Fathan tengah membaca beberapa email masuk, tatkala ponselnya berbunyi. Ia melirik dan mendapati nama Shanti sebagai penelepon. Seperti biasa --entah Shanti menyadarinya atau tidak, Fathan tidak pernah membiarkan lebih dari tiga dering untuk menjawab panggilan dari sahabat Aruna itu. ‘Mas, maaf ganggu sebentar,’ buka Shanti begitu Fathan terhubung dengannya. “Ada apa?” Suara datar Fathan menjawab. Jarinya kembali mengetik untuk membalas satu email masuk. ‘Boleh… tau jadwal pak CEO kemarin?’ Jari Fathan di papan tombol terhenti sesaat. Meskipun ia tidak segera menjawab, tapi ia bertanya balik, “Ada apa memang?” ‘Mereka sedang ribut ya?’ tanya Shanti pelan. Fathan kembali mengetik. “Saya tidak terlalu tahu urusan pribadi mereka. Tapi..” Ia kemudian melirik ke arah pintu ruang CEO di sebelah kanan tempat ia berada. “Memang mood pak Bos terlihat tidak terlalu baik beberapa hari ini.” ‘Oh…’ Sambil terus mengetik, Fathan menunggu Shanti mengungkapkan tujuan sesungguhnya menelepon di
‘Pelayan,’ Brahmana berujar dalam hati. Sosok yang muncul tersebut adalah seorang wanita dengan seragam pelayan. Wanita itu membawa daftar menu dan nampan berisi satu gelas berisi cairan berwarna bening dengan hiasan irisan lemon di pinggir gelas. Wanita pelayan itu menghampiri meja Brahmana dengan sangat sopan. “Silakan Pak, ini welcome drink untuk Bapak dan ini daftar menunya,” kata pelayan itu dengan sangat hormat, setelah meletakkan gelas dan juga buku menu di atas meja. Ia lalu mundur dan berdiri tidak terlalu jauh dari Brahmana, dengan sikap pelayan yang sempurna, menanti tamu membaca daftar menu dan memesannya. “Saya tidak akan memesan makanan, saya--” Ucapan Brahmana terhenti tatkala melihat satu tulisan yang menempel di dalam buku menu. [Ada alat perekam dan penyadap di sini. Tolong bantu saya untuk tidak mengeskpos keberadaan saya. Nyawa saya taruhannya. Kita bicara setelah berpindah ke tempat yang aman sekitar sini. Mohon ikuti petunjuk saya dan pesanlah menu seperti t
“Beres Pak. Saya tunggu transfer sisanya,” Ferliana berkata dengan senyum terkembang. Ia mengayunkan sebelah kaki yang ditumpangkan.‘Tidak secepat itu. Tugasnya belum selesai,’ ujar orang di seberang telepon.Ferliana mengerucutkan bibirnya. “Itu hanya tinggal nunggu beberapa menit saja, Pak. Yang utama, dia sudah berhasil menyingkirkan penjaga yang menempel pada CEO itu.”Terdengar kekehan di sana. ‘Kita belum tahu apa yang akan terjadi dalam beberapa menit ke depan. Tidak boleh sampai mereka curiga sedikitpun. Begitu salah satu pengawalnya tahu ada yang tidak beres, semua akan kacau dan rencana kita sia-sia.’Ferliana mengembuskan napas dengan kesal. Ia telah membayangkan uang puluhan juta yang akan masuk ke rekeningnya, begitu mengetahui kawannya berhasil melaksanakan rencana mereka.Namun tak peduli seberapa kesalnya Ferliana, ia menahannya.Meskipun ia tidak tahu seberapa banyak uang yang
Shanti nyaris terlonjak dari tempat duduknya. Ia menatap tak percaya ke layar ponsel. Tangannya sedikit terasa dingin saat ia menggulir ke samping dan melihat beberapa gambar lainnya. “Ya Tuhan..” Shanti menutup mulut dengan sebelah tangan. Tanpa mengindahkan adonan kue yang tadi sempat membuatnya berkutat sekian jam, ia berbalik dan mematikan tombol oven. Bahkan tanpa mencuci tangan, ia menyambar kunci motor sambil menekan satu kontak. “Come on… angkat…” gumamnya gelisah. “Run! Lu di mana?!” ‘Apaan sih Shan, kok teriak-teriak?’ Jawaban di seberang telepon terdengar memprotes Shanti. “Lu dimanaa??” ‘Di rumah. Ada apa?’ “Temuin gue di Resort Triserra! Sekarang” sahut Shanti cepat. ‘Tapi gue--’ “Runa, please! Genting! Gue tunggu di Resort Triserra, sekarang!” Shanti mematikan sambungan sebelum Aruna sempat menanggapi. Dengan gerakan serba cepat Shanti memasukkan ponselnya ke saku celana, dan setengah berlari keluar dari rumah menuju motornya yang diparkir di halaman depan.
Siang menjelang sore itu langit masih terik. Di luar, panas matahari yang bergeser ke Barat begitu menggigit, tanpa pilih kasih dan tanpa peduli. Aruna menggigil, dadanya terpecut serta tercabik bersamaan. Rasa dingin yang membekukan telah menyerang sekujur tubuhnya sejak ia membuka pintu ruang VIP itu. Di atas karpet tebal dalam ruangan, tercecer jas, kemeja, dan celana panjang. Bercampur dengan helaian dress seragam berwarna hitam putih serta bra dan celana dalam berwarna hitam. Ketika manik kecoklatan Aruna merangkak naik, di atas sofa panjang itu, Brahmana dalam keadaan tidur dan dipeluk seorang wanita tanpa busana. Satu helai kain linen menjadi penutup tubuh bawah mereka berdua, sementara dada telanjang Brahmana dan juga dada wanita itu terlihat saling menempel. Tangan Aruna gemetar dengan rasa sesak luar biasa dan rasa dingin yang menjalari tulang belakang hingga terasa melumpuhkannya seketika. Nyawanya serasa melayang namun dengan netra terikat pada sofa panjang tersebut.
Fathan tertegun di ambang pintu untuk beberapa saat.Sapaan hormat dari tiga bodyguard Brahmana yang berjaga di depan pintu, tidak ia hiraukan.“Ada apa ini?” tanya Fathan begitu ia masuk ke dalam.Dapat dilihat olehnya, Brahmana baru selesai dipakaikan celana panjang oleh ketua tim bodyguard, sementara di satu sudut sana, meringkuk seorang wanita berpakaian pelayan dengan kedua tangan dan kaki diikat kain linen yang telah disobek.“Lepaskan aku! Aku tidak salah! Aku hanya melayani permintaan tamu!” seru wanita pelayan itu tatkala melihat tatapan Fathan mengarah padanya.Dari sikap bodyguard dan juga penampilannya, ia yakin pria berkacamata itu adalah orang kepercayaan sang CEO. Karena itulah dia berteriak-teriak meminta agar dirinya dilepaskan.Melihat kekacauan ini, Fathan langsung berujar dingin, “Berisik sekali. Pindahkan dia ke tempat lain. Jangan dilepaskan sampai jelas apa yang terjadi.”Body
“Apa yang terjadi?!” Brahmana turun dari mobil dan melangkah cepat mendekati Ningsih. Tatapannya beredar pada delapan penjaga khusus Aruna yang semuanya dalam posisi menunduk dan wajah penuh penyesalan dan rasa bersalah yang lekat. Terdapat luka-luka di sekujur tubuh juga wajah mereka. Brahmana dan Fathan serta tim pengaman Brahmana baru tiba di satu ruas jalan tol dengan pemandangan yang sama sekali tidak terbayangkan oleh Brahmana. Dua mobil tim pengawal Aruna nyaris hancur dengan satu mobil bahkan berposisi terbalik. Mobil patroli juga telah berada di sana, namun mereka tidak berani mendekat begitu Brahmana tiba di tempat. “Apa yang terjadi?!!” Suara menggelegar Brahmana membangunkan Ningsih dari kegugupannya. Kedua tangannya telah mengepal dengan gemetar dan menatap liar pada Ningsih yang dianggapnya lambat menjawab. “Saya mengikuti Nyonya. Nyonya menggunakan mobil hadiah dari Tuan. Tapi saat di simpang menuju tugu, mobil Nyonya berbelok dan masuk ke tol. Kami mengejarnya mas
“Kita akan menemukan Nyonya Muda,” Fathan berkata pelan, di samping Brahmana yang terlihat tegang dan pucat.Pria tampan CEO Dananjaya Group itu kini duduk, setelah sejam sebelumnya berdiri dan terus mengawasi tim IT yang tengah melakukan pengecekan dan peretasan terhadap kamera-kamera pengawas.Kedua netra Brahmana terpaku pada monitor lebar dan besar di depannya yang menampilkan cuplikan kondisi jalan.Seorang ketua tim IT mendekati Brahmana dengan tegang. “Beberapa kamera di pintu keluar tol rusak setengah jam sebelum kejadian, kami tidak bisa menemukan apa-apa di ruas jalan tersebut. Kami--” kalimatnya terhenti, begitu Brahmana menoleh padanya dengan tatapan yang dingin dan menusuk.“Kami akan berusaha mencari cara untuk mengetahuinya,” ujar ketua tim IT itu cepat. Ia segera berbalik dan kembali memberikan perintah kepada anggota tim-nya.CEO Dananjaya Group terlihat memejamkan matanya sambil bergumam d