“Kalian siapa?! Hey!! Lepaskan kami!!” Shanti berseru marah saat sekelompok orang membawa dirinya dan juga Aruna keluar dari kontainer dan memindahkan mereka ke dalam mobil van berwarna hitam.
“Hey!!”
Sementara Shanti terus meronta dan berusaha melepaskan diri, Aruna memperhatikan sekeliling dengan cepat.
Dugaannya benar, mereka berada di pelabuhan, tapi jelas terlihat, ini bukan pelabuhan besar. Terlalu sepi.
Ia hanya melihat dermaga dengan beberapa kran atau derek untuk mengangkut barang. Dan di ujung sana ia juga bisa melihat gudang tempat penyimpanan, namun bukan dalam skala besar.
Ini lebih seperti pelabuhan transit.
Tapi yang tidak dimengerti Aruna adalah, ia semula berpikir berada di kapal kargo besar yang memang membawa kontainer. Nyatanya, mereka keluar dari kontainer yang sudah berada di atas dermaga.
Ia tidak melihat satu pun kapal laut atau bahkan kapal ferry berlabuh di sana.
Ar
Erwin terpaku di tempat, nyaris tidak percaya, satu sosok yang begitu dihormati dan disegani di negeri ini, ada di ruang tamunya.Dengan seorang asisten yang berdiri di samping, dan beberapa pengawal di teras, sosok agung Dananjaya memang langsung memberikan kesan kuat dan dominan.“Pak Dananjaya… Anda… Anda--?” Erwin melangkah mendekati tamu agung itu.“Ya, Saya datang ke sini, Pak Erwin,” penggal Dananjaya Tua berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Erwin.Erwin menyambut uluran tangan itu dengan sedikit kikuk, lalu mengangguk tersenyum. Dengan benak yang masih terkejut dan pikiran yang bertanya-tanya, ia pun mengambil tempat dan duduk berseberangan dengan Dananjaya Tua.“Pak Erwin pasti terkejut dengan kedatangan saya ke sini,” Dananjaya Tua membuka percakapan mereka.Erwin mengangguk. Ia tidak menutupinya. “Ya. Saya memang terkejut, Pak.”Dananjaya berdeham. “Saya minta maaf baru bertandang sekarang, semenjak kita berbesan.”“Tidak, Pak. Saya yang minta
Derap langkah kaki seorang lelaki terhenti. Ia baru berjalan sekitar seratus meter namun ia bisa merasakan seseorang seperti mengawasinya.Setengah berlari, lelaki itu segera masuk ke dalam rumahnya --sebuah apartemen di daerah yang jauh dari megah dan mewah, namun tidak bisa pula disebut kumuh. Mungkin bisa disebut rumah susun --namun ini terlihat sedikit lebih baik dan rapi.Lelaki itu memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter dengan perawakan kekar dan berisi. Namun sikap tergesanya, mengesankan lelaki bertubuh tinggi kekar itu tidaklah sesangar penampilannya.Lelaki itu mengembus napas lega, begitu masuk ke dalam unit apartemen miliknya. Ia merasa telah aman dan mengira tadi itu hanyalah perasaan dan kekhawatiran tanpa dasar dirinya.Dengan langkah santai ia lalu menuju satu meja kecil di sudut ruangan lalu menarik laci kedua dari meja itu.Wajahnya tertegun sesaat, namun di detik berikutnya ia menjadi panik dan mengacak-acak laci tersebut.
Hari belum masuk larut, namun senja telah mulai turun. Suara gaduh yang berasal dari pukulan, tendangan dan juga jeritan kesakitan, membahana di lantai teratas ruko tiga lantai. Beberapa lampu dalam ruangan itu padam, menyisakan keremangan yang membuat para penghuninya harus mengeluarkan usaha ekstra untuk melihat gerakan penyerang mereka. Mereka tengah santai duduk ketika tiba-tiba seorang pria berkaos hitam menerobos masuk dan entah siapa yang memulai lebih dahulu, perkelahian segera terjadi di sana. Terdapat tujuh orang lelaki di sana dan lima di antaranya telah ambruk di lantai dengan erangan kesakitan. Bahkan tiga di antaranya pingsan. Hanya tersisa dua orang yang masih mencoba menjatuhkan pria berkaos hitam itu. Mereka benar-benar tidak menyangka penyusup itu begitu tangguh, gerakan-gerakan yang dilakukannya begitu cepat, akurat dan bertenaga. Mereka memiliki berbagai senjata tajam di tangan mereka, namun pria itu bahkan menggunakan alat seadanya yang ada dalam ruangan dan
“Runa…”Bisikan Shanti di dekat telinga kiri Aruna, membuat wanita muda istri Brahmana itu terkesiap.“Ya?”“Lu jangan jauh-jauh dari gue. Deket-deket gue..”“Ya, aku tau,” Aruna mengangguk dan merapatkan duduknya dekat Shanti.“Siapa mereka sebenernya dan ngapain mereka culik kita?” desah Shanti.Aruna menggigit bibirnya. “Mungkin salah satu rival suamiku. Jika benar, aku sungguh-sungguh minta maaf, Shan--”“Ngga. Jangan gitu. Gue kagak nyalahin elu. Catat itu.”Mereka tidak tahu kini berada di mana. Kedua mata mereka ditutup dengan kain hitam yang tebal, sehingga mereka bahkan tidak dapat merasakan cahaya apapun.Sejak masih di dalam van hitam itu, kedua mata mereka telah ditutup.Begitu tiba di tempat itu, mereka langsung didudukkan di satu tempat.Dari tingkat keempukan bantalan yang mereka duduki, keduanya yakin
Ia hanya bisa berpikir satu hal, orang yang datang ini kemungkinan adalah ketua, pimpinan atau apapun mereka menyebutnya. Ini adalah kesempatan. Mungkin ia bisa bicara dan bernegosiasi dengan pihak yang tepat. Menarik napas dalam-dalam, Aruna memberanikan diri bertanya. “Who are you? Why do you take us here?” (Siapa kalian? Mengapa kami dibawa ke sini?) Ia menggunakan bahasa Inggris, karena ia yakin pemimpin yang menculiknya ini adalah orang bule, dilihat dari bawahan yang membawa dirinya dan Shanti ke tempat ini juga adalah orang-orang bule. Tidak mendengar jawaban apapun, Aruna kembali bertanya. “What do you want? If it’s about some cash, you could just let us go, my.. my husband will give you the money you need.” (Apa yang kalian inginkan? Jika ini tentang uang, kalian bisa lepaskan kami, suamiku akan memberikan uang yang kau perlukan.) “That money… How much you’re talking about, hm?” (Uang tersebut… Berapa banyak yang kau maksud?) Sebuah suara terdengar. Tidak terlalu berat,
“Siapa The Foss?” Tatapan Brahmana terkunci pada pria berkacamata di hadapannya. Wajah datar yang dipasang sang CEO Dananjaya Group itu membuat Fathan tidak bisa menebak apa dan sejauh mana yang telah didengar oleh Bos Besarnya itu. Fathan baru saja hendak membuka mulutnya, ketika kepala tim keamanan Dananjaya Group datang sambil berlari. “Tuan!” serunya, membuat Brahmana dan Fathan menoleh cepat kepadanya. “Tuan, kita mendapat kiriman.” Mendengar itu, Brahmana langsung berbalik. “Tunjukkan.” Ia diikuti Fathan dan Kepala Tim Pengaman, kembali ke ruangan. Mereka berada dalam ruangan khusus di lantai 17 sebuah hotel berbintang milik Dananjaya Group, yang memang merupakan ruang Tim Pengaman Dananjaya Group. Brahmana segera mendekati satu meja yang terdapat perangkat komputer dan beberapa panel itu. Meja tersebut merupakan meja Ketua Tim Pengaman. Ketua Tim itu segera menekan satu panel dan sekian detik kemudian muncul deretan kode aneh di monitor. Brahmana menatap lekat layar mon
Suasana dalam gedung pusat Dananjaya Group belakangan ini tidak begitu bagus. Seluruh pegawai dalam ketegangan, karena CEO mereka dalam kondisi berkali lipat ‘menyeramkan’. Dalam keadaan normal, pegawai sudah merasakan tekanan yang berat ketika berada di sekitar sang CEO. Dan kali ini bahkan mereka merasa perlu menahan napas, ketika berpapasan dengan CEO tampan yang sedang berekspresi sangat muram itu. “Ada apa ini?” “Pak CEO terlihat begitu menyeramkan.” Kerumunan pegawai yang tengah membicarakan CEO mereka terhenti sejenak, ketika di pintu lobi terdengar keributan lain. Rombongan pengawal dan suara entakan serta derap kaki yang begitu tegas, mengisi udara. “Astaga! Bukankah itu Tuan Besar?” seru seorang pegawai dengan kaget. “Ada apa ini?” Pegawai yang lainnya terlihat sama kaget dan bingungnya. “Pendiri dan pemimpin DG sama-sama ada di sini. Apa ada sesuatu?” Bisikan-bisikan itu menjadi spekulasi tak beraturan atas kehadiran Dananjaya di dalam gedung Dananjaya Group. Pria
“Saya akan menemukan bajingan-bajingan itu, Kek. Saya akan membawanya ke hadapan kakek untuk berlutut memohon ampunan kakek.” “Kita memang harus menemukan mereka,” Dananjaya mengangguk dengan mata berkilat menyimpan luka dan juga amarah. “Aruna…” Suara pria tua itu lalu melambat. “Apakah kalian sudah mendapatkan kabar terbarunya?” “Saya menerima video rekaman, Kek. Aruna dan temannya. Mereka berdua ada di tangan bajingan-bajingan itu.” “Kurang ajar!” geram Dananjaya dengan wajah memerah. Ia lalu beralih pada Nuh. “Hubungi koneksi kita di luar untuk melacak dan meretas keberadaan cucu menantuku! Berikan akses bantuan pada Tim Pengaman dan Tim IT kita.” Nuh mengangguk takzim, lalu berjalan menuju satu sudut dalam ruang itu yang dindingnya terpasang empat monitor dan set alat komunikasi yang canggih. Dananjaya kembali pada Brahmana. “Apa yang mereka inginkan? Tebusan apa yang mereka tuntut?” “Belum ada, Kek.” Brahmana menjawab --tidak mengatakan yang sebenarnya. “Dua puluh menit se