Fathan tertegun di ambang pintu untuk beberapa saat.Sapaan hormat dari tiga bodyguard Brahmana yang berjaga di depan pintu, tidak ia hiraukan.“Ada apa ini?” tanya Fathan begitu ia masuk ke dalam.Dapat dilihat olehnya, Brahmana baru selesai dipakaikan celana panjang oleh ketua tim bodyguard, sementara di satu sudut sana, meringkuk seorang wanita berpakaian pelayan dengan kedua tangan dan kaki diikat kain linen yang telah disobek.“Lepaskan aku! Aku tidak salah! Aku hanya melayani permintaan tamu!” seru wanita pelayan itu tatkala melihat tatapan Fathan mengarah padanya.Dari sikap bodyguard dan juga penampilannya, ia yakin pria berkacamata itu adalah orang kepercayaan sang CEO. Karena itulah dia berteriak-teriak meminta agar dirinya dilepaskan.Melihat kekacauan ini, Fathan langsung berujar dingin, “Berisik sekali. Pindahkan dia ke tempat lain. Jangan dilepaskan sampai jelas apa yang terjadi.”Body
“Apa yang terjadi?!” Brahmana turun dari mobil dan melangkah cepat mendekati Ningsih. Tatapannya beredar pada delapan penjaga khusus Aruna yang semuanya dalam posisi menunduk dan wajah penuh penyesalan dan rasa bersalah yang lekat. Terdapat luka-luka di sekujur tubuh juga wajah mereka. Brahmana dan Fathan serta tim pengaman Brahmana baru tiba di satu ruas jalan tol dengan pemandangan yang sama sekali tidak terbayangkan oleh Brahmana. Dua mobil tim pengawal Aruna nyaris hancur dengan satu mobil bahkan berposisi terbalik. Mobil patroli juga telah berada di sana, namun mereka tidak berani mendekat begitu Brahmana tiba di tempat. “Apa yang terjadi?!!” Suara menggelegar Brahmana membangunkan Ningsih dari kegugupannya. Kedua tangannya telah mengepal dengan gemetar dan menatap liar pada Ningsih yang dianggapnya lambat menjawab. “Saya mengikuti Nyonya. Nyonya menggunakan mobil hadiah dari Tuan. Tapi saat di simpang menuju tugu, mobil Nyonya berbelok dan masuk ke tol. Kami mengejarnya mas
“Kita akan menemukan Nyonya Muda,” Fathan berkata pelan, di samping Brahmana yang terlihat tegang dan pucat.Pria tampan CEO Dananjaya Group itu kini duduk, setelah sejam sebelumnya berdiri dan terus mengawasi tim IT yang tengah melakukan pengecekan dan peretasan terhadap kamera-kamera pengawas.Kedua netra Brahmana terpaku pada monitor lebar dan besar di depannya yang menampilkan cuplikan kondisi jalan.Seorang ketua tim IT mendekati Brahmana dengan tegang. “Beberapa kamera di pintu keluar tol rusak setengah jam sebelum kejadian, kami tidak bisa menemukan apa-apa di ruas jalan tersebut. Kami--” kalimatnya terhenti, begitu Brahmana menoleh padanya dengan tatapan yang dingin dan menusuk.“Kami akan berusaha mencari cara untuk mengetahuinya,” ujar ketua tim IT itu cepat. Ia segera berbalik dan kembali memberikan perintah kepada anggota tim-nya.CEO Dananjaya Group terlihat memejamkan matanya sambil bergumam d
Brak!!Suara hantaman tangan ke meja di sisi brankar, bergema dengan kencang. “Apa maksud kalian dengan mereka sudah tidak ada?!”Dua orang yang berjaga di depan pintu kamar rawat inap Katrina memucat. Punggung serta telapak tangan mereka telah basah oleh peluh yang mengucur deras.“Ma-maafkan kami Tuan. Kami baru menyadarinya tadi pagi. Tapi kami masih mencoba mencari hingga siang ini kami masih belum menemukannya.”Brahmana mengusap wajahnya dengan kasar. Kenyataan dan laporan yang ia hadapi saat ini, sama sekali tidak ia harapkan akan terjadi.Ia bergegas ke Rumah Sakit tempat Katrina dirawat, untuk langsung menemui Elya.Meskipun ia sempat merasa khawatir Elya melarikan diri, ia tidak benar-benar khawatir akan hal itu, Ia telah menempatkan dua penjaga di depan pintu kamar rawat inap Katrina, tentu saja kedua wanita itu tidak akan bisa pergi kemana pun, bukan?Terutama lagi, Katrina masih membutuhkan perawat
“Kalian siapa?! Hey!! Lepaskan kami!!” Shanti berseru marah saat sekelompok orang membawa dirinya dan juga Aruna keluar dari kontainer dan memindahkan mereka ke dalam mobil van berwarna hitam.“Hey!!”Sementara Shanti terus meronta dan berusaha melepaskan diri, Aruna memperhatikan sekeliling dengan cepat.Dugaannya benar, mereka berada di pelabuhan, tapi jelas terlihat, ini bukan pelabuhan besar. Terlalu sepi.Ia hanya melihat dermaga dengan beberapa kran atau derek untuk mengangkut barang. Dan di ujung sana ia juga bisa melihat gudang tempat penyimpanan, namun bukan dalam skala besar.Ini lebih seperti pelabuhan transit.Tapi yang tidak dimengerti Aruna adalah, ia semula berpikir berada di kapal kargo besar yang memang membawa kontainer. Nyatanya, mereka keluar dari kontainer yang sudah berada di atas dermaga. Ia tidak melihat satu pun kapal laut atau bahkan kapal ferry berlabuh di sana.Ar
Erwin terpaku di tempat, nyaris tidak percaya, satu sosok yang begitu dihormati dan disegani di negeri ini, ada di ruang tamunya.Dengan seorang asisten yang berdiri di samping, dan beberapa pengawal di teras, sosok agung Dananjaya memang langsung memberikan kesan kuat dan dominan.“Pak Dananjaya… Anda… Anda--?” Erwin melangkah mendekati tamu agung itu.“Ya, Saya datang ke sini, Pak Erwin,” penggal Dananjaya Tua berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Erwin.Erwin menyambut uluran tangan itu dengan sedikit kikuk, lalu mengangguk tersenyum. Dengan benak yang masih terkejut dan pikiran yang bertanya-tanya, ia pun mengambil tempat dan duduk berseberangan dengan Dananjaya Tua.“Pak Erwin pasti terkejut dengan kedatangan saya ke sini,” Dananjaya Tua membuka percakapan mereka.Erwin mengangguk. Ia tidak menutupinya. “Ya. Saya memang terkejut, Pak.”Dananjaya berdeham. “Saya minta maaf baru bertandang sekarang, semenjak kita berbesan.”“Tidak, Pak. Saya yang minta
Derap langkah kaki seorang lelaki terhenti. Ia baru berjalan sekitar seratus meter namun ia bisa merasakan seseorang seperti mengawasinya.Setengah berlari, lelaki itu segera masuk ke dalam rumahnya --sebuah apartemen di daerah yang jauh dari megah dan mewah, namun tidak bisa pula disebut kumuh. Mungkin bisa disebut rumah susun --namun ini terlihat sedikit lebih baik dan rapi.Lelaki itu memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter dengan perawakan kekar dan berisi. Namun sikap tergesanya, mengesankan lelaki bertubuh tinggi kekar itu tidaklah sesangar penampilannya.Lelaki itu mengembus napas lega, begitu masuk ke dalam unit apartemen miliknya. Ia merasa telah aman dan mengira tadi itu hanyalah perasaan dan kekhawatiran tanpa dasar dirinya.Dengan langkah santai ia lalu menuju satu meja kecil di sudut ruangan lalu menarik laci kedua dari meja itu.Wajahnya tertegun sesaat, namun di detik berikutnya ia menjadi panik dan mengacak-acak laci tersebut.
Hari belum masuk larut, namun senja telah mulai turun. Suara gaduh yang berasal dari pukulan, tendangan dan juga jeritan kesakitan, membahana di lantai teratas ruko tiga lantai. Beberapa lampu dalam ruangan itu padam, menyisakan keremangan yang membuat para penghuninya harus mengeluarkan usaha ekstra untuk melihat gerakan penyerang mereka. Mereka tengah santai duduk ketika tiba-tiba seorang pria berkaos hitam menerobos masuk dan entah siapa yang memulai lebih dahulu, perkelahian segera terjadi di sana. Terdapat tujuh orang lelaki di sana dan lima di antaranya telah ambruk di lantai dengan erangan kesakitan. Bahkan tiga di antaranya pingsan. Hanya tersisa dua orang yang masih mencoba menjatuhkan pria berkaos hitam itu. Mereka benar-benar tidak menyangka penyusup itu begitu tangguh, gerakan-gerakan yang dilakukannya begitu cepat, akurat dan bertenaga. Mereka memiliki berbagai senjata tajam di tangan mereka, namun pria itu bahkan menggunakan alat seadanya yang ada dalam ruangan dan
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m