Pintu kayu tebal itu terbuka dengan sekali tendangan. Kedua netra Fathan berkilat tatkala mendapati Shanti dalam posisi telentang di lantai dan satu lelaki bule berambut ikal menindih tubuhnya. “Setan!” desis Fathan yang langsung menerjang dan menendang lelaki di belakang si rambut ikal, yang seolah tengah menunggu ‘giliran’. Hanya satu kali tendangan dan dua kali pukulan, lelaki bule itu seketika ambruk tak sadarkan diri. “Fuck off!” (Menyingkirlah!) Lelaki berambut ikal berdiri dan marah karena merasa terganggu hajatnya. Ia meraih senapan yang tergeletak di sisinya dan mengarahkannya pada Fathan. Namun belum sempat lelaki itu bahkan membidik, tendangan Fathan mengempas senapan tersebut dari tangan lelaki bule berambut ikal itu. Ia memutar tubuh dan kaki jenjang penuh kekuatan itu menendang tepat di rahang bawah si rambut ikal. Lelaki itu terpental mundur. Namun Fathan tidak memberinya ampun dan kembali memberikannya tendangan berkekuatan ke arah sisi kepala lelaki itu. DHUAAG
Di dalam kamarnya, Xar melirik jam tangan dan mendengkus gelisah. “Mengapa dia belum mengabari. Kemana sialan itu!” Xar mendekat ke arah jendela dan melihat ke arah halaman depan yang masih riuh oleh suara desingan peluru. Hatinya seketika gentar, menyaksikan tubuh-tubuh anak buahnya yang kian banyak bergelimpangan. Dalam kondisi seperti ini, nyaris semua dikerahkan turun ke bawah untuk membantu mengatasi dan menghadang para penyerang itu. Merasakan ketidaktenangan dan rasa khawatir rencana yang telah ia susun lama menjadi berantakan, Xar menyambar senjata api di atas meja lalu bergegas keluar dari dalam kamarnya. Ia menyusuri koridor lantai dua menuju tangga ke lantai tiga. Derap langkahnya begitu cepat dan tergesa, hingga ketika ia tiba di depan pintu kamar yang nyaris copot, tubuhnya terhenti di tempat. Matanya membelalak kaget dan menyerbu ke dalam, hanya untuk memastikan apa yang ia lihat, bukanlah tipuan mata. Kedua anak buahnya yang bertugas menjaga sandera, tergele
Sementara itu, di ruangan kecil di atas bangunan, sebuah perkelahian jelas tak terelakkan. Brahmana tidak ingin membuang waktu dengan lelaki berwajah penuh luka itu, jadi dia hanya bergerak cepat melayangkan pukulan dengan tubuhnya bergerak ke sisi Aruna. Membelakanginya, untuk memastikan, wanita tercintanya itu berada dalam lindungannya. Dugg! Buaggg!! Set! Dhuagg!! Lelaki berwajah penuh bekas luka itu mendongak dengan wajah penuh kesakitan, begitu satu hantaman dari Brahmana mengenai rahang bawahnya. Ia pun terjengkang dan terkapar. Dengan cepat, Brahmana menendang sekali, untuk mengakhiri pertahanan terakhir lelaki itu. “Hhh…” Dada Brahmana naik turun dengan napas sedikit tersengal. Lelaki yang baru saja ia hadapi, tidak seperti anggota lainnya. Lelaki itu cukup lumayan. Brahmana menduga, lelaki itu pasti orang kepercayaan pimpinan kelompok penjahat ini. Meski Brahmana belum mengetahui siapa pimpinannya, namun insting kuatnya mengatakan lelaki itu bukanlah pemegang pucuk p
Erwin terhenyak.Ia terbangun dari tidur dengan kondisi kaget.Dadanya berdebar hebat.Erwin mengusap wajahnya pelan. Ia bangun dan turun dari ranjang besarnya lalu mengambil segelas air minum di atas nakas.Sejenak ia melirik jam di dinding sebelum meneguk air dalam gelas itu.“Jam sebelas malam….” gumamnya sembari meletakkan kembali gelas ke atas nakas.Ia baru saja hendak ke kamar mandi di dalam kamarnya, ketika suara bel terdengar.Erwin mengerutkan kening. “Siapa yang bertamu malam-malam begini?” Ia pun mengenakan sandal rumah dan keluar dari kamar.“Siapa itu?” tanya Erwin pada asisten rumah tangga yang terlihat baru kembali dari ruang tamu untuk membukakan pintu.“Katanya keluarga Tuan Brahmana, Pak,” jawab si asisten rumah tangga.Erwin mengangguk dan bergegas keluar. Tidak mungkin pihak Dananjaya datang hanya untuk bertamu, bukan?Seketika hatinya resah dengan jantung berpacu lebih cepat.“Pak,” sapa seorang pria muda begitu Erwin tiba di ruang tamu. “Saya Kevin, saudara sepu
Situasi benar-benar mencekam. Suara binatang malam terdengar dengan jelas saat ini, seolah di sana tidak ada kehidupan lain yang terjadi. Kesenyapan yang bagai di area pemakaman. “Kill them all!” Seruan penuh dendam dan kemarahan itu mengudara, membelah sunyi dan memberikan keputusan akhir untuk hidup Fathan, Aruna dan Brahmana. Suara senjata yang bergerak serentak dan terarah segera menyusul. Namun… DHUAARR! Tepat sebelum mereka menarik pelatuk, suara ledakan terjadi di depan para penembak itu, hingga mereka terpental. Fathan bergerak cepat, kembali melempar sesuatu dalam genggamannya dan suara ledakan lain terdengar, membuat ke tujuh anak buah Xar tercerai berai. Aruna yang melihat kesempatan itu, berusaha bangun dan menyeret tubuh Brahmana masuk ke dalam ruangan tempat ia sebelumnya terbaring. Di momen tersebut, Fathan berlari menerjang dua orang anak buah Xar yang berpoisi paling dekat dengannya. Dorr!! Tembakan itu berasal dari Xar, mengarah pada Fathan, namun Fathan m
Beberapa hari berlalu sejak insiden dan tragedi penculikan itu terjadi. Aruna dan Shanti baru saja selesai membereskan sebagian barang-barang mereka dan akan keluar dari Rumah Sakit esok hari. Sejak dibawa kembali ke Tanah Air, Brahmana mengirim Aruna dirawat di Rumah Sakit bersama Shanti, dalam satu kamar rawat inap SVIP. Satu lantai dikosongkan dan hanya diisi oleh dua lusin bodyguard dari tim pengaman Dananjaya Group. Pengamanan di Rumah Sakit tersebut juga diperketat dan CCTV terpasang nyaris di setiap selang tiga meter. Semua kerepotan itu sungguh sepadan demi keamanan istri orang nomor satu di Dananjaya Group, berikut cucu menantu seorang legenda bisnis yang masih memiliki pengaruh kuat di negara ini. Bahkan terlihat polisi berpakaian preman ikut berjaga di sekitar Rumah Sakit tersebut. Dananjaya memang memerintahkan agar cucu menantunya itu diperiksa secara khusus dan intensif, baik fisik maupun psikis. Brahmana bukan tidak sanggup merawat Aruna di dalam kediamannya dan m
Brahmana dan Fathan baru tiba di Luzern, Switzerland setelah berkendara sekitar empat puluh sembilan menit dari Zurich. Luzern adalah sebuah kota yang terletak di Swiss bagian tengah, dekat dengan gunung Pilatus, Rigi dan Titlis. Daya tarik kota ini memang memukau dengan pusat kota tuanya yang berhias bangunan klasik dengan arsitektur menawan di sepanjang sungai Reuss. Tempat yang benar-benar indah dan romantis, namun mereka berdua datang ke tempat ini bukan untuk berwisata. Seorang petugas hotel membukakan pintu mobil Rolls Royce yang ditumpangi Brahmana. Pria tampan suami Aruna itu keluar, diikuti Fathan. Mereka kini berada di lobby Chateau Gutsch, salah satu hotel yang ada di kota ini. “Penghubungmu mengatakan akan bertemu kita di sini?” Brahmana bertanya tanpa menoleh pada Fathan yang berjalan di sisi kirinya. Mereka mengarah ke lounge hotel tersebut dan mengambil tempat di salah satu meja cantik dengan empat kursi di sana.
“Kau ternyata tidak setenang kelihatannya ya..” Fathan melempar pandangan pada Brahmana. “Maksud Tuan?” “Kenalan mu. Dan kau terlihat santai dengan sikap wanita yang… You know, sedikit agresif.” Fathan terkekeh. “Jika maksud Tuan soal Airan tadi, saya hanya sudah terbiasa saja dengannya yang seperti itu. Dia memang suka bermain-main begitu, bukan dalam artian buruk. Dan itu bukan hal baru untuk saya,” ujar Fathan enteng. “Lagipula, Airan bukan satu-satunya wanita seperti itu yang saya kenal.” Maksud Fathan adalah, saat ia menjadi pembunuh bayaran, ia sudah biasa bertemu wanita cantik satu profesi dengannya yang memang menggunakan wajah dan tubuhnya untuk menyesatkan target dan memudahkan tugas melumpuhkan sasaran. Mereka wanita-wanita tangguh yang suka menantang bahaya. Namun Brahmana mendengarnya seperti Fathan memiliki deretan wanita cantik yang pernah dekat dan bahkan mungkin menjadi teman tidur Fathan. Pria tampan suami Aruna itu menggeleng. Tanpa sengaja sudut matanya menan