Lian melangkah di lorong rumah sakit sambil mendorong stroller. Di dalam stroller, Cio tampak riang mengoceh, mengiringi setiap langkah ayahnya. “Udah hampir jam delapan, kamu kenapa masih semangat banget? Biasanya udah ngantuk?” gumam Lian, heran melihat Cio masih segar padahal hampir masuk jam tidurnya.
Seolah memahami kata-kata ayahnya, Cio terus mengoceh dengan riang, seakan-akan mengajak Lian untuk berbagi kegembiraan. Lian pun terus menyahuti setiap suara yang keluar dari bibir kecil putra bungsunya.
Saat mereka tiba di depan ruangan Dion, kebetulan Wina dan Damar baru keluar dari ruangan tersebut. Mereka tampak terkejut melihat kedatangan Lian.
“Lian, kamu kok balik lagi?” tanya Damar heran.
“Iya, om. Sebenernya saya lagi nemenin Cantika belanja kebutuhan anak-anak, di supermarket sebelah. Bosen saya nunggu lama, makanya mending ke sini dulu nengokin Dion sebentar,” jelas Lian. “Dionnya be
Suasana pagi yang cerah menyambut kedatangan Alisha di butik Cantika— tempat kerja barunya sebagai penjahit akan dimulai. Ketika pintu butik terbuka, Alisha disambut oleh Maya, salah satu karyawan Cantika.“Halo, Mbak Alisha, penjahit baru ya? Kenalin aku Maya, asistennya Kak Cantika,” sapa Maya dengan ramah sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Alisha tersenyum, menyambut uluran tangan Maya. “Salam kenal, Mbak Maya.”“Udah siap kerja hari ini mbak Alisha?” tanya Maya basa-basi.“Siap dong,” jawab Alisha mantap.“Kalo gitu, yuk aku anter ke ruanga mbak.” Maya mengajak Alisha berjalan melintasi lorong butik yang dihiasi dengan bunga segar dan sentuhan seni di dinding. Mereka menuju ke ruang kerja Alisha, melewati rak-rak penuh dengan kain-kain berwarna-warni dan manik-manik berkilauan yang menggantung di sekitar mereka.Setelah melewati lorong, mereka tiba di ruang kerja Alis
Setelah seharian bekerja di butik Cantika, waktu pulang pun tiba. Farhan mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas. Farhan menyandang tasnya sambil menoleh ke meja Alisha yang terletak di seberang ruangan. “Udah waktunya pulang, mbak.” Alisha mengangguk, menanggapi dengan senyuman. Dia juga segera mengemasi barangnya. Dia mencabut kabel listrik mesin jahit untuk memastikan semuanya aman ketika ditinggal pulang. Setelahnya, Alisha dan Farhan keluar dari ruangan mereka. Mereka berjalan di sekitar halaman butik, bergabung dengan beberapa karyawan lain yang juga akan pulang. Suasana terasa ringan dengan obrolan-bercanda yang terjadi di antara mereka. Kebanyakan bertanya pendapat Alisha tentang hari pertamanya bekerja di butik Cantika. “Gimana tadi kerjanya, mbak? Lancar kan?” tanya Maya. “Alhamdulillah, lancar kok. Kayaknya bakal betah kerja di sini,” jawab Alisha. Maya tersenyum dan menegangguk. “Pasti betah lah, aku yang kerja sejak butik i
Alisha terdiam, terkejut dengan pengakuan tulus Dion. Meskipun merasa tak nyaman dengan situasi tersebut, ia tetap menghargai keberanian Dion untuk berbicara terus terang. “Mas, aku... aku nggak tahu harus ngomong apa,” kata Alisha dengan penuh keraguan.Dion menyadari bahwa perasaannya tidak bisa dipaksakan kepada Alisha.“Lis, aku gak akan maksa kamu. Aku cuma ingin kamu tahu perasaanku,” ujar Dion. “Tapi, tolong pikirkan tawaran aku tadi. Ini bukan cuma demi kamu, tapi juga calon anak kamu nanti,” lanjutnya penuh harap.Untuk beberapa saat, terasa ketegangan di udara saat Alisha terdiam tanpa sepatah kata pun. Hingga akhirnya Dion kembali menegaskan, “Aku tahu mungkin ini terlalu mengejutkan buat kamu. Tapi kalau kamu nerima aku— aku janji akan anggap anak kamu seperti anakku sendiri.”Alisha terlihat semakin bingung, “Mas, aku... Aku baru aja cerai,” ujarnya dengan ragu. “Aku belu
Beberapa preman itu terus maju, seolah-olah akan menyerang Alisha juga, mengancamnya dengan tatapan yang ganas. Namun, tiba-tiba terdengar suara tegas dari salah satu preman yang berada di belakang.“Cukup!” serunya dengan lantang.Para preman lainnya menoleh ke arah preman yang berseru tadi. Pria tegap dengan sekujur tato di tubuhnya melangkah maju mendekati mereka.“Kita mungkin preman, tapi harusnya kita tidak menyentuh wanita apalagi yang sedang hamil begitu. Kita cabut sekarang,” ujarnya dengan suara yang berwibawa.Namun, salah satu dari preman yang lain sempat memprotes, “Tapi, bos...”Pemimpin mereka, yang disebut sebagai bos, menatap tajam preman yang protes. Dalam sekejap, preman itu mengangguk patuh.“Oke, bos. Kita cabut,” ucapnya singkat.Para preman itu pun akhirnya meninggalkan tempat itu, meninggalkan Alisha dan Farhan yang masih terbaring lemas di tanah. Sesak lega teras
Orang-orang yang terdengar suara Alisha segera keluar dari kos, terkejut melihat Farhan yang tergeletak di tanah. Sorot mata mereka penuh kekhawatiran dan bertanya-tanya. “Ada apa, Mbak Alisha? Siapa dia?” tanya salah satu penghuni kos dengan nada khawatir. Alisha gemetar, berusaha menjawab sambil menahan rasa panik, “Ini... Ini adik mantan suamiku, mbak. Dia baru saja diserang oleh preman.” Pemilik kos, seorang wanita paruh baya bernama Rona, melangkah maju. Matanya penuh kekhawatiran. “Mending cepet dibawa masuk aja. Ada kamar kosong di pojok lantai satu. Setelah ini saya panggilin teman saya yang dokter,” katanya tegas. Dengan bantuan beberapa penghuni kos lainnya, mereka mengangkat tubuh Farhan dan membawanya masuk ke dalam kos, menuju kamar pojok. Alisha masih gemetar, berharap Farhan segera sadar. *** Setelah beberapa saat menunggu dengan kegelisahan, seorang dokter akhirnya keluar dari kamar. Alisha dan Rona dengan cepat mendekatinya, wajah mereka terlihat cemas. “Dokter,
Alisha menggeleng lembut kemudian bangkit, “Nggak kok, aku kan jagain kamu sambil tidur. Tenang aja, aku gapapa. Oh ya, kamu gak pulang semaleman, pasti keluarga di rumah cemas. Aku gak berani kabarin mereka, takutnya mereka mikir yang nggak-nggak.”“Abis ini aku kabarin ibu, Mbak.”Alisha mengangguk. “Kalo gitu aku mau shalat subuh dulu, kamu juga jangan lupa shalat. Abis itu aku siapin sarapan buat kamu.”“Maaf ngerepotin kamu, mbak. Tapi aku emang laper banget. Kalo boleh, aku request nasi goreng yang kayak kemarin ya,” pinta Farhan yang membuat Alisha tersenyum geli. “Kemarin siang kamu udah makan nasi goreng, terus sorenya kamu digebukin gara-gara pengen beli nasi goreng, kamu gak trauma gara-gara nasi goreng?”“Ya nggak lah, mbak. Mana bisa trauma gegara makanan enak?”“Yaudah, aku mau shalat dulu, abis itu aku masakin.” Alisha keluar dari kamar itu.
“Jangan gitu dong, Farhan. Kamu sama sodara sendiri kenapa perhitungan banget? Kalo kamu nyuci, ya sekalian kamu cuciin punya kakak sama adik kamu,” pinta Nur.“Bu, aku bukannya perhitungan. Tapi mas Faisal sama Farida kan udah dewasa, udah bisa ngurus masalah baju kotor mereka sendiri,” sanggah Farhan. Tapi Nur tetap tidak terima.“Adik kamu dari kecil kan nggak pernah nyuci baju gitu, dia gak biasa…” kata Nur.“Manjain terooos,” sindir Farhan sarkas. Nur melotot sebal. “Kamu belum punya anak, jadinya gak tau perasaan ibu kalo liat anak bungsu, ibu liat Farida itu kayak masih kecil terus. Makanya maklumin aja kalo adik kamu agak manja.”Farhan menghela napas panjang. “Minimal dia harus bisa ngurus diri sendiri, Bu. Mau jadi apa dia kalo apa-apa terus bergantung sama orang lain?”“Dia kan calon dokter, gapapa kalo dia gak bisa kerjaan rumah,” jawab Nur. Farha
Melihat suaminya ngeloyor pergi, Cantika buru-buru menutup perdebatannya dengan Dion, “Balik aja lo! Bikin ribut aja di sini!” Cantika langsung melengos untuk mengejar Lian dan segera menghadang langkahnya.Dion hanya mendengus. Maya geleng-geleng kapala, seolah sudah terbiasa mendengar perdebatan antara Cantika dengan Dion. Meski begitu ada senyum tipis yang melengkung di bibir Maya, seolah sudah paham jika pertengkaran tersebut tidak serius.“Yank, kamu capek?” tanya Cantika. Cio di gendongan Lian segera menyahut. “Yank, apek... apek…”“Ululu… iya, ayah capek. Cio ikut mama ya?” Cantika hendak mengangkat tubuh gemuk putra bungsu mereka, tapi Lian segera menepis tangan Cantika. “Udah, gak usah. Kamu lanjutin aja baku hantam sama Dion.”Cantika berdecak kesal mendengar sindiran itu. “Orang Dion duluan yang mulai.” “Enak aja, lo duluan kali!” bal