“Saya akan menemukan bajingan-bajingan itu, Kek. Saya akan membawanya ke hadapan kakek untuk berlutut memohon ampunan kakek.” “Kita memang harus menemukan mereka,” Dananjaya mengangguk dengan mata berkilat menyimpan luka dan juga amarah. “Aruna…” Suara pria tua itu lalu melambat. “Apakah kalian sudah mendapatkan kabar terbarunya?” “Saya menerima video rekaman, Kek. Aruna dan temannya. Mereka berdua ada di tangan bajingan-bajingan itu.” “Kurang ajar!” geram Dananjaya dengan wajah memerah. Ia lalu beralih pada Nuh. “Hubungi koneksi kita di luar untuk melacak dan meretas keberadaan cucu menantuku! Berikan akses bantuan pada Tim Pengaman dan Tim IT kita.” Nuh mengangguk takzim, lalu berjalan menuju satu sudut dalam ruang itu yang dindingnya terpasang empat monitor dan set alat komunikasi yang canggih. Dananjaya kembali pada Brahmana. “Apa yang mereka inginkan? Tebusan apa yang mereka tuntut?” “Belum ada, Kek.” Brahmana menjawab --tidak mengatakan yang sebenarnya. “Dua puluh menit se
Satu file terkirim di perangkat Brahmana, setelah tim IT berhasil mengurai kode. CEO tampan itu segera melihat tayangan yang muncul di sana. Seorang pria dengan balaclava hitam (semacam penutup kepala yang hanya menyisakan bagian mata yang terlihat), duduk dengan latar belakang Aruna dan Shanti yang terlihat duduk berdampingan, terikat dan terbungkam. Kali ini tayangan itu tampil dengan suara, meskipun suara itu terdistorsi dan terdengar seperti suara robot. “Hello Mr Brahmana. It’s nice to have a dilly dally with the most prestigious man in Southeast Asia. And with no more talking shit, I would love to ask you the handover of all authority and all the shares that you and your granddad have over DG. Likewise, with all the assets underneath. We’ll give you time to clear all our demand within 24 hours. Be notified. If, we don’t see the handover after the deadline, we would love so much to send your wifey back, piece to piece! See you Mr Brahmana, we’ll be soon send you the arrangem
“Port Keats?” Fathan mengerutkan kening. “Maksudmu Wadeye?” Ia menyimak seksama sambil melirik Brahmana yang duduk berseberangan dengannya. ‘Yeah. Salah satu bekas rekan kita ada di sekitar sana dan menerima laporan dari warga setempat yang melihat pergerakan aneh. Satu heli membawa kontainer dan mengarah di sekitar Wadeye.’ “Apa yang didapat?” ‘Sejam sebelumnya tiga mobil van hitam berdatangan ke sana. Tidak ada info lebih lanjut, hanya rekan kita bisa melihat jalur heli itu dari arah Timor Leste.’ “Ok. Kabari aku.” Fathan kemudian menutup sambungan telepon itu. Brahmana yang duduk berseberangan dengan Fathan menatap sekretarisnya. “Apa yang kamu dapat?” “Terlihat satu heli dari arah laut Timor membawa kontainer dan landing di area Wadeye, satu daerah di Wilayah Utara Australia. Tiga van hitam menunggu sejam sebelumnya di sana. Namun tidak ada info lanjut.” “Berapa jarak dari sini ke Wadeye?” “Sekitar empat ratus kilometer, Tuan. Butuh satu jam empat puluh menit untuk bisa ti
Malam itu juga Brahmana, Fathan dan tim khusus Dananjaya Group, berangkat menggunakan helikopter menuju Driftwood Island. Tim khusus yang ikut bersama Brahmana ini adalah tim elit DG yang terdiri dari mantan marinir yang mengundurkan diri dan memilih bekerja di bawah Dananjaya Group. Mereka tidak pernah digunakan untuk tim pengaman, namun menjadi tim yang paling pertama diturunkan dalam kondisi darurat, seperti saat ini. Dengan seragam khusus tim elit itu masuk ke dalam kapal cepat yang akan membawa mereka menyeberang, menuju satu pulau kecil tak bernama yang ada di Barat Daya dari Driftwood Island. Hasil foto satelit, tim IT Dananjaya Group berhasil mengindentifikasi satu bangunan di pulau tak berpenghuni itu, dari beberapa pulau lainnya di sekitar Driftwood Island. Setelah tim khusus itu dan juga bawahan Othman naik ke atas dua speed boat berbeda, Brahmana dan Fathan menaiki speed boat lainnya. Sesuai dengan yang telah direncanakan mereka dalam dua jam sebelumnya, mereka berger
Aruna tengah tertidur, ketika telinganya sayup mendengar suara derap kaki dan suara-suara teriakan perintah dari luar kamar tempatnya dan Shanti disekap. Perlahan ia membuka mata. Beberapa kali kelopaknya mengerjap lalu menoleh ke kanan, dan melihat Shanti masih tertidur. Penutup mata mereka sudah dilepas, namun tidak dengan kedua tangan mereka. Kali ini bukan terikat oleh kain hitam, melainkan borgol. Para penjahat itu hanya membukanya ketika Aruna dan Shanti harus ke toilet. “Shan…” Aruna memanggil sahabatnya yang terlihat tidur dengan sangat pulas. Tentu saja mereka benar-benar tertidur --karena kelelahan, setelah dua hari sebelumnya nyaris selalu terjaga dengan rasa takut dan panik. “Shanti…” panggil Aruna lagi. Ia menggeser tubuhnya ke dekat Shanti dan mengguncang pelan tubuh Shanti dengan kedua tangannya yang di borgol. Shanti bergeming. Masih tertidur --tampak tak terusik. Suara teriakan kembali terdengar. Itu teriakan perintah dan peringatan. Entah apa, Aruna tidak t
“Ataukah itu suami lu, Run?” Aruna tersenyum hampa. “Be realistic, Shan. (Realistis aja Shan) Meski kita tidak tahu ini di mana, kita tahu kita berada di luar negeri. Wilayah di luar kekuasaan suamiku dan berada beribu-ribu kilometer jauhnya dari negara kita. Kurasa tidak akan secepat ini suamiku menemukan kita.” Ia lalu melanjutkan dengan suara yang memelan dan melemah. “Lagi pula kita sama-sama dengar tuntutan tidak masuk akal para teroris itu. Kau tahu… kurasa Agha tidak akan begitu saja menyerahkan perusahaan yang merupakan keringat dan darah kakeknya, hanya untuk menebusku. Uang jelas akan ia berikan tanpa ragu. Tapi menyerahkan seluruh perusahaan?” Aruna menggeleng pelan. Shanti pun mengembus napas tanpa daya. Meski enggan berpikir putus asa, namun Aruna memberikan poin yang tepat. “Well… apa boleh buat. Ini dah takdir kita. Berapa kali menghindar pun, jika memang harus terjadi, maka ini akan terjadi.” Mereka berdua lalu terdiam. “Senang bersahabat dengan lu, Runa.” Shanti
Ia tidak berkesempatan menemukan keberadaan dirinya dan kawanannya. ‘Jadi… jika serangan ini bukan dari Brahmana, siapa mereka?’ Ia kemudian hanya terpikirkan dua hal. Pertama, adalah kawanan penjahat atau perampok lokal yang telah mengetahui ada kehidupan di pulau ini. Atau kedua. The Foss pusat telah mengetahui tindakannya yang tanpa izin. Apapun itu, Xar tidak akan mundur. Ia telah terlanjur sejauh ini dan tujuannya hampir tercapai. Satu seringai tipis kemudian terbentuk di wajahnya. Semua akan sepadan, jika ia bisa membuat pria itu menderita. Lalu ia mengambil alih seluruhnya. Dengan itu, ia bahkan tidak perlu takut terhadap bos The Foss. Bukankah uang bisa membeli semuanya? Uang DG akan cukup untuk membuat The Foss kelak menjadi back up dirinya dalam menjalankan perusahaan. Maka setelahnya, tidak ada lagi yang perlu ia takutkan di dunia ini. Xar berbalik menuju rak yang ada di sudut. Ia mengambil botol minuman beralkohol dan menuangkannya ke dalam gelas. Tangannya ya
Pintu kayu tebal itu terbuka dengan sekali tendangan. Kedua netra Fathan berkilat tatkala mendapati Shanti dalam posisi telentang di lantai dan satu lelaki bule berambut ikal menindih tubuhnya. “Setan!” desis Fathan yang langsung menerjang dan menendang lelaki di belakang si rambut ikal, yang seolah tengah menunggu ‘giliran’. Hanya satu kali tendangan dan dua kali pukulan, lelaki bule itu seketika ambruk tak sadarkan diri. “Fuck off!” (Menyingkirlah!) Lelaki berambut ikal berdiri dan marah karena merasa terganggu hajatnya. Ia meraih senapan yang tergeletak di sisinya dan mengarahkannya pada Fathan. Namun belum sempat lelaki itu bahkan membidik, tendangan Fathan mengempas senapan tersebut dari tangan lelaki bule berambut ikal itu. Ia memutar tubuh dan kaki jenjang penuh kekuatan itu menendang tepat di rahang bawah si rambut ikal. Lelaki itu terpental mundur. Namun Fathan tidak memberinya ampun dan kembali memberikannya tendangan berkekuatan ke arah sisi kepala lelaki itu. DHUAAG
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m