Derap langkah kaki seorang lelaki terhenti. Ia baru berjalan sekitar seratus meter namun ia bisa merasakan seseorang seperti mengawasinya.
Setengah berlari, lelaki itu segera masuk ke dalam rumahnya --sebuah apartemen di daerah yang jauh dari megah dan mewah, namun tidak bisa pula disebut kumuh. Mungkin bisa disebut rumah susun --namun ini terlihat sedikit lebih baik dan rapi.
Lelaki itu memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter dengan perawakan kekar dan berisi. Namun sikap tergesanya, mengesankan lelaki bertubuh tinggi kekar itu tidaklah sesangar penampilannya.
Lelaki itu mengembus napas lega, begitu masuk ke dalam unit apartemen miliknya. Ia merasa telah aman dan mengira tadi itu hanyalah perasaan dan kekhawatiran tanpa dasar dirinya.
Dengan langkah santai ia lalu menuju satu meja kecil di sudut ruangan lalu menarik laci kedua dari meja itu.
Wajahnya tertegun sesaat, namun di detik berikutnya ia menjadi panik dan mengacak-acak laci tersebut.
Hari belum masuk larut, namun senja telah mulai turun. Suara gaduh yang berasal dari pukulan, tendangan dan juga jeritan kesakitan, membahana di lantai teratas ruko tiga lantai. Beberapa lampu dalam ruangan itu padam, menyisakan keremangan yang membuat para penghuninya harus mengeluarkan usaha ekstra untuk melihat gerakan penyerang mereka. Mereka tengah santai duduk ketika tiba-tiba seorang pria berkaos hitam menerobos masuk dan entah siapa yang memulai lebih dahulu, perkelahian segera terjadi di sana. Terdapat tujuh orang lelaki di sana dan lima di antaranya telah ambruk di lantai dengan erangan kesakitan. Bahkan tiga di antaranya pingsan. Hanya tersisa dua orang yang masih mencoba menjatuhkan pria berkaos hitam itu. Mereka benar-benar tidak menyangka penyusup itu begitu tangguh, gerakan-gerakan yang dilakukannya begitu cepat, akurat dan bertenaga. Mereka memiliki berbagai senjata tajam di tangan mereka, namun pria itu bahkan menggunakan alat seadanya yang ada dalam ruangan dan
“Runa…”Bisikan Shanti di dekat telinga kiri Aruna, membuat wanita muda istri Brahmana itu terkesiap.“Ya?”“Lu jangan jauh-jauh dari gue. Deket-deket gue..”“Ya, aku tau,” Aruna mengangguk dan merapatkan duduknya dekat Shanti.“Siapa mereka sebenernya dan ngapain mereka culik kita?” desah Shanti.Aruna menggigit bibirnya. “Mungkin salah satu rival suamiku. Jika benar, aku sungguh-sungguh minta maaf, Shan--”“Ngga. Jangan gitu. Gue kagak nyalahin elu. Catat itu.”Mereka tidak tahu kini berada di mana. Kedua mata mereka ditutup dengan kain hitam yang tebal, sehingga mereka bahkan tidak dapat merasakan cahaya apapun.Sejak masih di dalam van hitam itu, kedua mata mereka telah ditutup.Begitu tiba di tempat itu, mereka langsung didudukkan di satu tempat.Dari tingkat keempukan bantalan yang mereka duduki, keduanya yakin
Ia hanya bisa berpikir satu hal, orang yang datang ini kemungkinan adalah ketua, pimpinan atau apapun mereka menyebutnya. Ini adalah kesempatan. Mungkin ia bisa bicara dan bernegosiasi dengan pihak yang tepat. Menarik napas dalam-dalam, Aruna memberanikan diri bertanya. “Who are you? Why do you take us here?” (Siapa kalian? Mengapa kami dibawa ke sini?) Ia menggunakan bahasa Inggris, karena ia yakin pemimpin yang menculiknya ini adalah orang bule, dilihat dari bawahan yang membawa dirinya dan Shanti ke tempat ini juga adalah orang-orang bule. Tidak mendengar jawaban apapun, Aruna kembali bertanya. “What do you want? If it’s about some cash, you could just let us go, my.. my husband will give you the money you need.” (Apa yang kalian inginkan? Jika ini tentang uang, kalian bisa lepaskan kami, suamiku akan memberikan uang yang kau perlukan.) “That money… How much you’re talking about, hm?” (Uang tersebut… Berapa banyak yang kau maksud?) Sebuah suara terdengar. Tidak terlalu berat,
“Siapa The Foss?” Tatapan Brahmana terkunci pada pria berkacamata di hadapannya. Wajah datar yang dipasang sang CEO Dananjaya Group itu membuat Fathan tidak bisa menebak apa dan sejauh mana yang telah didengar oleh Bos Besarnya itu. Fathan baru saja hendak membuka mulutnya, ketika kepala tim keamanan Dananjaya Group datang sambil berlari. “Tuan!” serunya, membuat Brahmana dan Fathan menoleh cepat kepadanya. “Tuan, kita mendapat kiriman.” Mendengar itu, Brahmana langsung berbalik. “Tunjukkan.” Ia diikuti Fathan dan Kepala Tim Pengaman, kembali ke ruangan. Mereka berada dalam ruangan khusus di lantai 17 sebuah hotel berbintang milik Dananjaya Group, yang memang merupakan ruang Tim Pengaman Dananjaya Group. Brahmana segera mendekati satu meja yang terdapat perangkat komputer dan beberapa panel itu. Meja tersebut merupakan meja Ketua Tim Pengaman. Ketua Tim itu segera menekan satu panel dan sekian detik kemudian muncul deretan kode aneh di monitor. Brahmana menatap lekat layar mon
Suasana dalam gedung pusat Dananjaya Group belakangan ini tidak begitu bagus. Seluruh pegawai dalam ketegangan, karena CEO mereka dalam kondisi berkali lipat ‘menyeramkan’. Dalam keadaan normal, pegawai sudah merasakan tekanan yang berat ketika berada di sekitar sang CEO. Dan kali ini bahkan mereka merasa perlu menahan napas, ketika berpapasan dengan CEO tampan yang sedang berekspresi sangat muram itu. “Ada apa ini?” “Pak CEO terlihat begitu menyeramkan.” Kerumunan pegawai yang tengah membicarakan CEO mereka terhenti sejenak, ketika di pintu lobi terdengar keributan lain. Rombongan pengawal dan suara entakan serta derap kaki yang begitu tegas, mengisi udara. “Astaga! Bukankah itu Tuan Besar?” seru seorang pegawai dengan kaget. “Ada apa ini?” Pegawai yang lainnya terlihat sama kaget dan bingungnya. “Pendiri dan pemimpin DG sama-sama ada di sini. Apa ada sesuatu?” Bisikan-bisikan itu menjadi spekulasi tak beraturan atas kehadiran Dananjaya di dalam gedung Dananjaya Group. Pria
“Saya akan menemukan bajingan-bajingan itu, Kek. Saya akan membawanya ke hadapan kakek untuk berlutut memohon ampunan kakek.” “Kita memang harus menemukan mereka,” Dananjaya mengangguk dengan mata berkilat menyimpan luka dan juga amarah. “Aruna…” Suara pria tua itu lalu melambat. “Apakah kalian sudah mendapatkan kabar terbarunya?” “Saya menerima video rekaman, Kek. Aruna dan temannya. Mereka berdua ada di tangan bajingan-bajingan itu.” “Kurang ajar!” geram Dananjaya dengan wajah memerah. Ia lalu beralih pada Nuh. “Hubungi koneksi kita di luar untuk melacak dan meretas keberadaan cucu menantuku! Berikan akses bantuan pada Tim Pengaman dan Tim IT kita.” Nuh mengangguk takzim, lalu berjalan menuju satu sudut dalam ruang itu yang dindingnya terpasang empat monitor dan set alat komunikasi yang canggih. Dananjaya kembali pada Brahmana. “Apa yang mereka inginkan? Tebusan apa yang mereka tuntut?” “Belum ada, Kek.” Brahmana menjawab --tidak mengatakan yang sebenarnya. “Dua puluh menit se
Satu file terkirim di perangkat Brahmana, setelah tim IT berhasil mengurai kode. CEO tampan itu segera melihat tayangan yang muncul di sana. Seorang pria dengan balaclava hitam (semacam penutup kepala yang hanya menyisakan bagian mata yang terlihat), duduk dengan latar belakang Aruna dan Shanti yang terlihat duduk berdampingan, terikat dan terbungkam. Kali ini tayangan itu tampil dengan suara, meskipun suara itu terdistorsi dan terdengar seperti suara robot. “Hello Mr Brahmana. It’s nice to have a dilly dally with the most prestigious man in Southeast Asia. And with no more talking shit, I would love to ask you the handover of all authority and all the shares that you and your granddad have over DG. Likewise, with all the assets underneath. We’ll give you time to clear all our demand within 24 hours. Be notified. If, we don’t see the handover after the deadline, we would love so much to send your wifey back, piece to piece! See you Mr Brahmana, we’ll be soon send you the arrangem
“Port Keats?” Fathan mengerutkan kening. “Maksudmu Wadeye?” Ia menyimak seksama sambil melirik Brahmana yang duduk berseberangan dengannya. ‘Yeah. Salah satu bekas rekan kita ada di sekitar sana dan menerima laporan dari warga setempat yang melihat pergerakan aneh. Satu heli membawa kontainer dan mengarah di sekitar Wadeye.’ “Apa yang didapat?” ‘Sejam sebelumnya tiga mobil van hitam berdatangan ke sana. Tidak ada info lebih lanjut, hanya rekan kita bisa melihat jalur heli itu dari arah Timor Leste.’ “Ok. Kabari aku.” Fathan kemudian menutup sambungan telepon itu. Brahmana yang duduk berseberangan dengan Fathan menatap sekretarisnya. “Apa yang kamu dapat?” “Terlihat satu heli dari arah laut Timor membawa kontainer dan landing di area Wadeye, satu daerah di Wilayah Utara Australia. Tiga van hitam menunggu sejam sebelumnya di sana. Namun tidak ada info lanjut.” “Berapa jarak dari sini ke Wadeye?” “Sekitar empat ratus kilometer, Tuan. Butuh satu jam empat puluh menit untuk bisa ti