menggigit pipinya karena gemas, membuat Alisha tertawa. Setelah memasangkan kaos kaki, Alisha mengangkat tubuh Haqi dan menggendongnya dengan kain gendongan, memastikan dia nyaman dan aman.“Siap jalan-jalan, Nak?” kata Alisha sambil bersiap keluar. Namun, ketika baru saja membuka pintu, dia terkejut melihat Rona berdiri di depan pintu.“Ada bos kamu tuh,” kata Rona sambil tersenyum.“Kak Cantika?” tanya Alisha, merasa heran de
Alisha terdiam, merasakan perasaannya bergemuruh. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, namun dia mencoba untuk memahami dan menghormati keinginan Farhan.Farhan menghela napas panjang, lalu berkata, “Dan soal gelang itu—aku lega kalo kamu suka. Kamu boleh simpan. Tapi soal tawaran sebelumnya, itu udah gak berlaku.”Deg! Alisha merasakan hatinya tercekat, seolah diremas oleh perasaan kecewa dan sakit yang mendalam. Air mata menggenang di matanya, namun dia tetap diam, menahan perasaannya.“Kamu sebaiknya memang sama Dion,” lanjut Farhan dengan suara serak, sambil menyandang tasnya. Tanpa menunggu reaksi Alisha, dia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alisha yang terpaku di tempatnya.Farhan berjalan cepat di koridor butik. Pikiran dan perasaannya bergejolak, namun dia tahu bahwa meninggalkan Alisha mungkin adalah pilihan terbaik. Di belakangnya, Alisha hanya bisa berdiri di ambang pintu ruang kerja, melihat p
Alisha duduk di kursi di seberang meja Farhan, berusaha menangkap tatapan matanya. Namun, Farhan tetap terpaku pada buku sketsa di depannya. Alisha merasa ada sesuatu yang sangat salah.“Kamu kelihatan capek, Farhan,” ucap Alisha lembut. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat. Ide bisa menunggu besok.”Farhan tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Aku nggak capek, Mbak. Kamu pulang aja duluan, aku masih mau nerusin kerjaanku.”Alisha merasa ada dorongan kuat untuk tidak meninggalkan Farhan sendirian, tapi sebelum dia sempat berkata lebih jauh, Farhan menyela, “Duluan aja, Mbak.”Tatapan kosong Farhan dan caranya menghindari percakapan lebih lanjut membuat Alisha merasa tak berdaya. Dia akhirnya mengangguk, meskipun hatinya menolak. Dengan langkah berat, Alisha bangkit dan berjalan menuju pintu. Namun, setibanya di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh kembali ke arah Farhan.
Farhan menoleh perlahan, tatapannya masih kosong.“Farhan, kamu gapapa?” tanya Alisha dengan nada penuh perhatian.Farhan menghela napas dalam. “Aku gapapa, Mbak. Kita balik ke butik sekarang aja. Kamu bareng aku atau—”“Aku bareng kamu,” kata Alisha cepat.Mereka berjalan bersama keluar dari bandara, suasana sekeliling terasa hening meskipun ada keramaian orang yang berlalu lalang. Alisha terus memerhatikan Farhan, dia tahu jika pemuda itu sedang berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tatapan kosong dan langkah berat Farhan memperlihatkan sebaliknya.Sepanjang perjalanan ke butik, Alisha mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. “Farhan, kamu tahu nggak? Haqi mulai suka main di taman sekarang. Padahal sebelumnya dia takut sama rumput,” katanya, berharap cerita tentang Haqi bisa sedikit menghibur Farhan.Farhan tersenyum tipis. “Syukurlah, Haqi udah nggak takut lagi.”
Alisha meminta izin tidak masuk kerja selama beberapa hari untuk menjaga Haqi yang sakit. Bayi itu menjadi manja selama sakit dan ingin terus berada di dekat Alisha. Haqi menempel sepanjang hari padanya, membuat Alisha tidak bisa beranjak jauh. Ketika akhirnya Haqi pulih sepenuhnya dan kembali tersenyum seperti biasanya, Alisha merasa lega. Dia bisa kembali bekerja dan menitipkan Haqi pada Rona.“Jangan sakit lagi ya, sayang,” kata Alisha sambil menciumi pipi Haqi sebelum memberikan bayi itu pada Rona.“Saya berangkat kerja dulu, Bu,” kata Alisha.“Iya, hati-hati,” jawab Rona sambil tersenyum.Alisha mengangguk, lalu keluar dari kosan menuju butik. Setibanya di butik, Alisha terkejut melihat Farhan sudah duduk di balik mejanya. Ada rasa senang melihat pemuda itu kembali bekerja di ruangan yang sama dengannya. Farhan menoleh saat melihat Alisha baru tiba.“Haqi gimana, Mbak?” tanya Farhan.&ldqu
“Ada apa, Mbak?” tanya Farhan.“Itu... Aku baru tahu kamu sering jengukin Haqi tanpa aku tahu. Aku juga mau bilang makasih, buat mainan yang udah kamu kasih buat Haqi,” kata Alisha, suaranya terdengar gugup.Farhan terdiam beberapa saat. “Maaf, Mbak. Aku cuma kangen sama Haqi—”“Nggak, Farhan. Justru aku yang minta maaf— aku harap kamu bisa lupain ucapan aku sebelumnya, soal—”Ucapan Alisha terputus karena tiba-tiba terdengar suara Haqi yang terbangun dan menangis kencang.“Kenapa, Nak?” tanya Alisha dengan panik.Haqi menangis keras, tidak seperti biasanya. Wajahnya memerah, dan tubuhnya berkeringat.Farhan yang mendengar suara tangis Haqi menjadi panik. “Haqi kenapa, Mbak?”Alisha belum sempat menjawab, dia meletakkan ponselnya di kasur dan segera meraih tubuh Haqi untuk menggendongnya. Tubuh Haqi semakin panas.Alisha mengusap ke
Jam pulang tiba, Alisha keluar dari butik dengan langkah pelan. Hatinya masih penuh dengan kebingungan dan kesedihan akibat jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Farhan.Saat Alisha mencapai halaman butik, sebuah mobil Fortuner hitam berhenti di dekatnya. Dion turun dari mobil dengan senyum ramah.“Udah mau pulang, Lis?” tanya Dion.“Iya, Mas,” jawab Alisha sambil mencoba tersenyum. “Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?”“Iya, ada urusan yang perlu dibicarakan sama dia,” kata Dion, sambil mengamati wajah Alisha yang terlihat lelah. “Kamu kelihatan capek banget?”Alisha hanya tersenyum. “Namanya juga kerja, Mas.”Mereka berbincang sesaat, membahas beberapa hal ringan. Namun, perhatian Alisha terusik saat melihat Farhan keluar dari butik. Hati Alisha berdebar melihatnya, namun wajah Farhan tetap datar.Farhan berjalan menuju parkiran tanpa sedikit pun melihat ke
Jam istirahat hampir berakhir, dan Farhan masih di ruangannya, tenggelam dalam pekerjaan. Dia tampak fokus, meskipun wajahnya terlihat lelah.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan Lian masuk sambil menuntun Cio yang kini hampir berusia dua tahun. Lian tersenyum saat Farhan menoleh ke arahnya.“Panggil Om Farhan, gitu,” kata Lian pada Cio.Cio yang masih kecil dan menggemaskan berusaha mengikuti instruksi ayahnya. “Ahan...” panggilnya dengan suara nyaring dan polos.Farhan tersenyum saat melihat Lian dan Cio mendekatinya.“Om,” ralat Lian.“Ong,” kata Cio dengan usaha keras.“Hai, Cio! Apa kabar, Jagoan?” sapa Farhan sambil mengulurkan tangannya untuk menyapa Cio.Cio berlari kecil menghampiri Farhan, tertawa riang. Cio langsung memeluk Farhan, ingin digendong.Farhan mengerti kode itu dan segera mengangkat tubuh Cio, lalu mendekapnya. Farhan tersenyum meski tipis