“Kita akan menemukan Nyonya Muda,” Fathan berkata pelan, di samping Brahmana yang terlihat tegang dan pucat.Pria tampan CEO Dananjaya Group itu kini duduk, setelah sejam sebelumnya berdiri dan terus mengawasi tim IT yang tengah melakukan pengecekan dan peretasan terhadap kamera-kamera pengawas.Kedua netra Brahmana terpaku pada monitor lebar dan besar di depannya yang menampilkan cuplikan kondisi jalan.Seorang ketua tim IT mendekati Brahmana dengan tegang. “Beberapa kamera di pintu keluar tol rusak setengah jam sebelum kejadian, kami tidak bisa menemukan apa-apa di ruas jalan tersebut. Kami--” kalimatnya terhenti, begitu Brahmana menoleh padanya dengan tatapan yang dingin dan menusuk.“Kami akan berusaha mencari cara untuk mengetahuinya,” ujar ketua tim IT itu cepat. Ia segera berbalik dan kembali memberikan perintah kepada anggota tim-nya.CEO Dananjaya Group terlihat memejamkan matanya sambil bergumam d
Brak!!Suara hantaman tangan ke meja di sisi brankar, bergema dengan kencang. “Apa maksud kalian dengan mereka sudah tidak ada?!”Dua orang yang berjaga di depan pintu kamar rawat inap Katrina memucat. Punggung serta telapak tangan mereka telah basah oleh peluh yang mengucur deras.“Ma-maafkan kami Tuan. Kami baru menyadarinya tadi pagi. Tapi kami masih mencoba mencari hingga siang ini kami masih belum menemukannya.”Brahmana mengusap wajahnya dengan kasar. Kenyataan dan laporan yang ia hadapi saat ini, sama sekali tidak ia harapkan akan terjadi.Ia bergegas ke Rumah Sakit tempat Katrina dirawat, untuk langsung menemui Elya.Meskipun ia sempat merasa khawatir Elya melarikan diri, ia tidak benar-benar khawatir akan hal itu, Ia telah menempatkan dua penjaga di depan pintu kamar rawat inap Katrina, tentu saja kedua wanita itu tidak akan bisa pergi kemana pun, bukan?Terutama lagi, Katrina masih membutuhkan perawat
“Kalian siapa?! Hey!! Lepaskan kami!!” Shanti berseru marah saat sekelompok orang membawa dirinya dan juga Aruna keluar dari kontainer dan memindahkan mereka ke dalam mobil van berwarna hitam.“Hey!!”Sementara Shanti terus meronta dan berusaha melepaskan diri, Aruna memperhatikan sekeliling dengan cepat.Dugaannya benar, mereka berada di pelabuhan, tapi jelas terlihat, ini bukan pelabuhan besar. Terlalu sepi.Ia hanya melihat dermaga dengan beberapa kran atau derek untuk mengangkut barang. Dan di ujung sana ia juga bisa melihat gudang tempat penyimpanan, namun bukan dalam skala besar.Ini lebih seperti pelabuhan transit.Tapi yang tidak dimengerti Aruna adalah, ia semula berpikir berada di kapal kargo besar yang memang membawa kontainer. Nyatanya, mereka keluar dari kontainer yang sudah berada di atas dermaga. Ia tidak melihat satu pun kapal laut atau bahkan kapal ferry berlabuh di sana.Ar
Erwin terpaku di tempat, nyaris tidak percaya, satu sosok yang begitu dihormati dan disegani di negeri ini, ada di ruang tamunya.Dengan seorang asisten yang berdiri di samping, dan beberapa pengawal di teras, sosok agung Dananjaya memang langsung memberikan kesan kuat dan dominan.“Pak Dananjaya… Anda… Anda--?” Erwin melangkah mendekati tamu agung itu.“Ya, Saya datang ke sini, Pak Erwin,” penggal Dananjaya Tua berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Erwin.Erwin menyambut uluran tangan itu dengan sedikit kikuk, lalu mengangguk tersenyum. Dengan benak yang masih terkejut dan pikiran yang bertanya-tanya, ia pun mengambil tempat dan duduk berseberangan dengan Dananjaya Tua.“Pak Erwin pasti terkejut dengan kedatangan saya ke sini,” Dananjaya Tua membuka percakapan mereka.Erwin mengangguk. Ia tidak menutupinya. “Ya. Saya memang terkejut, Pak.”Dananjaya berdeham. “Saya minta maaf baru bertandang sekarang, semenjak kita berbesan.”“Tidak, Pak. Saya yang minta
Derap langkah kaki seorang lelaki terhenti. Ia baru berjalan sekitar seratus meter namun ia bisa merasakan seseorang seperti mengawasinya.Setengah berlari, lelaki itu segera masuk ke dalam rumahnya --sebuah apartemen di daerah yang jauh dari megah dan mewah, namun tidak bisa pula disebut kumuh. Mungkin bisa disebut rumah susun --namun ini terlihat sedikit lebih baik dan rapi.Lelaki itu memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter dengan perawakan kekar dan berisi. Namun sikap tergesanya, mengesankan lelaki bertubuh tinggi kekar itu tidaklah sesangar penampilannya.Lelaki itu mengembus napas lega, begitu masuk ke dalam unit apartemen miliknya. Ia merasa telah aman dan mengira tadi itu hanyalah perasaan dan kekhawatiran tanpa dasar dirinya.Dengan langkah santai ia lalu menuju satu meja kecil di sudut ruangan lalu menarik laci kedua dari meja itu.Wajahnya tertegun sesaat, namun di detik berikutnya ia menjadi panik dan mengacak-acak laci tersebut.
Hari belum masuk larut, namun senja telah mulai turun. Suara gaduh yang berasal dari pukulan, tendangan dan juga jeritan kesakitan, membahana di lantai teratas ruko tiga lantai. Beberapa lampu dalam ruangan itu padam, menyisakan keremangan yang membuat para penghuninya harus mengeluarkan usaha ekstra untuk melihat gerakan penyerang mereka. Mereka tengah santai duduk ketika tiba-tiba seorang pria berkaos hitam menerobos masuk dan entah siapa yang memulai lebih dahulu, perkelahian segera terjadi di sana. Terdapat tujuh orang lelaki di sana dan lima di antaranya telah ambruk di lantai dengan erangan kesakitan. Bahkan tiga di antaranya pingsan. Hanya tersisa dua orang yang masih mencoba menjatuhkan pria berkaos hitam itu. Mereka benar-benar tidak menyangka penyusup itu begitu tangguh, gerakan-gerakan yang dilakukannya begitu cepat, akurat dan bertenaga. Mereka memiliki berbagai senjata tajam di tangan mereka, namun pria itu bahkan menggunakan alat seadanya yang ada dalam ruangan dan
“Runa…”Bisikan Shanti di dekat telinga kiri Aruna, membuat wanita muda istri Brahmana itu terkesiap.“Ya?”“Lu jangan jauh-jauh dari gue. Deket-deket gue..”“Ya, aku tau,” Aruna mengangguk dan merapatkan duduknya dekat Shanti.“Siapa mereka sebenernya dan ngapain mereka culik kita?” desah Shanti.Aruna menggigit bibirnya. “Mungkin salah satu rival suamiku. Jika benar, aku sungguh-sungguh minta maaf, Shan--”“Ngga. Jangan gitu. Gue kagak nyalahin elu. Catat itu.”Mereka tidak tahu kini berada di mana. Kedua mata mereka ditutup dengan kain hitam yang tebal, sehingga mereka bahkan tidak dapat merasakan cahaya apapun.Sejak masih di dalam van hitam itu, kedua mata mereka telah ditutup.Begitu tiba di tempat itu, mereka langsung didudukkan di satu tempat.Dari tingkat keempukan bantalan yang mereka duduki, keduanya yakin
Ia hanya bisa berpikir satu hal, orang yang datang ini kemungkinan adalah ketua, pimpinan atau apapun mereka menyebutnya. Ini adalah kesempatan. Mungkin ia bisa bicara dan bernegosiasi dengan pihak yang tepat. Menarik napas dalam-dalam, Aruna memberanikan diri bertanya. “Who are you? Why do you take us here?” (Siapa kalian? Mengapa kami dibawa ke sini?) Ia menggunakan bahasa Inggris, karena ia yakin pemimpin yang menculiknya ini adalah orang bule, dilihat dari bawahan yang membawa dirinya dan Shanti ke tempat ini juga adalah orang-orang bule. Tidak mendengar jawaban apapun, Aruna kembali bertanya. “What do you want? If it’s about some cash, you could just let us go, my.. my husband will give you the money you need.” (Apa yang kalian inginkan? Jika ini tentang uang, kalian bisa lepaskan kami, suamiku akan memberikan uang yang kau perlukan.) “That money… How much you’re talking about, hm?” (Uang tersebut… Berapa banyak yang kau maksud?) Sebuah suara terdengar. Tidak terlalu berat,