“Jangan gitu dong, Farhan. Kamu sama sodara sendiri kenapa perhitungan banget? Kalo kamu nyuci, ya sekalian kamu cuciin punya kakak sama adik kamu,” pinta Nur.
“Bu, aku bukannya perhitungan. Tapi mas Faisal sama Farida kan udah dewasa, udah bisa ngurus masalah baju kotor mereka sendiri,” sanggah Farhan. Tapi Nur tetap tidak terima.
“Adik kamu dari kecil kan nggak pernah nyuci baju gitu, dia gak biasa…” kata Nur.
“Manjain terooos,” sindir Farhan sarkas. Nur melotot sebal. “Kamu belum punya anak, jadinya gak tau perasaan ibu kalo liat anak bungsu, ibu liat Farida itu kayak masih kecil terus. Makanya maklumin aja kalo adik kamu agak manja.”
Farhan menghela napas panjang. “Minimal dia harus bisa ngurus diri sendiri, Bu. Mau jadi apa dia kalo apa-apa terus bergantung sama orang lain?”
“Dia kan calon dokter, gapapa kalo dia gak bisa kerjaan rumah,” jawab Nur. Farha
Melihat suaminya ngeloyor pergi, Cantika buru-buru menutup perdebatannya dengan Dion, “Balik aja lo! Bikin ribut aja di sini!” Cantika langsung melengos untuk mengejar Lian dan segera menghadang langkahnya.Dion hanya mendengus. Maya geleng-geleng kapala, seolah sudah terbiasa mendengar perdebatan antara Cantika dengan Dion. Meski begitu ada senyum tipis yang melengkung di bibir Maya, seolah sudah paham jika pertengkaran tersebut tidak serius.“Yank, kamu capek?” tanya Cantika. Cio di gendongan Lian segera menyahut. “Yank, apek... apek…”“Ululu… iya, ayah capek. Cio ikut mama ya?” Cantika hendak mengangkat tubuh gemuk putra bungsu mereka, tapi Lian segera menepis tangan Cantika. “Udah, gak usah. Kamu lanjutin aja baku hantam sama Dion.”Cantika berdecak kesal mendengar sindiran itu. “Orang Dion duluan yang mulai.” “Enak aja, lo duluan kali!” bal
Alisha baru tiba di kosnya setelah seharian bekerja. Saat baru saja membuka pagar kos, rasa lelahnya segera tergantikan dengan keterkejutan saat melihat adiknya, Hani, duduk di teras kosan. Hani, yang melihat Alisha pulang, langsung bangkit dan menghampiri kakaknya, memeluknya erat. Alisha membalas pelukan tersebut dengan hangat.“Hani, kamu kok tau kalo sekarang mbak ngekos di sini?” tanya Alisha heran, karena sebelumnya dia belum cerita apa pun pada adiknya itu.Tetesan air mata membasahi pipi Hani, dan Alisha merasakan getaran emosional dari pelukan itu. Hani melepas pelukannya, meski wajahnya masih terlihat sedih, “Aku tadi sebenernya dari rumah mertua kamu, Mbak. Aku bener-bener nggak nyangka kalo kamu udah pisah sama mas Faisal.”Hani menatap perut Alisha yang kini sudah terlihat agak membuncit. “Tega sekali mereka, kenapa kamu diperlakukan kayak gini saat kamu lagi hamil?” Air mata Hani turus mengalir deras seolah tak b
Farhan menoleh pada Nur dengan ekspresi datar, sedikit kecewa dengan sikap ibunya yang seolah-olah menyalahkan dirinya di depan Cantika dan yang lain, meski sebenarnya Nur sendiri yang meminta Farhan melakukan pekerjaan itu.Farhan yang sebenarnya berencana menggantung cucian di halaman, akhirnya menaruh ember berisi cucian basah itu ke belakang, lalu kembali menghampiri yang lain. “Kalian kok ke sini?” tanyanya heran.“Jengukin kamu, dong,” jawab Cantika. Wanita stylish berambut panjang itu meletakkan keranjang penuh buah-buahan dan kue di atas meja.“Aduh, repot-repot segala. Terima kasih ya, sudah peduli sama Farhan.” Nur kemudian mempersilakan mereka semua duduk. Farhan pun bergabung dengan yang lain, sedangkan Nur jalan ke belakang untuk membuatkan minuman.Farhan memerhatikan dua anak kecil yang duduk diapit oleh Maya dan Cantika. Anak laki-laki yang tampan yang dibalut dengan pakaian trendi berusia sekit
Farhan dan Alisha berjalan bersama menuju halaman parkir, di mana mobil Dion baru saja tiba. Dion turun dari mobil dengan senyuman lebar. “Hai, Lis. Mau pulang, ya?” sapa Dion sambil melangkah menghampiri Alisha. Alisha pun menimpali sapaan itu dengan ramah.“Iya. Mas Dion mau ketemu sama Mas Lian?” tanya Alisha. Mereka berdua pun mengobrol ringan sesaat, Alisha berbasa-basi menanyakan keadaan Dion setelah beberapa hari diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Sebaliknya, Dion pun bertanya bagaimana keadaan kandungan Alisha.Farhan mengamati interaksi antara Alisha dan Dion dengan hati yang berdebar. Meski dia enggan mengakui, tapi sepertinya Farhan memang cemburu. Farhan meremas jemarinya, mencoba menekan perasaan tak seharusnya itu. Namun gelombang ketidaknyamanan itu terus menyusup dalam dadanya, membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Hal itu karena Farhan menyadari ada sesuatu yang tidak biasa dengan tatapan Dion pada Alisha. Farhan bisa melih
Suara ceria burung-burung pagi memecah keheningan udara saat Alisha melangkah ke halaman kosannya dengan ember kecil berisi pakaian basah. Terik matahari pagi sudah mulai terasa menyengat, Alisha tersenyum menyadari jika pakaiannya hari ini akan cepat kering. Saat Alisha baru menggantung pakaiannya di atas jemuran, tiba-tiba terdengar suara yang tidak biasa menarik perhatiannya. “Kiu kiu!” Alisha menoleh mendengar suara usil tersebut, dan melihat sosok Farhan yang sudah nongkrong di atas motornya di sudut kosan. Farhan tersenyum lebar saat Alisha melihat ke arahnya. “Cukurukuk.” Alisha tak bisa menahan tawanya saat mendengar celetukan Farhan, “Farhan? Kamu ngapain ke sini?” Farhan turun dari motornya, lalu melangkah menghampiri Alisha. “Jemput kamu.” Alisha bingung. “Jemput kemana? Bukannya ini hari Minggu? Kan libur kerja?” “Iya, karena hari Minggu, aku mau jemput kamu buat ke bidan, Mbak. Waktunya periksa kan?”
Alisha termenung bingung. Di satu sisi, dia menyadari jika Farhan adalah sosok yang begitu perhatian dan baik padanya. Setiap kali Alisha membutuhkan bantuan atau dukungan, Farhan selalu ada di sana untuknya. Ia merasa nyaman dan aman berada di dekatnya, seolah-olah dunianya menjadi lebih baik ketika bersama Farhan. Namun, di sisi lain, kehadiran Farhan juga membawa konsekuensi yang menyulitkan. Dalam hubungan mereka yang semakin dekat, Alisha mulai menyadari bahwa ada banyak masalah dan perdebatan yang muncul, terutama dari pandangan orang lain di sekitarnya. Tuduhan-tuduhan dan gosip-gosip yang tersebar membuat Alisha merasa terjebak di tengah pertarungan antara keinginannya untuk terus dekat dengan Farhan dan keinginannya untuk menghindari konflik dan celaan orang lain. Sementara itu, di parkiran Farhan merasakan darahnya mendidih ketika mendengar makian Surti yang terus berlanjut. Dia merasa seperti sebuah bom waktu yang siap meledak setiap saat. Dalam hati,
“Kalo syukuran ultah Cio, berarti kita harus siapin hadiah, kan?” tanya Alisha. Farhan mengangguk. “Kita pergi ke toko perlengkapan bayi dulu. Sekalian nanti minta dibungkusin, gimana?” Alisha setuju dan segera mereka berdua naik ke motor. Tak lama kemudian, Farhan dan Alisha tiba di depan toko perlengkapan bayi. Mereka berdua masuk ke dalam toko, siap memilih hadiah untuk ulang tahun Cio. “Kamu mau kasih hadiah apa buat Cio, Mbak?” tanya Farhan pada Alisha sambil melihat sekitar. “Bingung nih— tapi yang jelas, aku gak akan kasih hadiah baju bayi,” jawab Alisha. Farhan tertawa karena teringat selama ini Cio selalu mengenakan baju-baju lucu dan stylish hasil karya mamanya. “Kalo soal baju bayi, Cio gak pernah kekurangan, keknya mending kita pilih mainan bayi aja deh,” kata Farhan. “Setuju!” Alisha mengangguk. Mereka berdua mulai mencari di antara berbagai macam mainan bayi yang tersedia di rak-rak toko. Mereka memilih beberapa barang
Faisal baru saja keluar dari kamarnya. Hari Minggu merupakan hari libur mengajarnya, jadi dia merasa nyaman untuk tidur lebih lama. Sementara Nur yang melihatnya langsung protes, “Jam segini kenapa baru bangun, sih?” Faisal tersenyum kecil, “Libur kan cuma sehari dalam seminggu, Bu. Aku pengen santai-santai.” Nur menggeleng, “Harusnya kamu bantuin beres-beres. Adik-adik kamu pada gak ada di rumah, tapi piring kotor numpuk di belakang. Ibu udah risi liatnya. Tolong kamu cuciin ya.” Faisal menghela napas. “Iya, Bu,” katanya sambil bergerak menuju dapur. Faisal melihat begitu banyak tumpukan piring dan juga perabot lain yang ada di wastafel dapur. Meski enggan, Faisal tetap mencucinya. Nur menghampiri Faisal yang sibuk mencuci piring. “Maaf ya, ibu cuma bisa mengandalin anak-anak ibu sekarang. Ibu kan ada darah tinggi, ibu pusing kalo terlalu capek.” Faisal menoleh dengan wajah penuh pengertian, “Gapapa, Bu. Ibu istirahat aja,