Malam itu juga Brahmana, Fathan dan tim khusus Dananjaya Group, berangkat menggunakan helikopter menuju Driftwood Island. Tim khusus yang ikut bersama Brahmana ini adalah tim elit DG yang terdiri dari mantan marinir yang mengundurkan diri dan memilih bekerja di bawah Dananjaya Group. Mereka tidak pernah digunakan untuk tim pengaman, namun menjadi tim yang paling pertama diturunkan dalam kondisi darurat, seperti saat ini. Dengan seragam khusus tim elit itu masuk ke dalam kapal cepat yang akan membawa mereka menyeberang, menuju satu pulau kecil tak bernama yang ada di Barat Daya dari Driftwood Island. Hasil foto satelit, tim IT Dananjaya Group berhasil mengindentifikasi satu bangunan di pulau tak berpenghuni itu, dari beberapa pulau lainnya di sekitar Driftwood Island. Setelah tim khusus itu dan juga bawahan Othman naik ke atas dua speed boat berbeda, Brahmana dan Fathan menaiki speed boat lainnya. Sesuai dengan yang telah direncanakan mereka dalam dua jam sebelumnya, mereka berger
Aruna tengah tertidur, ketika telinganya sayup mendengar suara derap kaki dan suara-suara teriakan perintah dari luar kamar tempatnya dan Shanti disekap. Perlahan ia membuka mata. Beberapa kali kelopaknya mengerjap lalu menoleh ke kanan, dan melihat Shanti masih tertidur. Penutup mata mereka sudah dilepas, namun tidak dengan kedua tangan mereka. Kali ini bukan terikat oleh kain hitam, melainkan borgol. Para penjahat itu hanya membukanya ketika Aruna dan Shanti harus ke toilet. “Shan…” Aruna memanggil sahabatnya yang terlihat tidur dengan sangat pulas. Tentu saja mereka benar-benar tertidur --karena kelelahan, setelah dua hari sebelumnya nyaris selalu terjaga dengan rasa takut dan panik. “Shanti…” panggil Aruna lagi. Ia menggeser tubuhnya ke dekat Shanti dan mengguncang pelan tubuh Shanti dengan kedua tangannya yang di borgol. Shanti bergeming. Masih tertidur --tampak tak terusik. Suara teriakan kembali terdengar. Itu teriakan perintah dan peringatan. Entah apa, Aruna tidak t
“Ataukah itu suami lu, Run?” Aruna tersenyum hampa. “Be realistic, Shan. (Realistis aja Shan) Meski kita tidak tahu ini di mana, kita tahu kita berada di luar negeri. Wilayah di luar kekuasaan suamiku dan berada beribu-ribu kilometer jauhnya dari negara kita. Kurasa tidak akan secepat ini suamiku menemukan kita.” Ia lalu melanjutkan dengan suara yang memelan dan melemah. “Lagi pula kita sama-sama dengar tuntutan tidak masuk akal para teroris itu. Kau tahu… kurasa Agha tidak akan begitu saja menyerahkan perusahaan yang merupakan keringat dan darah kakeknya, hanya untuk menebusku. Uang jelas akan ia berikan tanpa ragu. Tapi menyerahkan seluruh perusahaan?” Aruna menggeleng pelan. Shanti pun mengembus napas tanpa daya. Meski enggan berpikir putus asa, namun Aruna memberikan poin yang tepat. “Well… apa boleh buat. Ini dah takdir kita. Berapa kali menghindar pun, jika memang harus terjadi, maka ini akan terjadi.” Mereka berdua lalu terdiam. “Senang bersahabat dengan lu, Runa.” Shanti
Ia tidak berkesempatan menemukan keberadaan dirinya dan kawanannya. ‘Jadi… jika serangan ini bukan dari Brahmana, siapa mereka?’ Ia kemudian hanya terpikirkan dua hal. Pertama, adalah kawanan penjahat atau perampok lokal yang telah mengetahui ada kehidupan di pulau ini. Atau kedua. The Foss pusat telah mengetahui tindakannya yang tanpa izin. Apapun itu, Xar tidak akan mundur. Ia telah terlanjur sejauh ini dan tujuannya hampir tercapai. Satu seringai tipis kemudian terbentuk di wajahnya. Semua akan sepadan, jika ia bisa membuat pria itu menderita. Lalu ia mengambil alih seluruhnya. Dengan itu, ia bahkan tidak perlu takut terhadap bos The Foss. Bukankah uang bisa membeli semuanya? Uang DG akan cukup untuk membuat The Foss kelak menjadi back up dirinya dalam menjalankan perusahaan. Maka setelahnya, tidak ada lagi yang perlu ia takutkan di dunia ini. Xar berbalik menuju rak yang ada di sudut. Ia mengambil botol minuman beralkohol dan menuangkannya ke dalam gelas. Tangannya ya
Pintu kayu tebal itu terbuka dengan sekali tendangan. Kedua netra Fathan berkilat tatkala mendapati Shanti dalam posisi telentang di lantai dan satu lelaki bule berambut ikal menindih tubuhnya. “Setan!” desis Fathan yang langsung menerjang dan menendang lelaki di belakang si rambut ikal, yang seolah tengah menunggu ‘giliran’. Hanya satu kali tendangan dan dua kali pukulan, lelaki bule itu seketika ambruk tak sadarkan diri. “Fuck off!” (Menyingkirlah!) Lelaki berambut ikal berdiri dan marah karena merasa terganggu hajatnya. Ia meraih senapan yang tergeletak di sisinya dan mengarahkannya pada Fathan. Namun belum sempat lelaki itu bahkan membidik, tendangan Fathan mengempas senapan tersebut dari tangan lelaki bule berambut ikal itu. Ia memutar tubuh dan kaki jenjang penuh kekuatan itu menendang tepat di rahang bawah si rambut ikal. Lelaki itu terpental mundur. Namun Fathan tidak memberinya ampun dan kembali memberikannya tendangan berkekuatan ke arah sisi kepala lelaki itu. DHUAAG
Di dalam kamarnya, Xar melirik jam tangan dan mendengkus gelisah. “Mengapa dia belum mengabari. Kemana sialan itu!” Xar mendekat ke arah jendela dan melihat ke arah halaman depan yang masih riuh oleh suara desingan peluru. Hatinya seketika gentar, menyaksikan tubuh-tubuh anak buahnya yang kian banyak bergelimpangan. Dalam kondisi seperti ini, nyaris semua dikerahkan turun ke bawah untuk membantu mengatasi dan menghadang para penyerang itu. Merasakan ketidaktenangan dan rasa khawatir rencana yang telah ia susun lama menjadi berantakan, Xar menyambar senjata api di atas meja lalu bergegas keluar dari dalam kamarnya. Ia menyusuri koridor lantai dua menuju tangga ke lantai tiga. Derap langkahnya begitu cepat dan tergesa, hingga ketika ia tiba di depan pintu kamar yang nyaris copot, tubuhnya terhenti di tempat. Matanya membelalak kaget dan menyerbu ke dalam, hanya untuk memastikan apa yang ia lihat, bukanlah tipuan mata. Kedua anak buahnya yang bertugas menjaga sandera, tergele
Sementara itu, di ruangan kecil di atas bangunan, sebuah perkelahian jelas tak terelakkan. Brahmana tidak ingin membuang waktu dengan lelaki berwajah penuh luka itu, jadi dia hanya bergerak cepat melayangkan pukulan dengan tubuhnya bergerak ke sisi Aruna. Membelakanginya, untuk memastikan, wanita tercintanya itu berada dalam lindungannya. Dugg! Buaggg!! Set! Dhuagg!! Lelaki berwajah penuh bekas luka itu mendongak dengan wajah penuh kesakitan, begitu satu hantaman dari Brahmana mengenai rahang bawahnya. Ia pun terjengkang dan terkapar. Dengan cepat, Brahmana menendang sekali, untuk mengakhiri pertahanan terakhir lelaki itu. “Hhh…” Dada Brahmana naik turun dengan napas sedikit tersengal. Lelaki yang baru saja ia hadapi, tidak seperti anggota lainnya. Lelaki itu cukup lumayan. Brahmana menduga, lelaki itu pasti orang kepercayaan pimpinan kelompok penjahat ini. Meski Brahmana belum mengetahui siapa pimpinannya, namun insting kuatnya mengatakan lelaki itu bukanlah pemegang pucuk p
Erwin terhenyak.Ia terbangun dari tidur dengan kondisi kaget.Dadanya berdebar hebat.Erwin mengusap wajahnya pelan. Ia bangun dan turun dari ranjang besarnya lalu mengambil segelas air minum di atas nakas.Sejenak ia melirik jam di dinding sebelum meneguk air dalam gelas itu.“Jam sebelas malam….” gumamnya sembari meletakkan kembali gelas ke atas nakas.Ia baru saja hendak ke kamar mandi di dalam kamarnya, ketika suara bel terdengar.Erwin mengerutkan kening. “Siapa yang bertamu malam-malam begini?” Ia pun mengenakan sandal rumah dan keluar dari kamar.“Siapa itu?” tanya Erwin pada asisten rumah tangga yang terlihat baru kembali dari ruang tamu untuk membukakan pintu.“Katanya keluarga Tuan Brahmana, Pak,” jawab si asisten rumah tangga.Erwin mengangguk dan bergegas keluar. Tidak mungkin pihak Dananjaya datang hanya untuk bertamu, bukan?Seketika hatinya resah dengan jantung berpacu lebih cepat.“Pak,” sapa seorang pria muda begitu Erwin tiba di ruang tamu. “Saya Kevin, saudara sepu