“Siapa The Foss?” Tatapan Brahmana terkunci pada pria berkacamata di hadapannya. Wajah datar yang dipasang sang CEO Dananjaya Group itu membuat Fathan tidak bisa menebak apa dan sejauh mana yang telah didengar oleh Bos Besarnya itu. Fathan baru saja hendak membuka mulutnya, ketika kepala tim keamanan Dananjaya Group datang sambil berlari. “Tuan!” serunya, membuat Brahmana dan Fathan menoleh cepat kepadanya. “Tuan, kita mendapat kiriman.” Mendengar itu, Brahmana langsung berbalik. “Tunjukkan.” Ia diikuti Fathan dan Kepala Tim Pengaman, kembali ke ruangan. Mereka berada dalam ruangan khusus di lantai 17 sebuah hotel berbintang milik Dananjaya Group, yang memang merupakan ruang Tim Pengaman Dananjaya Group. Brahmana segera mendekati satu meja yang terdapat perangkat komputer dan beberapa panel itu. Meja tersebut merupakan meja Ketua Tim Pengaman. Ketua Tim itu segera menekan satu panel dan sekian detik kemudian muncul deretan kode aneh di monitor. Brahmana menatap lekat layar mon
Suasana dalam gedung pusat Dananjaya Group belakangan ini tidak begitu bagus. Seluruh pegawai dalam ketegangan, karena CEO mereka dalam kondisi berkali lipat ‘menyeramkan’. Dalam keadaan normal, pegawai sudah merasakan tekanan yang berat ketika berada di sekitar sang CEO. Dan kali ini bahkan mereka merasa perlu menahan napas, ketika berpapasan dengan CEO tampan yang sedang berekspresi sangat muram itu. “Ada apa ini?” “Pak CEO terlihat begitu menyeramkan.” Kerumunan pegawai yang tengah membicarakan CEO mereka terhenti sejenak, ketika di pintu lobi terdengar keributan lain. Rombongan pengawal dan suara entakan serta derap kaki yang begitu tegas, mengisi udara. “Astaga! Bukankah itu Tuan Besar?” seru seorang pegawai dengan kaget. “Ada apa ini?” Pegawai yang lainnya terlihat sama kaget dan bingungnya. “Pendiri dan pemimpin DG sama-sama ada di sini. Apa ada sesuatu?” Bisikan-bisikan itu menjadi spekulasi tak beraturan atas kehadiran Dananjaya di dalam gedung Dananjaya Group. Pria
“Saya akan menemukan bajingan-bajingan itu, Kek. Saya akan membawanya ke hadapan kakek untuk berlutut memohon ampunan kakek.” “Kita memang harus menemukan mereka,” Dananjaya mengangguk dengan mata berkilat menyimpan luka dan juga amarah. “Aruna…” Suara pria tua itu lalu melambat. “Apakah kalian sudah mendapatkan kabar terbarunya?” “Saya menerima video rekaman, Kek. Aruna dan temannya. Mereka berdua ada di tangan bajingan-bajingan itu.” “Kurang ajar!” geram Dananjaya dengan wajah memerah. Ia lalu beralih pada Nuh. “Hubungi koneksi kita di luar untuk melacak dan meretas keberadaan cucu menantuku! Berikan akses bantuan pada Tim Pengaman dan Tim IT kita.” Nuh mengangguk takzim, lalu berjalan menuju satu sudut dalam ruang itu yang dindingnya terpasang empat monitor dan set alat komunikasi yang canggih. Dananjaya kembali pada Brahmana. “Apa yang mereka inginkan? Tebusan apa yang mereka tuntut?” “Belum ada, Kek.” Brahmana menjawab --tidak mengatakan yang sebenarnya. “Dua puluh menit se
Satu file terkirim di perangkat Brahmana, setelah tim IT berhasil mengurai kode. CEO tampan itu segera melihat tayangan yang muncul di sana. Seorang pria dengan balaclava hitam (semacam penutup kepala yang hanya menyisakan bagian mata yang terlihat), duduk dengan latar belakang Aruna dan Shanti yang terlihat duduk berdampingan, terikat dan terbungkam. Kali ini tayangan itu tampil dengan suara, meskipun suara itu terdistorsi dan terdengar seperti suara robot. “Hello Mr Brahmana. It’s nice to have a dilly dally with the most prestigious man in Southeast Asia. And with no more talking shit, I would love to ask you the handover of all authority and all the shares that you and your granddad have over DG. Likewise, with all the assets underneath. We’ll give you time to clear all our demand within 24 hours. Be notified. If, we don’t see the handover after the deadline, we would love so much to send your wifey back, piece to piece! See you Mr Brahmana, we’ll be soon send you the arrangem
“Port Keats?” Fathan mengerutkan kening. “Maksudmu Wadeye?” Ia menyimak seksama sambil melirik Brahmana yang duduk berseberangan dengannya. ‘Yeah. Salah satu bekas rekan kita ada di sekitar sana dan menerima laporan dari warga setempat yang melihat pergerakan aneh. Satu heli membawa kontainer dan mengarah di sekitar Wadeye.’ “Apa yang didapat?” ‘Sejam sebelumnya tiga mobil van hitam berdatangan ke sana. Tidak ada info lebih lanjut, hanya rekan kita bisa melihat jalur heli itu dari arah Timor Leste.’ “Ok. Kabari aku.” Fathan kemudian menutup sambungan telepon itu. Brahmana yang duduk berseberangan dengan Fathan menatap sekretarisnya. “Apa yang kamu dapat?” “Terlihat satu heli dari arah laut Timor membawa kontainer dan landing di area Wadeye, satu daerah di Wilayah Utara Australia. Tiga van hitam menunggu sejam sebelumnya di sana. Namun tidak ada info lanjut.” “Berapa jarak dari sini ke Wadeye?” “Sekitar empat ratus kilometer, Tuan. Butuh satu jam empat puluh menit untuk bisa ti
Malam itu juga Brahmana, Fathan dan tim khusus Dananjaya Group, berangkat menggunakan helikopter menuju Driftwood Island. Tim khusus yang ikut bersama Brahmana ini adalah tim elit DG yang terdiri dari mantan marinir yang mengundurkan diri dan memilih bekerja di bawah Dananjaya Group. Mereka tidak pernah digunakan untuk tim pengaman, namun menjadi tim yang paling pertama diturunkan dalam kondisi darurat, seperti saat ini. Dengan seragam khusus tim elit itu masuk ke dalam kapal cepat yang akan membawa mereka menyeberang, menuju satu pulau kecil tak bernama yang ada di Barat Daya dari Driftwood Island. Hasil foto satelit, tim IT Dananjaya Group berhasil mengindentifikasi satu bangunan di pulau tak berpenghuni itu, dari beberapa pulau lainnya di sekitar Driftwood Island. Setelah tim khusus itu dan juga bawahan Othman naik ke atas dua speed boat berbeda, Brahmana dan Fathan menaiki speed boat lainnya. Sesuai dengan yang telah direncanakan mereka dalam dua jam sebelumnya, mereka berger
Aruna tengah tertidur, ketika telinganya sayup mendengar suara derap kaki dan suara-suara teriakan perintah dari luar kamar tempatnya dan Shanti disekap. Perlahan ia membuka mata. Beberapa kali kelopaknya mengerjap lalu menoleh ke kanan, dan melihat Shanti masih tertidur. Penutup mata mereka sudah dilepas, namun tidak dengan kedua tangan mereka. Kali ini bukan terikat oleh kain hitam, melainkan borgol. Para penjahat itu hanya membukanya ketika Aruna dan Shanti harus ke toilet. “Shan…” Aruna memanggil sahabatnya yang terlihat tidur dengan sangat pulas. Tentu saja mereka benar-benar tertidur --karena kelelahan, setelah dua hari sebelumnya nyaris selalu terjaga dengan rasa takut dan panik. “Shanti…” panggil Aruna lagi. Ia menggeser tubuhnya ke dekat Shanti dan mengguncang pelan tubuh Shanti dengan kedua tangannya yang di borgol. Shanti bergeming. Masih tertidur --tampak tak terusik. Suara teriakan kembali terdengar. Itu teriakan perintah dan peringatan. Entah apa, Aruna tidak t
“Ataukah itu suami lu, Run?” Aruna tersenyum hampa. “Be realistic, Shan. (Realistis aja Shan) Meski kita tidak tahu ini di mana, kita tahu kita berada di luar negeri. Wilayah di luar kekuasaan suamiku dan berada beribu-ribu kilometer jauhnya dari negara kita. Kurasa tidak akan secepat ini suamiku menemukan kita.” Ia lalu melanjutkan dengan suara yang memelan dan melemah. “Lagi pula kita sama-sama dengar tuntutan tidak masuk akal para teroris itu. Kau tahu… kurasa Agha tidak akan begitu saja menyerahkan perusahaan yang merupakan keringat dan darah kakeknya, hanya untuk menebusku. Uang jelas akan ia berikan tanpa ragu. Tapi menyerahkan seluruh perusahaan?” Aruna menggeleng pelan. Shanti pun mengembus napas tanpa daya. Meski enggan berpikir putus asa, namun Aruna memberikan poin yang tepat. “Well… apa boleh buat. Ini dah takdir kita. Berapa kali menghindar pun, jika memang harus terjadi, maka ini akan terjadi.” Mereka berdua lalu terdiam. “Senang bersahabat dengan lu, Runa.” Shanti