Brahmana dan Fathan baru tiba di Luzern, Switzerland setelah berkendara sekitar empat puluh sembilan menit dari Zurich. Luzern adalah sebuah kota yang terletak di Swiss bagian tengah, dekat dengan gunung Pilatus, Rigi dan Titlis. Daya tarik kota ini memang memukau dengan pusat kota tuanya yang berhias bangunan klasik dengan arsitektur menawan di sepanjang sungai Reuss. Tempat yang benar-benar indah dan romantis, namun mereka berdua datang ke tempat ini bukan untuk berwisata. Seorang petugas hotel membukakan pintu mobil Rolls Royce yang ditumpangi Brahmana. Pria tampan suami Aruna itu keluar, diikuti Fathan. Mereka kini berada di lobby Chateau Gutsch, salah satu hotel yang ada di kota ini. “Penghubungmu mengatakan akan bertemu kita di sini?” Brahmana bertanya tanpa menoleh pada Fathan yang berjalan di sisi kirinya. Mereka mengarah ke lounge hotel tersebut dan mengambil tempat di salah satu meja cantik dengan empat kursi di sana.
“Kau ternyata tidak setenang kelihatannya ya..” Fathan melempar pandangan pada Brahmana. “Maksud Tuan?” “Kenalan mu. Dan kau terlihat santai dengan sikap wanita yang… You know, sedikit agresif.” Fathan terkekeh. “Jika maksud Tuan soal Airan tadi, saya hanya sudah terbiasa saja dengannya yang seperti itu. Dia memang suka bermain-main begitu, bukan dalam artian buruk. Dan itu bukan hal baru untuk saya,” ujar Fathan enteng. “Lagipula, Airan bukan satu-satunya wanita seperti itu yang saya kenal.” Maksud Fathan adalah, saat ia menjadi pembunuh bayaran, ia sudah biasa bertemu wanita cantik satu profesi dengannya yang memang menggunakan wajah dan tubuhnya untuk menyesatkan target dan memudahkan tugas melumpuhkan sasaran. Mereka wanita-wanita tangguh yang suka menantang bahaya. Namun Brahmana mendengarnya seperti Fathan memiliki deretan wanita cantik yang pernah dekat dan bahkan mungkin menjadi teman tidur Fathan. Pria tampan suami Aruna itu menggeleng. Tanpa sengaja sudut matanya menan
Itu adalah dua jam kemudian, setelah Brahmana dan Fathan menaiki helikopter yang membawa mereka ke satu kota bernama Grindelwald, lalu meneruskan perjalanan menggunakan mobil ke Büössalp --masih di wilayah Grindelwald. Pemandangan luar biasa mengelilingi dan memanjakan mata Brahmana dan juga Fathan. Namun, sekali lagi, mereka bukan berada di situ untuk bertamasya. Brahmana merapatkan mantel panjang yang ia kenakan, suhu siang hari di Grindelwald bekisar 10° Celcius. Itu bukan suhu yang bersahabat bagi Brahmana yang terbiasa di iklim tropis. Ia melirik Fathan yang juga memakai mantel panjang tebal yang terikat rapat, dengan ujung hidung Fathan memerah. Namun pria mantan hitman itu masih terlihat santai dengan udara sedingin ini. Mereka kini berada di depan sebuah bangunan --mirip vila, terbuat dari kayu yang tampak kokoh. Bangunan itu berada di antara perbukitan dan nyaris tersembunyi. Bangunan itu sangat sederhana, bahkan lebih cocok disebut pondok kayu. Sebagai tempat tinggal unt
Brahmana menatap dokumen di tangannya.Lembaran itu berisi perjanjian dirinya dan pimpinan The Foss, yang sepakat, tidak akan mengganggu keluarga Dananjaya dan keturunannya. Sebagai ganti Brahmana menyerahkan Xar pada pimpinan asli The Foss.Xar merupakan orang yang memang dicari oleh pihak The Foss.Sejumlah besar uang dan sekian ratus kilogram emas murni batangan yang digelapkan dan dibawa pergi, bukanlah satu-satunya kesalahan Xar pada The Foss.Pimpinan The Foss sangat menantikan Xar ada dalam genggamannya --Xar melakukan kesalahan lainnya yang fatal di internal The Foss.Pengkhianatan.Setelah diambil dan ditampung The Foss, bahkan dibesarkan dalam perlindungan The Foss, Xar malah mengkhianati dengan meracuni pimpinan The Foss sebelumnya, yaitu paman dari pimpinan saat ini dan membawa kabur berkas berisi daftar klien-klien penting pembeli senjata ilegal.Mereka memburu Xar, namun tidak berhasil mengetahui keberadaan Xar setelah b
Shanti berhenti di depan gerbang utama gedung apartemen yang terlihat megah. Mulutnya berdecak --nyaris tak percaya, mengetahui bahwa Fathan ternyata tinggal di sini. Itu adalah gedung apartemen yang masuk dalam jajaran apartemen prestisius di ibukota. Ia meneguk saliva. Dengan berbekal catatan yang dikirim Aruna, Shanti lalu melajukan kembali kendaraan roda duanya dan parkir satu lantai di bawah gedung. Ia lalu masuk ke lift dan berhenti di lantai dasar dan langsung menuju meja resepsionis. Sebagai orang luar, tentunya dia tidak memiliki akses untuk masuk ke lantai atas di mana unit-unit apartemen itu berada. Ia berbicara dengan petugas di meja tersebut dan menanyakan cara naik ke unit milik Fathan, namun petugas tersebut menolak halus. Ia menyarankan agar Shanti menghubungi pemilik unit untuk mengizinkannya naik ke atas. Dengan enggan, Shanti menelepon Fathan, namun sampai tiga kali melakukan panggilan, Fathan tidak kunjung menjawab telepon itu. Shanti lalu menelepon Aruna d
Fathan menggelengkan kepala. Dirinya akhirnya bisa berada di ruang gym yang juga terdapat dojo di dalamnya. Bagaimana ini bisa terjadi? Dirinya dan Shanti kini berdiri di atas matras, dengan kedua tangan mereka telah mengenakan sarung tinju. Fathan tidak habis pikir dengan kelakuan Shanti ini. Bisa-bisanya wanita muda itu terpikirkan minta sparing dengannya, setelah ia baru saja mendarat kembali dari enam belas jam penerbangan? Namun Fathan tersenyum diam-diam. Wanita muda di depannya itu terlihat cantik dan menarik. Rambut sebahu miliknya yang diikat jadi satu ke belakang, memamerkan leher jenjang dan mulus yang sangat mengundang. Kedua pipinya pun hanya ternoda dengan satu jerawat kecil, terlihat kencang dan menggembung manis saat ia meniupkan udara dari mulutnya. Dan bibirnya. Kedua benda kenyal dan lembut berwarna merah muda pucat itu pernah dirasakan oleh Fathan. Segera, ia menandai dan memastikan hanya dirinya yan
Dear GoodReaders!! Author ingin menyapa sejenak. Sebentar lagi Aruna Season 2 akan segera berakhir (Author usahakan sampai dengan Aruna memiliki anak yaa). Dan Author juga mau minta maaf, untuk hari ini, Author absen update ya, karena mudik ^,^ Besok dan seterusnya Author usahakan untuk tetap upload seperti biasanya, sampai dengan Aruna Season 2 ini beneran tamat. Terima kasih untuk semua pembaca setia Aruna dan Brahmana. Selamat menunaikan ibadah puasa menjelang akhir, bagi yang melaksanakannya. Sampai jumpa besok dan jika kalian ingin memberi saran atau pun menyampaikan keinginan tentang kisah Aruna dan Brahmana ini, silakan kasih komen aja di bawah, yaaa.... See you tomorrow and... Enjoy!! ^,^
“Aapaa?!?” Pekikan kaget Jasmine menggema seantero ruangan. Aruna dan Shanti segera mengingatkan Jasmine, sementara Najla langsung membekap mulut Jasmine dengan sebelah tangan. “Lu malu-maluin banget sih. Ini di tempat umum,” Najla mendelik pada Jasmine dengan tangan masih bertengger di mulut sahabatnya itu. Jasmine menggeleng-gelengkan kepala, lalu menepis tangan Najla dan mengomel. “Ya lagian! Gue kan kaget denger Shanti bilang dia ngelamar mas Fathan?!” Jasmine tidak salah. Sesungguhnya Najla bahkan Aruna sendiri terkejut mendengar berita yang dikatakan Shanti, saat mereka hari ini janjian untuk bertemu di sebuah kafe favorit mereka. Keterkejutan mereka bukan tanpa alasan. Shanti yang mereka kenal, adalah seseorang yang selalu menghindari keterikatan bahkan tidak berpacaran. Dan sekarang tiba-tiba mereka mendengar bahwa Shanti dan Fathan berencana menikah. Terutama lagi, Shanti mengatakan dirinyalah yang melamar Fathan lebih dulu. “Kamu serius Shan?” tanya Aruna pada Shanti.